Jakarta -- Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah secara tegas menolak judicial review peraturan perundangan mengenai penistaan dan atau penodaan agama oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Pasalnya, jika Peraturan Presiden No.1/PNPS/1965 yang sudah diundangkan melalui UU No 5/1969 itu jadi diubah, maka akan sangat berpotensi memicu konflik yang lebih besar bagi kehidupan beragama di Indonesia.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU KH Hasyim Muzadi menegaskan, keberadaan peraturan perundangan mengenai penistaan dan atau penodaan agama harus dipertahankan. Karena itu permintaan agar undang-undang dicabut atas nama demokrasi sangat tidak tepat.
"Karena itu, kita berharap Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi undang-undang itu," kata kiai Hasyim usai membuka Rakernas I Majelis Alumni Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama di Jakarta, Minggu (31/1).
Menurut Hasyim, tanpa adanya peraturan itu maka yang akan terjadi adalah anarki. Di satu sisi orang bisa berbuat sesukanya membuat agama atau aliran kepercayaan sesuai selera, di sisi lain masyarakat yang tidak terima akan berbuat sesukanya untuk melakukan penghakiman. "Kalau tidak ada cantolan hukum, masyarakat bukannya diam, tetapi justru akan anarki. Kalau ada hukum hal itu bisa kita rem," katanya.
Hasyim menegaskan, penodaan agama merupakan agresi moral yang justru merusak agama. "Jadi harus dibedakan antara demokrasi dengan agresi moral," kata penyandang gelar doktor honoris causa bidang peradaban Islam tersebut.
Dikatakannya, UUD 1945 memang menjamin kebebasan beragama, namun harus dimaknai sebagai bebas memilih dan menjalankan agama yang diakui dan sah menurut undang-undang.
Soal tuntutan agar tidak ada pembatasan mengenai jumlah agama yang diakui, menurut Hasyim justru hal itu yang menjadi pintu masuk bagi penodaan terhadap agama yang telah jelas eksistensinya.
"Kalau pun ada yang minta jumlahnya ditambah demi alasan keadilan, ya, tetap tidak menyelesaikan persoalan. Kalau pun dikasih sepuluh, yang pingin agama ke-11 akan menilai tidak adil. Dikasih 100 sekali pun, yang berikutnya tetap menganggap tidak adil," kata kiai Hasyim.
Hal senada dikemukakan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr Din Syamsuddin bahwa uji materi terhadap kebebasan beragama yang diajukan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ke Mahkamah Konstitusi (MK) sangat berbahaya.
"Saya mengetahui ada agenda pengajuan tentang kebebasan beragama. Sikap saya maupun organisasi bahwa itu berbahaya," tandas Din disela-sela Seminar Nasional Satu Abad Pendidikan Muhammadiyah: Format dