Perubahan besar dunia menuju KHILAFAH

menuju KHILAFAH photo Menuju-MK-2013.gif

The KHILAFAH Channel

khilafah on livestream.com. Broadcast Live Free

Rabu, 30 Desember 2009

AQIDAH ISLAM SEBAGAI DASAR NEGARA DAN SUMBER SEGALA PERUNDANG-UNDANGAN

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

Pengantar

Dalam negara versi penjajah, yaitu negara demokrasi, agama dipisahkan dari negara. Maka dari itu, agama hanya berperan sebagai keyakinan pribadi, tak menjadi pengatur kehidupan publik dalam berbagai bidang kehidupan.

Namun Islam tak mengakui sekularisme dari penjajah kafir. Karenanya, agama dalam negara Khilafah tak hanya menjadi dasar keyakinan dan amal perbuatan individu muslim, tapi juga menjadi landasan pengaturan kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Telaah ini akan mengkaji kitab Muqaddimah Ad-Dustur (2009) karya Imam Taqiyuddin an-Nabhani, yang menjelaskan 2 (dua) peran agama --khususnya Aqidah Islam-- dalam Negara Khilafah, yaitu sebagai dasar negara dan sumber dari segala undang-undang.

Dua peran penting Aqidah Islam ini termaktub dalam Rancangan UUD Negara Khilafah (Masyru' Dustur) pasal 1 yang berbunyi,"Akidah Islam adalah dasar negara. Segala sesuatu yang menyangkut institusi negara, perangkat negara, dan pengawasan atas tindakan negara, harus dibangun berdasarkan Aqidah Islam. Aqidah Islam menjadi asas undang-undang dasar dan perundang-undangan syar'i. Segala sesuatu yang berkaitan dengan undang-undang dasar dan perundang-undangan, harus terpancar dari Aqidah Islam." (An-Nabhani, Muqaddimah al-Dustur, hal. 5).

Aqidah Islam Dasar Negara

Aqidah Islam adalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari Akhir, dan Qadha serta Qadar baik buruknya dari Allah SWT. (An-Nabhani, Al-Syakhshiyah al-Islamiyah, Juz I hal. 29). Aqidah Islam ini berpangkal pada dua kalimah syahadat, yaitu kesaksian Laa ilaaha illallah Muhammad rasulullah. Sedang pengertian negara (daulah), adalah institusi pelaksana bagi sekumpulan konsep (mafahim), kriteria (maqayis), dan keyakinan (qanaat) yang telah diterima oleh sekelompok manusia. (An-Nabhani, Muqaddimah al-Dustur, hal. 6).

Maka dari itu, jika dikatakan Aqidah Islam adalah dasar negara Khilafah, artinya segala pengaturan kehidupan bernegara dan bermasyarakat tidak boleh lepas dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. Tidak boleh ada satu pun konsep (mafahim), kriteria (maqayis), ataupun keyakinan (qanaat) yang tidak bersumber dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. Jadi segala hal yang menyangkut institusi negara (kiyan ad-daulah), perangkat negara (jihaz ad-daulah), dan pengawasan terhadap negara (muhasabah ad-daulah), tidak boleh didasarkan pada konsep (mafahim), kriteria (maqayis), ataupun keyakinan (qanaat) yang tidak bersumber dari Al-Qur`an dan As-Sunnah.Contoh, institusi negara Khilafah tidak boleh didasarkan pada konsep (mafahim) demokrasi. Sebab demokrasi tidak lahir dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. Jadi tak boleh menyebut bentuk negara Khilafah sebagai republik atau republik Islam. Sebab bentuk republik didasarkan pada konsep demokrasi yang amat bertentangan dengan Islam. Pertentangannya bukan karena demokrasi menetapkan kekuasaan sebagai hak rakyat, melainkan karena demokrasi memberikan hak menetapkan hukum kepada manusia. Ini bertentangan dengan Aqidah Islam yang menegaskan hanya Allah saja yang berhak menetapkan hukum. (QS Al-An'am : 57).

Contoh lain, institusi negara Khilafah tidak boleh berupa negara-bangsa (nation state). Sebab negara-bangsa didasarkan pada konsep nasionalisme (qaumiyah) yang tidak bersumber dari dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. Negara-bangsa memandang bahwa unit identitas yang menjadi basis legitimasi berdirinya negara adalah identitas sebagai "bangsa". Maka negara-bangsa tidak mendapat legitimasi kalau didirikan oleh orang-orang yang multi-bangsa atau trans-nasional. Ini berbeda dengan negara Khilafah yang basis legitimasinya adalah "umat", bukan "bangsa". Maka negara Khilafah dapat eksis dan mendapat legitimasi meski didirikan oleh orang-orang multi-bangsa, selama mereka adalah "umat" yang satu yang diikat oleh Aqidah Islam yang satu.

Pertanyaannya, mengapa dasar negara Khilafah harus Aqidah Islam? Imam Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan 3 (tiga) dalil untuk itu :

(1) karena Rasulullah SAW mendirikan Daulah Islamiyah di Madinah (pasca hijrah tahun 622 M) berdasarkan Aqidah Islamiyah. Seperti diketahui, pada saat itu kebanyakan ayat-ayat tasyri' (ayat hukum) belumlah turun. Jadi, ketika Rasulullah SAW menegakkan Daulah Islamiyah, pastilah tidak berdasarkan ayat-ayat tasyri', melainkan berdasarkan sesuatu yang lebih mendasar lagi, yakni kalimah syahadat Laa ilaaha illallah Muhammad rasulullah. Syahadat inilah yang mendasari kehidupan umat Islam saat itu, baik menyangkut kekuasaan, penyelesaian sengketa dan tindak penzaliman, maupun pengaturan berbagai interaksi kehidupan. Ringkasnya, syahadat adalah dasar negara.

(2)karena Rasulullah SAW telah mensyariatkan dan mewajibkan jihad untuk menyebarkan kalimat syahadat itu kepada seluruh umat manusia. Ini menunjukkan betapa pentingnya posisi Aqidah Islam sebagai pondasi atau asas kehidupan bermasyarakat. Sabda Rasulullah SAW,"Aku telah diperintahkan untuk memerangi umat manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah..." (HR Bukhari dan Muslim).

(3) karena Rasulullah SAW telah memerintahkan perang (qital) demi menjaga posisi Aqidah Islam agar tetap menjadi dasar negara. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ubadah bin Shamit RA, Rasulullah SAW telah mewajibkan umat Islam mentaati Imam serta melarang mereka memerangi Imam, kecuali,"kalau kamu melihat kekufuran yang nyata." (HR Bukhari dan Muslim). Atas dasar ketiga dalil inilah, ditetapkan bahwa Aqidah Islam adalah dasar negara. (An-Nabhani, Muqaddimah al-Dustur, hal. 8).

Aqidah Islam Sumber Segala Undang-Undang

Aqidah Islam adalah sumber segala bentuk perundang-undangan dalam negara Khilafah. Undang-Undang Dasar (dustur, constitution) ataupun berbagai macam undang-undang (qanun, act/law) harus bersumber dari Aqidah Islam. Maksudnya, harus bersumber dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, dan sumber-sumber hukum lain yang ditunjukkan oleh Al-Qur`an dan As-Sunnah, yaitu Ijma' Sahabat dan Qiyas. (An-Nabhani, Muqaddimah al-Dustur, hal. 8).

M
engapa segala undang-undang wajib bersumber kepada Aqidah Islam? Imam Taqiyuddin menerangkan banyak dalil. Dua dalil terpenting adalah, pertama, karena ada dalil yang mewajibkan umat Islam untuk berhukum pada hukum yang diturunkan Allah (QS An-Nisaa` : 65; QS Al-Maaidah : 48). Kedua, karena ada dalil yang melarang tegas berhukum dengan selain yang diturunkan Allah. Firman Allah SWT (artinya) :"Barangsiapa tidak menghukumi dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir." (QS Al-Maaidah : 44).

Imam An-Nabhani menerangkan tafsir ayat tersebut, apabila seorang muslim menerapkan hukum yang tidak diturunkan Allah, maka ia menjadi kafir (murtad) jika ia ber-i'tiqad (berkeyakinan secara pasti) akan benarnya hukum itu dan ber-i'tiqad pula bahwa hukum Islam tidak layak diterapkan. Jika muslim tersebut tidak ber-i'tiqad seperti itu, maka dia tidak murtad tapi berdosa. (An-Nabhani, Muqaddimah al-Dustur, hal. 8).

Keunggulan Pasal Ini

Pasal yang diterangkan maknanya di atas, akan tampak keunggulannya jika kita bandingkan dengan berbagai UUD lain yang membicarakan tema sejenis, yakni dasar negara atau sumber undang-undang. Selain kedetilan dan ketelitian redaksionalnya, kejelasan dalil-dalil yang mendasarinya juga membuat kita mengerti dengan baik bagaimana mengaplikasikan pasal ini dalam kenyataan nanti.

Pasal semacam ini sebenarnya ada juga dalam berbagai UUD di berbagai negara Dunia Islam. Pada pasal 12 UUD Iran misalnya, ditetapkan, "Agama resmi negara Iran adalah Islam...." (
The official religion of Iran is Islam...). Pasal semacam ini ada juga dalam UUD di Mesir, Irak, Yordania, dan sebagainya. Semestinya, pasal ini diaplikasikan dengan menjadikan Islam sebagai dasar negara, yakni dengan menerapkan Islam dalam segala aspek kehidupan tanpa kecuali.

Namun faktanya, pasal tersebut tidak begitu bermakna dalam kehidupan nyata. Dalam praktiknya, pasal ini hanya diterapkan dalam bentuk penetapan hari Jumat sebagai hari libur, pengumuman Idul Fitri dan Idul Adha, pengelolaan ibadah haji, dan semisalnya. Namun Islam tidak diterapkan secara konsisten dalam sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem pendidikan, politik luar negeri, dan sebagainya. Iran sendiri sebagai contoh, tidak menjadikan Islam sebagai dasar sistem pemerintahan. Iran disayangkan masih mengadopsi bentuk pemerintahan versi penjajah, yaitu republik. Dalam pasal 1 UUD disebutkan,"Bentuk pemerintahan Iran adalah republik Islam..."(The form of government of Iran is that of an Islamic Republic). Jadi, negara Iran itu agama resminya Islam tapi bentuk pemerintahannya adalah pemerintahan versi penjajah.

Contoh lain adalah Kerajaan Arab Saudi. Mungkin orang mengira Arab Saudi adalah negara tauhid, negara salafus saleh, yang menjalankan Syariah Islam dengan baik. Namun semua klaim ini dibantah habis oleh Syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisi dalam kitabnya Al-Kawasyif Al-Jaliyyah fi Kufr Daulah As-Su'udiyah (2005).

Dalam kitab ini beliau menunjukkan banyak undang-undang Arab Saudi yang merupakan hukum thaghut. Menurut Syaikh Al-Maqdisi, penguasa Saudi telah membuat hukum atau berhukum dengan selain Syariah Islam baik dalam ruang lingkup lokal, atau di kawasan Teluk (Dewan Kerjasama Teluk), atau di kawasan Arab (Liga Arab), atau lingkup internasional (PBB dan berbagai lembaganya). (hal. 193). Arab Saudi juga melegitimasi bunga bank (riba) ketika ia berinteraksi dengan perusahaan-perusahaan minyak kawasan Arab atau dengan Bank Dunia (IBRD) (hal. 220). Jadi Arab Saudi merupakan negara yang mengaku berdasarkan tauhid, tapi sebenarnya memberlakukan hukum-hukum thaghut dan jahiliyah yang jauh dari tauhid.

Inilah contoh bentuk kegagalan pengaturan negara akibat tidak adanya kejelasan bagaimana meletakkan Islam sebagai dasar negara dan sumber undang-undang. Wallahu a'lam. [ ]

DAFTAR BACAAN

Al-Badrani, Hisyam, Ad-Dustur Bayna Al-Islamiyah wa Al-Laa-Islamiyyah, (t.t.p. : t.p), 2003

Al-Kharbuthli, Ali Hasani, Al
-Islam wal Khilafah, (Beirut : Dar Beirut), 1969

Al-Marakibi, Jamal Ahmad As-Sayyid, Al-Khilafah Al-Islamiyah Bayna Nuzhum Al-Hukm Al-Mu'ashirah, (Kairo : Kulliyah Al-Huquq Jami'ah Al-Qahirah), 1414 H

Al-Maqdisi, Abu Muhammad, Saudi di Mata Seorang Al-Qa'idah (Al-Kawasyif Al-Jaliyyah fi Kufr Daulah As-Su'udiyah), Penerjemah Abu Sulaiman, (Solo : Jazera), 2005

Al-Maududi, Abul A'la, The Islamic Law and Constitution, (Lahore : Islamic Publications Ltd), t.t.

An-Nabhani, Taqiyuddin, Al-Syakhshiyah al-Islamiyah, Juz I, (Beirut : Darul Ummah), 2003

----------, Muqaddimah al-Dustur aw Al-Asbab Al-Mujibah Lahu, Jilid I, (Beirut : Darul Ummah), Cetakan II, 2009

Hawari, Muhammad, 'Isyruuna Nadwah fi Syarh wa Munaqasyah Masyru' Tathbiq Al-Islam fi Al-Hayah, (t.t.p. : t.p), 2002

Hizbut Tahrir, Nash Naqdh Masyru' Ad-Dustur Al-Irani, (t.tp. : Hizbut Tahrir), 1979

----------, Naqdh Masyru' Dustur Jumhuriyyah As-Sudan Sanah 1998, (t.t.p : Hizbut Tahrir), 1998

Islamic Republic of Iran Constitution http://www.iranonline.com

Senin, 21 Desember 2009

MENGENAL KHILAFAH



Definisi Khilafah

Secara ringkas, Imam Taqiyyuddin An Nabhani mendefinisikan Daulah Khilafah sebagai kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum Syariat Islam dan mengembang risalah Islam ke seluruh penjuru dunia (Imam Taqiyyuddin An Nabhani, Nizhamul Hukmi fil Islam).

Dari definisi ini, jelas bahawa Daulah Khilafah adalah hanya satu untuk seluruh dunia. Kerana nas-nas syara’ (nushush syar’iyah) memang menunjukkan kewajiban umat Islam untuk bersatu dalam satu institusi negara. Sebaliknya haram bagi mereka hidup dalam lebih dari satu negara.

Apa Hukumnya Mendirikan Khilafah?

Kewajiban tersebut didasarkan pada nas-nas al-Qur`an, as-Sunnah, Ijma’ Sahabat, dan Qiyas. Dalam al-Qur`an Allah SWT berfirman:

"Dan berpeganglah kalian semuanya dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai…" (TMQ. Ali-’Imran [3]: 103).

Rasulullah SAW dalam masalah persatuan umat ini bersabda: "Barangsiapa mendatangi kalian - sedang urusan (kehidupan) kalian ada di bawah kepemimpinan satu orang (Imam/Khalifah) - dan dia hendak memecah belah kesatuan kalian dan mencerai-beraikan jemaah kalian, maka bunuhlah dia!" [HR. Muslim].

Rasulullah SAW bersabda: "Jika dibai’at dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya." [HR. Muslim].

Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa membai’at seorang Imam (Khalifah), lalu memberikan genggaman tangannya dan menyerahkan buah hatinya, hendaklah ia mentaatinya semaksima mungkin. Dan jika datang orang lain hendak mencabut kekuasaannya, penggallah leher orang itu." [HR. Muslim].

Di samping itu, Rasulullah SAW menegaskan pula dalam perjanjian antara kaum Muhajirin - Anshar dengan Yahudi: "Dengan nama Allah, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Surat Perjanjian ini dari Muhammad - Nabi antara orang-orang beriman dan kaum muslimin dari kalangan Quraisy dan Yatsrib - serta yang mengikut mereka dan menyusul mereka dan berjihad bersama-sama mereka - bahawa mereka adalah umat yang satu, di luar golongan orang lain..." (Lihat Sirah Ibnu Hisyam, Jilid II, hal. 119).

Nas-nas al-Qur`an dan as-Sunnah di atas menegaskan adanya kewajipan bersatu bagi kaum muslimin atas dasar Islam (hablullah) - bukan atas dasar kebangsaan atau ikatan palsu lainnya yang dicipta penjajah yang kafir - di bawah satu kepemimpinan, iaitu seorang Khalifah. Dalil-dalil di atas juga menegaskan keharaman berpecah-belah, di samping menunjukkan pula jenis hukuman syar’ie bagi orang yang berupaya memecah-belah umat Islam menjadi beberapa negara, iaitu hukuman mati.

Selain al-Quran dan as-Sunnah, Ijma’ Sahabat pun menegaskan pula prinsip kesatuan umat di bawah kepemimpinan seorang Khalifah. Abu Bakar Ash Shiddiq suatu ketika pernah berkata,"Tidak halal kaum muslimin mempunyai dua pemimpin (Imam)." Perkataan ini didengar oleh para Sahabat dan tidak seorang pun dari mereka yang mengingkarinya, sehingga menjadi ijma’ di kalangan mereka.

Bahkan sebahagian fuqoha menggunakan Qiyas 'sumber hukum keempat' untuk menetapkan prinsip kesatuan umat. Imam Al Juwaini berkata,"Para ulama kami (mazhab Syafi’i) tidak membenarkan akad Imamah (Khilafah) untuk dua orang…Kalau terjadi akad Khilafah untuk dua orang, itu sama halnya dengan seorang wali yang menikahkan seorang perempuan dengan dua orang laki-laki!"

Ertinya, Imam Juwaini mengqiyaskan keharaman adanya dua Imam bagi kaum muslimin dengan keharaman wali menikahkan seorang perempuan dengan dua orang lelaki yang akan menjadi suaminya. Jadi, Imam/Khalifah untuk kaum muslimin wajib hanya satu, sebagaimana wali hanya boleh menikahkan seorang perempuan dengan satu orang laki-laki, tidak boleh lebih. (Lihat Dr. Muhammad Khair, Wahdatul Muslimin fi Asy Syari’ah Al Islamiyah, majalah Al Wa’ie, hal. 6-13, no. 134, Rabi’ul Awal 1419 H/Julai 1998 M)

Jelaslah bahawa kesatuan umat di bawah satu Khilafah adalah satu kewajipan syar’i yang tak ada keraguan lagi padanya. Kerana itu, tidak menghairankan bila para imam-imam mazhab Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bersepakat bulat bahawa kaum muslimin di seluruh dunia hanya boleh mempunyai satu orang Khalifah saja, tidak boleh lebih:

"...para imam mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad) --rahimahumullah-- bersepakat pula bahawa kaum mulimin di seluruh dunia pada saat yang sama tidak dibenarkan mempunyai dua imam, baik keduanya sepakat mahupun tidak." (Lihat Syaikh Abdurrahman Al Jaziri, Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, jilid V, hal. 416) Hukum menegakkan Khilafah itu sendiri adalah wajib, tanpa ada perbezaan pendapat di kalangan imam-imam mazhab dan mujtahid-mujtahid besar yang alim dan terpercaya.

Dalil-Dalil Wajibnya Khilafah

Siapapun yang menelaah dalil-dalil syar’ie dengan cermat dan ikhlas akan menyimpulkan bahawa menegakkan Daulah Khilafah hukumnya wajib atas seluruh kaum muslimin. Di antara argumentasi syar’ie yang menunjukkan hal tersebut adalah sebagai berikut :

Dalil Al-Quran

Di dalam al-Quran memang tidak terdapat istilah Daulah yang berarti negara. Tetapi di dalam al-Quran terdapat ayat yang menunjukkan wajibnya umat memiliki pemerintahan/negara (ulil amri) dan wajibnya menerapkan hukum dengan hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT. Allah SWT berfirman:

"Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul-Nya dan ulil amri di antara kalian." (TMQ. An-Nisaa` [4]: 59).

Ayat di atas telah memerintahkan kita untuk mentaati Ulil Amri, yaitu Al Haakim (Penguasa). Perintah ini, secara dalalatul iqtidha`, bererti perintah pula untuk mengadakan atau mengangkat Ulil Amri itu, seandainya Ulil Amri itu tidak ada, sebab tidak mungkin Allah memerintahkan kita untuk mentaati pihak yang eksistensinya tidak ada. Allah juga tidak mungkin mewajibkan kita untuk mentaati seseorang yang keberadaannya berhukum mandub.

Maka menjadi jelas bahawa mewujudkan ulil amri adalah suatu perkara yang wajib. Tatkala Allah memberi perintah untuk mentaati ulil amri, bererti Allah memerintahkan pula untuk mewujudkannya. Sebab adanya ulil amri menyebabkan terlaksananya kewajipan menegakkan hukum syara’, sedangkan mengabaikan terwujudnya ulil amri menyebabkan terabaikannya hukum syara’. Jadi mewujudkan ulil amri itu adalah wajib, kerana kalau tidak diwujudkan akan menyebabkan terlanggarnya perkara yang haram, iaitu mengabaikan hukum syara’ (tadhyii’ al hukm asy syar’ie).

Di samping itu, Allah SWT telah memerintahkan Rasulullah SAW untuk mengatur urusan kaum muslimin berdasarkan hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT. Firman Allah SWT:

"Maka putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (dengan) meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu." (TMQ. Al-Ma’idah [5]: 48).

"Dan putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari apa yang telah diturunkan Allah kepadamu" (TMQ. Al-Ma’idah [5]: 49).

Dalam kaedah ushul fiqh dinyatakan bahawa, perintah (khithab) Allah kepada Rasulullah juga merupakan perintah kepada umat Islam selama tidak ada dalil yang mengkhususkan perintah ini hanya untuk Rasulullah (Khithabur rasuli khithabun li ummatihi malam yarid dalil yukhashishuhu bihi). Dalam hal ini tidak ada dalil yang mengkhususkan perintah tersebut hanya kepada Rasulullah SAW.

Oleh kerana itu, ayat-ayat tersebut bersifat umum, iaitu berlaku pula bagi umat Islam. Dan menegakkan hukum-hukum yang diturunkan Allah, tidak mempunyai makna lain kecuali menegakkan hukum dan pemerintahan (as sultan), sebab dengan pemerintahan itulah hukum-hukum yang diturunkan Allah dapat diterapkan secara sempurna. Dengan demikian, ayat-ayat ini menunjukkan wajibnya keberadaan sebuah negara untuk menjalankan semua hukum Islam, iaitu negara Khilafah.

Dalil As-Sunah

Abdullah bin Umar meriwayatkan, "Aku mendengar Rasulullah mengatakan, ‘Barangsiapa melepaskan tangannya dari ketaatan kepada Allah, nescaya dia akan menemui Allah di Hari Kiamat dengan tanpa alasan. Dan barangsiapa mati sedangkan di lehernya tak ada bai’ah (kepada Khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah." [HR. Muslim].

Nabi SAW mewajibkan adanya bai’at pada leher setiap muslim dan mensifati orang yang mati dalam keadaan tidak berbai’at seperti matinya orang-orang jahiliyyah. Padahal bai’at hanya dapat diberikan kepada Khalifah, bukan kepada yang lain. Jadi hadis ini menunjukkan kewajipan mengangkat seorang Khalifah, yang dengannya dapat terwujud bai’at di leher setiap muslim. Sebab bai’at baru ada di leher kaum muslimin kalau ada Khalifah/Imam yang memimpin Khilafah.

Rasulullah SAW bersabda: "Bahawasanya Imam itu bagaikan perisai, dari belakangnya umat berperang dan dengannya umat berlindung." [HR. Muslim]

Rasulullah SAW bersabda: "Dahulu para nabi yang mengurus Bani Israil. Bila wafat seorang nabi diutuslah nabi berikutnya, tetapi tidak ada lagi nabi setelahku. Akan ada para Khalifah dan jumlahnya akan banyak." Para Sahabat bertanya,’Apa yang engkau perintahkan kepada kami? Nabi menjawab,’Penuhilah bai’at yang pertama dan yang pertama itu saja. Penuhilah hak-hak mereka. Allah akan meminta pertanggungjawaban terhadap apa yang menjadi kewajipan mereka." [HR. Muslim].

Rasulullah SAW bersabda: "Bila seseorang melihat sesuatu yang tidak disukai dari amirnya (pemimpinnya), maka bersabarlah. Sebab barangsiapa memisahkan diri dari penguasa (pemerintahan Islam) walau sejengkal saja lalu ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyah." [HR. Muslim].

Hadis pertama dan kedua merupakan pemberitahuan (ikhbar) dari Rasulullah SAW bahawa seorang Khalifah adalah laksana perisai, dan bahawa akan ada penguasa-penguasa yang memerintah kaum muslimin. Pernyataan Rasulullah SAW bahawa seorang Imam itu laksana perisai menunjukkan pemberitahuan tentang adanya faedah-faedah keberadaan seorang Imam, dan ini merupakan suatu tuntutan (thalab). Sebab, setiap pemberitahuan yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya, apabila mengandung celaan (adz dzamm) maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk meninggalkan (thalab at tarki), atau merupakan larangan (an nahy); dan apabila mengandung pujian (al mad-hu) maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk melakukan perbuatan (thalab al fi’li). Dan kalau pelaksanaan perbuatan yang dituntut itu menyebabkan tegaknya hukum syara’ atau jika ditinggalkan mengakibatkan terabaikannya hukum syara’, maka tuntutan untuk melaksanakan perbuatan itu bererti bersifat pasti (fardu). Jadi hadis pertama dan kedua ini menunjukkan wajibnya Khilafah, sebab tanpa Khilafah banyak hukum syara’ akan terabaikan.

Hadis ketiga menjelaskan keharaman kaum muslimin keluar (memberontak, membangkang) dari penguasa (as sulthan). Bererti keberadaan Khilafah adalah wajib, sebab kalau tidak wajib tidak mungkin Nabi SAW sampai begitu tegas menyatakan bahawa orang yang memisahkan diri dari Khilafah akan mati jahiliyah. Jelas ini menegaskan bahawa mendirikan pemerintahan bagi kaum muslimin statusnya adalah wajib.

Rasulullah SAW bersabda pula : "Barangsiapa membai’at seorang Imam (Khalifah), lalu memberikan genggaman tangannya dan menyerahkan buah hatinya, hendaklah ia mentaatinya semaksimal mungkin. Dan jika datang orang lain hendak mencabut kekuasaannya, penggallah leher orang itu." [HR. Muslim].

Dalam hadis ini Rasululah SAW telah memerintahkan kaum muslimin untuk mentaati para Khalifah dan memerangi orang-orang yang merebut kekuasaan mereka. Perintah Rasulullah ini bererti perintah untuk mengangkat seorang Khalifah dan memelihara kekhilafahannya dengan cara memerangi orang-orang yang merebut kekuasaannya. Semua ini merupakan penjelasan tentang wajibnya keberadaan penguasa kaum muslimin, iaitu Imam atau Khalifah. Sebab kalau tidak wajib, nescaya tidak mungkin Nabi SAW memberikan perintah yang begitu tegas untuk memelihara eksistensinya, iaitu perintah untuk memerangi orang yang akan merebut kekuasaan Khalifah.

Dengan demikian jelaslah, dalil-dalil As Sunnah ini telah menunjukkan wajibnya Khalifah bagi kaum muslimin.

Dalil Ijma’ Sahabat

Sebagai sumber hukum Islam ketiga, Ijma’ Sahabat menunjukkan bahawa mengangkat seorang Khalifah sebagai pemimpin pengganti Rasulullah SAW hukumnya wajib. Mereka telah sepakat mengangkat Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, ridlwanullah ‘alaihim.

Ijma’ Sahabat yang menekankan pentingnya pengangkatan Khalifah, nampak jelas dalam kejadian bahawa mereka menunda kewajipan menguburkan jenazah Rasulullah SAW dan mendahulukan pengangkatan seorang Khalifah pengganti beliau. Padahal menguburkan mayat secepatnya adalah suatu kewajipan dan diharamkan atas orang-orang yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah untuk melakukan kesibukan lain sebelum jenazah dikebumikan. Namun, para Sahabat yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah Rasulullah SAW ternyata sebahagian di antaranya justeru lebih mendahulukan usaha-usaha untuk mengangkat Khalifah daripada menguburkan jenazah Rasulullah. Sedangkan sebahagian Sahabat lain mendiamkan kesibukan mengangkat Khalifah tersebut, dan ikut pula bersama-sama menunda kewajipan menguburkan jenazah Nabi SAW sampai dua malam, padahal mereka mampu mengingkari hal ini dan mampu mengebumikan jenazah Nabi secepatnya. Fakta ini menunjukkan adanya kesepakatan (ijma’) mereka untuk segera melaksanakan kewajipan mengangkat Khalifah daripada menguburkan jenazah. Hal itu tak mungkin terjadi kecuali jika status hukum mengangkat seorang Khalifah adalah lebih wajib daripada menguburkan jenazah.

Demikian pula bahawa seluruh Sahabat selama hidup mereka telah bersepakat mengenai kewajipan mengangkat Khalifah. Walaupun sering muncul perbezaan pendapat mengenai siapa yang tepat untuk dipilih dan diangkat menjadi Khalifah, namun mereka tidak pernah berselisih pendapat sedikit pun mengenai wajibnya mengangkat seorang Khalifah, baik ketika wafatnya Rasulullah SAW mahupun ketika pergantian masing-masing Khalifah yang empat. Oleh kerana itu Ijma’ Sahabat merupakan dalil yang jelas dan kuat mengenai kewajipan mengangkat Khalifah.

Dalil Dari Kaedah Syar’iyah

Ditilik dari analisis kaedah fiqih , mengangkat Khalifah juga wajib. Dalam usul fiqh dikenal kaedah syar’iyah yang disepakati para ulama yang berbunyi :

maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa waajib

"Sesuatu kewajipan yang tidak sempurna kecuali adanya sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula keberadaannya." Menerapkan hukum-hukum yang berasal dari Allah SWT dalam segala aspeknya adalah wajib. Sementara hal ini tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna tanpa adanya kekuasaan Islam yang dipimpin oleh seorang Khalifah. Maka dari itu, berdasarkan kaedah syar’iyah tadi, eksistensi Khilafah hukumnya menjadi wajib.

Jelaslah, berbagai sumber hukum Islam tadi menunjukkan bahawa menegakkan Daulah Khilafah merupakan kewajipan dari Allah SWT atas seluruh kaum muslimin.

Pendapat Para Ulama

Seluruh imam mazhab dan para mujtahid besar tanpa kecuali telah bersepakat bulat akan wajibnya Khilafah (atau Imamah) ini. Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menegaskan hal ini dalam kitabnya Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, jilid V, hal. 362 :

"Para imam mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad) rahimahumullah telah sepakat bahawa Imamah (Khilafah) itu wajib adanya, dan bahawa umat Islam wajib mempunyai seorang imam (khalifah) yang akan meninggikan syiar-syiar agama serta menolong orang-orang yang tertindas dari yang menindasnya..."

Tidak hanya kalangan Ahlus Sunnah saja yang mewajibkan Khilafah, bahkan seluruh kalangan Ahlus Sunnah dan Syiah 'termasuk Khawarij dan Mu’tazilah' tanpa kecuali bersepakat tentang wajibnya mengangkat seorang Khalifah. Kalau pun ada segelintir orang yang tidak mewajibkan Khilafah, maka pendapatnya itu tidak perlu ditolak, kerana bertentangan dengan nas-nas syara’ yang telah jelas.

Imam Asy Syaukani dalam Nailul Authar jilid 8 hal. 265 menyatakan: "Menurut golongan Syiah, minoriti Mu’tazilah, dan Asy A’riyah, (Khilafah) adalah wajib menurut syara’." Ibnu Hazm dalam Al Fashl fil Milal Wal Ahwa’ Wan Nihal juz 4 hal. 87 mengatakan: "Telah sepakat seluruh Ahlus Sunnah, seluruh Murji`ah, seluruh Syi’ah, dan seluruh Khawarij, mengenai wajibnya Imamah (Khilafah)."

Bahwa Khilafah adalah sebuah ketentuan hukum Islam yang wajib bukan haram apalagi bid’ah - dapat kitab temukan dalam khazanah Tsaqafah Islamiyah yang sangat kaya. Berikut ini sekelumit saja rujukan yang menunjukkan kewajiban Khilafah :

Imam Al Mawardi, Al Ahkamush Shulthaniyah, hal. 5,

Abu Ya’la Al Farraa’, Al Ahkamush Shulthaniyah, hal.19,

Ibnu Taimiyah, As Siyasah Asy Syar’iyah, hal.161,

Ibnu Taimiyah, Majmu’ul Fatawa, jilid 28 hal. 62,

Imam Al Ghazali, Al Iqtishaad fil I’tiqad,hal. 97,

Ibnu Khaldun, Al Muqaddimah, hal.167,

Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, juz 1 hal.264,

Ibnu Hajar Al Haitsami, Ash Shawa’iqul Muhriqah, hal.17,

Ibnu Hajar A1 Asqallany, Fathul Bari, juz 13 hal. 176,

Imam An Nawawi, Syarah Muslim, juz 12 hal. 205,

Dr. Dhiya’uddin Ar Rais, Al Islam Wal Khilafah, hal.99,

Abdurrahman Abdul Khaliq, Asy Syura, hal.26,

Abdul Qadir Audah, Al Islam Wa Audla’una As Siyasiyah, hal. 124,

Dr. Mahmud Al Khalidi, Qawaid Nizham Al Hukum fil Islam, hal. 248,

Sulaiman Ad Diji, Al Imamah Al ‘Uzhma, hal.75,

Muhammad Abduh, Al Islam Wan Nashraniyah, hal. 61,

dan masih banyak lagi yang lainnya.

Adapun buku-buku yang mengingkari wajibnya Khilafah --seperti Al Islam Wa Usululul Hukm oleh Ali Abdur Raziq, Mabadi` Nizham Al Hukmi fil Islam oleh Abdul Hamid Mutawalli, Tidak Ada Negara Islam oleh Nurcholis Madjid-- sebenarnya tidak perlu dianggap sebagai buku yang serius dan bermutu. Sebab isinya bertentangan dengan nas-nas syara’ yang demikian jelas dan terang. Buku-buku seperti ini tak lain hanya sampah yang kotor yang merupakan penyambung lidah kaum kafir penjajah dan agen-agennya yaitu para penguasa muslim yang zalim yang selalu memaksakan sekularisme kepada umat Islam dengan berbagai argumentasi palsu yang berkedok studi "ilmiah" atau studi "sosiohistori-objektif", dengan tujuan untuk menghapuskan hukum-hukum Allah dari muka bumi dengan cara menghapuskan ide Khilafah yang bertanggung jawab melaksanakan hukum-hukum tersebut. [ ]

dari:

http://www.khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&id=388&Itemid=53

Sabtu, 19 Desember 2009

Lagu Penggugah Semangat (judul: Adakah Kau Lupa)

JEJAK KHILAFAH DAN SYARIAT ISLAM DI INDONESIA


Tegaknya syariat Islam tidak lepas dari keberadaan penguasa kaum Muslim yang menerapkan hukum Islam, menjaga akidah Islam, melindungi kepentingan umat Islam, dan melakukan dakwah Islam. Penguasa tersebut sering disebut sebagai khalifah, imam, amirul mukminin, atau sultan. Terlepas dari soal penamaan ini, penguasa kaum Muslim pada dasarnya adalah penguasa otoritatif yang diakui keberadaannya oleh kaum Muslim; mereka menjaga dan membela kaum Muslim dari berbagai pihak yang mencoba menganggu eksistensi kaum Muslim serta memelihara kaum Muslim sedunia.

Para ahli sejarah mengakui, Kekhilafahan Islam itu memang ada dan menjadi kekuatan politik real umat Islam. Setelah masa Khulafaur Rasyidin, di belahan Barat Asia muncul kekuatan politik yang mempersatukan umat Islam dari Spanyol sampai Sind di bawah Kekhilafahan Bani Umayah (660-749 M), dilanjutkan oleh Kekhilafahan Abbasiyah kurang lebih satu abad (750-870 M), serta Kekhilafahan Utsmaniyah sampai 1924 M.

Adanya kekuatan politik di Asia Barat yang berhadapan dengan Cina telah mendorong tumbuh dan berkembangnya perdagangan di Laut Cina Selatan, Selat Malaka, dan Samudra Hindia. Hal ini dengan sendirinya memberi dampak bagi penyebaran Islam dan tumbuhnya kekuatan ekonomi, karena banyaknya pendakwah Islam yang sekaligus berprofesi sebagai pedagang. Tulisan ini akan mengkaji pengaruh keberadaan Khilafah Islam yang berpusat di Timur Tengah, khususnya pada masa Utsmaniyah, terhadap kehidupan umat Islam di Nusantara. Kajian didasarkan pada suatu kerangka analisis bahwa dengan adanya Khilafah, umat Islam berada di bawah satu kepemimpinan. Khalifah merupakan pelindung kaum Muslim. Para penguasa kaum Muslim di berbagai belahan dunia dengan sendirinya akan mengakui dan tunduk pada Khalifah. Gangguan terhadap umat Islam di suatu negeri dianggap sebagai gangguan terhadap seluruh kaum Muslim; Khalifah akan berperan aktif mengamankannya.

Secara faktual, pada abad 16 dan 17, umat Islam di Kepulauan Nusantara sedang menghadapi serangan penjajah asing, khususnya Portugis dan Belanda. Kedatangan Portugis, sebagaimana diketahui, memiliki tujuan: merampas kekayaan umat Islam (gold), menjalankan tugas suci kristenisasi (gospel), dan melakukan pembalasan terhadap kaum Muslim yang telah menduduki Spanyol dan Portugal sejak zaman Kekhilafahan Bani Umayah (glory). Portugis ingin mewujudkan dominasi militer terhadap komunitas umat Islam. Bertolak dari fakta-fakta inilah, penulis melihat adanya hubungan antara Kekhilafahan Islam dan para Sultan di Kepulauan Nusantara.

Dua Pucuk Surat Pengakuan
Pengaruh keberadaan Khilafah Islam terhadap kehidupan politik Nusantara sudah terasa sejak masa-masa awal berdirinya Daulah Islam. Keberhasilan umat Islam melakukan penaklukan (futûhât) terhadap Kerajaan Persia serta menduduki sebagian besar wilayah Romawi Timur, seperti Mesir, Syria, dan Palestina di bawah kepemimpinan Umar bin al-Khaththab telah menempatkan Khilafah Islam sebagai superpower dunia sejak abad ke-7 M. Ketika kekhilafahan berada di tangan Bani Umayyah (660-749 M), penguasa di Nusantara—yang masih beragama Hindu sekalipun—mengakui kebesaran Khilafah. Pengakuan terhadap kebesaran Khilafah dibuktikan dengan adanya dua pucuk surat yang dikirimkan oleh Maharaja Sriwijaya kepada Khalifah masa Bani Umayah. Surat pertama dikirim kepada Muawiyah dan surat kedua dikirim kepada Umar bin Abdul Aziz. Surat pertama ditemukan dalam sebuah diwan (arsip, pen.) Bani Umayah oleh Abdul Malik bin Umair yang disampaikan kepada Abu Ya‘yub ats-Tsaqafi, yang kemudian disampaikan kepada Haitsam bin Adi. Al-Jahizh yang mendengar surat itu dari Haitsam menceriterakan pendahuluan surat itu sebagai berikut:

Dari Raja al-Hind yang kandang binatangnya berisikan seribu gajah, yang istananya terbuat dari emas dan perak, yang dilayani putri raja-raja, dan yang memiliki dua sungai besar yang mengairi pohon gaharu, kepada Muawiyah….

Surat kedua didokumentasikan oleh Abd Rabbih (246-329/860-940) dalam karyanya, Al-Iqd al-Farîd. Potongan surat tersebut ialah sebagai berikut:

Dari Raja Diraja…, yang adalah keturunan seribu raja.…kepada Raja Arab (Umar bin Abdul Aziz) yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekadar tanda persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya hukum-hukumnya.

Ibnu Tighribirdi, yang juga mengutip surat ini dalam karyanya, An-Nujûm azh-Zhâhirah fî Mulûk Mishr wa al-Qâhirah, memberikan kalimat tambahan pada akhir surat ini, yakni, "Saya mengirimkan hadiah kepada Anda berupa bahan wewangian, sawo, kemenyan, dan kapur barus. Terimalah hadiah itu, karena saya adalah saudara Anda dalam Islam."
Namun demikian, sekalipun ada kalimat, "Saudara Anda dalam Islam," belum ada indikasi Maharaja Sriwijaya memeluk Islam. Maharaja yang berkuasa pada masa itu ialah Sri Indravarman, yang disebut sumber-sumber Cina sebagai Shih-li-t’o-pa-mo. Nama ini mengisyaratkan bahwa ia belum menjadi pemeluk Islam.

Sultan Rum, Khâdim al-Haramayn
Munculnya Kekhilafahan Islam Turki Utsmani, terutama setelah berhasil melakukan penaklukan atas Konstantinopel yang merupakan ibu kota Romawi Timur pada 857/1453, menyebabkan nama Turki melekat di hati umat Islam Nusantara. Nama yang terkenal bagi Turki di Nusantara ialah "Sultan Rum." Sebelum kebangkitan Turki Utsmani, istilah Rum mengacu pada Byzantium, dan kadang-kadang juga pada Kerajaan Romawi. Akan tetapi,setelah kemunculan Turki Utsmani, istilah Rum beredar untuk menyebut Kesultanan Turki Utsmani. Mulai masa ini, supremasi politik dan kultural Rum (Turki Utsmani) menyebar ke berbagai wilayah Dunia Muslim, termasuk ke Nusantara. Kekuatan politik dan militer Kekhilafahan Turki Utsmani mulai terasa di kawasan Lutan India pada awal abad ke-16. Sebagai penguasa kaum Muslim, Khalifah Turki Utsmani memiliki posisi sebagai khâdim al-Haramayn (penjaga dua tanah haram, yakni Makkah dan Madinah). Pada posisi ini, para penguasa Turki Utsmani mengambil langkah-langkah khusus untuk menjamin keamanan bagi perjalanan haji. Seluruh rute haji di wilayah kekuasaan Utsmani di tempatkan di bawah kontrolnya. Kafilah haji dengan sendirinya dapat langsung menuju Makkah tanpa hambatan berarti atau rasa takut menghadapi gangguan Portugis.

Pada tahun 954/1538, Sultan Sulaiman I (berkuasa 928/1520-66) melepas armada yang tangguh di bawah komando Gubernur Mesir, Khadim Sulaiman Pasya, untuk membebaskan semua pelabuhan yang dikuasai Portugis guna mengamankan pelayaran haji ke Jeddah.
Turki Utsmani juga mengamankan rute haji dari wilayah sebelah Barat Sumatera dengan menempatkan angkatan lautnya di Samudera Hindia. Kehadiran angkatan laut Utsmani di Lautan Hindia setelah 904/1498 tidak hanya mengamankan perjalanan haji bagi umat Islam Nusantara, tetapi juga mengakibatkan semakin besarnya saham Turki dalam perdagangan di kawasan ini. Pada gilirannya, hal ini memberikan konstribusi penting bagi pertumbuhan kegiatan ekonomi sebagai dampak sampingan perjalanan ibadah haji. Pada saat yang sama, Portugis juga meningkatkan kehadiran armadanya di Lautan India, tetapi angkatan laut Utsmani mampu menegakkan supremasinya di kawasan Teluk Persia, Laut Merah, dan Lautan India sepanjang abad ke-16. Dalam kaitan dengan pengamanan rute haji, Selman Reis (w 936/1528), laksanama Turki di Laut Merah, terus memantau gerak maju pasukan Portugis di Lautan Hindia, dan melaporkannya ke pusat pemerintahan Khilafah di Istambul. Salah satu bunyi laporan yang dikutip Obazan ialah sebagai berikut:

(Portugis) juga menguasai pelabuhan (Pasai) di pulau besar yang disebut Syamatirah (Sumatera)….Dikatakan, mereka mempunyai 200 orang kafir di sana (Pasai). Dengan 200 orang kafir, mereka juga menguasai pelabuhan Malaka yang berhadapan dengan Sumatera….Karena itu, ketika kapal-kapal kita sudah siap dan, insya Allah, bergerak melawan mereka, maka kehancuran total mereka tidak terelakkan lagi, karena satu benteng tidak bisa menyokong yang lain, dan mereka tidak dapat membentuk perlawanan yang bersatu.

Laporan ini memang cukup beralasan, karena pada tahun 941/1534, sebuah skuadron Portugis yang dikomandoi Diego da Silveira menghadang sejumlah kapal asal Gujarat dan Aceh di lepas Selat Bab el-Mandeb pada Mulut Laut Merah.

Membebaskan Malaka dan Menaklukan Daerah Batak
Sebagaimana disebutkan dalam berbagai buku sejarah, Semenanjung Malaka diduduki Portugis pada Abad ke-16. Ternyata hal ini juga menjadi perhatian Turki Utsmani.
Pada tahun 925/1519, Portugis di Malaka digemparkan oleh kabar tentang pelepasan armada Utsmani untuk membebaskan Muslim Malaka dari penjajahan kafir. Kabar ini, tentunya, sangat menggembirakan kaum Muslim setempat. Ketika Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar naik tahta Aceh pada tahun 943/1537, ia kelihatan menyadari kebutuhan Aceh untuk meminta bantuan militer kepada Turki, bukan hanya untuk mengusir Portugis di Malaka, tetapi juga untuk melakukan futûhât ke wilayah-wilayah yang lain, khususnya daerah pedalaman Sumatera, seperti daerah Batak. Al-Qahhar menggunakan pasukan Turki, Arab, dan Abesinia. Pasukan Turki terdiri dari 160 orang, ditambah 200 orang tentara dari Malabar. Mereka membentuk kelompok elit angkatan bersenjata Aceh. Selanjutnya al-Qahhar dikirim untuk menaklukkan wilayah Batak di pedalaman Sumatera pada tahun 946/1539.
Mendez Pinto, yang mengamati perang antara pasukan Aceh dan Batak, melaporkan kembalinya armada Aceh di bawah komando seorang Turki bernama Hamid Khan, keponakan Pasya Utsmani di Kairo.

Seorang sejarahwan Universitas Kebangsaan Malaysia, Lukman Thaib, mengakui adanya bantuan Turki Utsmani untuk melakukan futûhât terhadap wilayah sekitar Aceh. Menurut Thaib, hal ini merupakan ekspresi solidaritas umat Islam yang memungkinkan bagi Turki melakukan serangan langsung terhadap wilayah sekitar Aceh.
Demikianlah, hubungan Aceh dengan Turki sangat dekat. Aceh seakan-akan merupakan bagian dari wilayah Turki. Persoalan umat Islam Aceh dianggap Turki sebagai persoalan dalam negeri yang harus segera diselesaikan.

Nuruddin ar-Raniri, dalam Bustân as-Salâthîn, meriwayatkan, bahwa Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar mengirim utusan ke Istambul untuk menghadap 'Sultan Rum'. Utusan ini bernama Husain Effendi yang fasih berbahasa Arab. Ia datang ke Turki setelah menunaikan ibadah haji. Pada Juni 1562, utusan Aceh tersebut tiba di Istambul untuk meminta bantuan militer Utsmani guna menghadapi Portugis. Ketika duta itu berhasil lolos dari serangan Portugis dan sampai di Istambul, ia berhasil mendapat bantuan Turki, yang menolong Aceh membangkitkan kebesaran militernya sehingga memadai untuk menaklukkan Aru dan Johor pada 973/1564.

Khalifah dan Gubernurnya di Aceh
Dalam kaitan dengan utusan Aceh tersebut, Farooqi menemukan sebuah arsip Utsmani yang berisi sebuah petisi dari Sultan Alauddin Riayat Syah kepada Sultan Sulaiman al-Qanuni yang dibawa Husain Effendi. Dalam surat ini Aceh mengakui penguasa Utsmani sebagai khalifah Islam. Selain itu, surat ini melaporkan tentang aktivitas militer Portugis yang menimbulkan masalah besar terhadap para pedagang Muslim dan jamaah haji dalam perjalanan ke Makkah. Karena itu, bantuan Utsmani sangat mendesak untuk menyelamatkan kaum Muslim yang terus dibantai Farangi (Portugis) kafir.
Khalifah Sulaiman al-Qanuni wafat tahun 974/1566. Akan tetapi, petisi Aceh mendapat dukungan Sultan Salim II (974-82/1566-74), yang mengeluarkan perintah Kekhilafahan untuk melakukan ekspedisi besar militer ke Aceh. Sekitar September 975/1567, Laksamana Turki di Suez, Kurtoglu Hizir Reis, diperintahkan berlayar menuju Aceh dengan sejumlah ahli senapan api, tentara, dan artileri. Pasukan ini diperintahkan berada di Aceh selama masih dibutuhkan oleh Sultan. Namun, dalam perjalanan, armada besar ini hanya sebagian yang sampai Aceh karena dialihkan untuk memadamkan pemberontakan di Yaman yang berakhir pada tahun 979/1571. Menurut catatan sejarah, pasukan Turki yang tiba di Aceh pada tahun 1566-1577 sebanyak 500 orang, termasuk para ahli senjata api, penembak, dan para teknisi. Dengan bantuan ini, Aceh menyerang Portugis di Malaka pada tahun 1568.
Kehadiran Kurtoglu Hizir Reis bersama armada dan tentaranya dengan sendirinya disambut dengan sukacita oleh umat Islam Aceh. Mereka disambut dengan upacara besar. Kurtoglu Hizir Reis kemudian diberi gelar sebagai gubernur (wali) Aceh, yang merupakan utusan resmi Khalifah yang ditempatkan di daerah Aceh.

Bendera Turki di Kapal Aceh
Hubungan Aceh dengan Turki Utsmani terus berlanjut, terutama untuk menjaga keamanan Aceh dari serangan Portugis. Menurut seorang penulis Aceh, pengganti al-Qahhar kedua, yakni Sultan Mansyur Syah (985-98/1577-88) memperbarui hubungan politik dan militer dengan Utsmani. Hal ini dibenarkan oleh sumber-sumber historis Portugis. Uskup Jorge de Lemos, sekretaris Raja Muda Portugis di Goa, pada tahun 993/1585 melaporkan kepada Lisbon bahwa Aceh telah kembali berhubungan dengan Khilafah Utsmaniyah untuk mendapatkan bantuan militer guna melancarkan serangan baru terhadap Portugis. Penguasa Aceh berikutnya, Sultan Alauddin Riayat Syah (988-1013/1588-1604) juga dilaporkan telah melanjutkan hubungan politik dengan Turki. Dikatakan, Khilafah Utsmaniyah bahkan telah mengirimkan sebuah bintang kehormatan kepada Sultan Aceh dan memberikan izin kepada kapal-kapal Aceh untuk mengibarkan bendera Turki. Kapal-kapal atau perahu yang dipakai Aceh dalam setiap peperangan terdiri dari kapal kecil yang gesit dan kapal-kapal besar. Kapal-kapal besar atau jung yang mengarungi lautan hingga Jeddah berasal dari Turki, India, dan Gujarat. Dua daerah terakhir ini merupakan bagian dari wilayah Kekhilafahan Turki Utsmani. Menurut Court, kapal-kapal ini cukup besar, berukuran 500 sampai 2000 ton. Kapal-kapal besar yang berasal dari Turki, yang dilengkapi meriam dan persenjataan lainnya dipergunakan Aceh untuk menyerang penjajah dari Eropa yang menganggu wilaya-wilayah Muslim di Nusantara. Aceh benar-benar tampil sebagai kekuatan besar yang sangat ditakuti Portugis karena diperkuat oleh para ahli persenjataan dari Kekhilafahan Turki sebagai bantuan Khalifah terhadap Aceh.
Menurut sumber-sumber Aceh, Sultan Iskandar Muda (10116-46/1607-36) mengirimkan armada kecil yang terdiri dari tiga kapal, yang mencapai Istambul setelah dua setengah tahun pelayaran melalui Tanjung Harapan. Ketika misi ini kembali ke Aceh, mereka diberi bantuan sejumlah senjata, 12 pakar militer, dan sepucuk surat yang merupakan keputusan Khilafah Utsmaniyah tentang persahabataan dan hubungan dengan Aceh. Kedua belas pakar militer tersebut disebut pahlawan di Aceh. Mereka dikatakan sangata ahli sehingga mampu membantu Sultan Iskandar Muda tidak hanya dalam membantu membangun benteng tangguh di Banda Aceh, tetapi juga istana kesultanan.

As-Singkeli dan Qanun Syariah di Aceh
Sebagai bagian Khilafah Islam, Aceh menerapkan syariat Islam sebagai patokan kahidupan bermasyarakat dan bernegara. Selain itu, Aceh banyak didatangi para ulama dari berbagai belahan Dunia Islam lainnya. Syarif Makkah mengirimkan ke Aceh utusannya, seorang ulama bernama Syaikh Abdullah Kan'an sebagai guru dan muballig. Sekitar tahun 1582, datang dua orang ulama besar dari negeri Arab, yakni Syaikh Abdul Khair dan Syaikh Muhammad Yamani. Di samping itu, di Aceh sendiri lahir sejumlah ulama besar, seperti Syamsuddin as-Sumatrani dan Abdur Rauf as-Singkeli.

Abdur Rauf Singkel mendapat tawaran dari Sultan Aceh, Safiyatuddin Shah untuk menduduki jabatan kadi/ hakim (qâdhi) dengan sebutan Qadhi al-Malik al-Adil yang sudah lowong beberapa lama karena Nuruddin ar-Raniri kembali ke Ranir (Gujarat). Setelah melakukan berbagai pertimbangan, Abdur Rauf menerima tawaran tersebut. Karena itu, ia resmi menjadi kadi/hakim (qâdhi) dengan sebutan Qadhi al-Malik al- Adil. Selanjutnya, sebagai seorang kadi/hakim, Abdur Rauf diminta Sultan untuk menulis sebuah kitab sebagai patokan (qânûn) penerapan syariat Islam. Buku tersebut kemudian diberi judul Mir’ah al-Thullâb.
Menurut Abdur Rauf, naskah Mir’ah ath-Thullâb mengacu pada kitab Fath al-Wahhâb karya Abi Yahya Zakariyya al-Ansari (825-925 H). Sumber lain yang digunakan untuk menulis buku ini ialah: Fath-al-Jawwâd, Tuhfah al-Muhtâj, Nihâyah al-Muhtâj, Tafsîr al-Baydawi, al-Irsyâd, dan Sharh Shahîh Muslim.

Mir’ah ath-Tullâb mengandung semua hukum fikih Imam asy-Syafi'i, kecuali masalah ibadah. Peunoh Daly dalam disertasinya hanya menguraikan sebagian kandungan Mir'ah ath-Thullâb, terdiri dari: Hukum Nikah, Talak, Rujuk, Hadanah (Penyusuan), dan Nafkah. Namun, terlepas dari itu, Aceh sebagai bagian dari Khilafah Islam memiliki qânûn (undang-undang) penerapan syariat Islam yang ditulis oleh Abdur Rauf as-Singkeli.

Penutup
Banyak bukti yang menunjukkan adanya hubungan yang dekat antara Aceh dan Khilafah Turki Utsmani. Aceh seakan-akan dianggap sebagai bagian dari wilayah Turki Utsmani. Persoalan yang menimpa umat Islam di Aceh seakan-akan dianggap sebagai persoalan umat Islam secara keseluruhan. Turki Utsmani melindungi wilayah Aceh serta membantu Aceh melakukan futûhât dan dakwah.
Namun demikian, perlu penelitian lebih lanjut: apakah Aceh benar-benar menjadi bagian dari Kekhilafahan Turki Utsmani ataukah merupakan negeri sendiri yang mendapat perlindungan Khilafah akibat solidaritas dan persaudaraan Islam? Yang jelas, peran Khilafah Islam di wilayah Nusantara bukan suatu yang asing. Perlindungan Khalifah pernah dirasakan oleh umat Islam di Nusantara.
Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []

dicopas dari:
Al-Wa'ie edisi 55 (Hizbut Tahrir, Khilafah, dan Syariah)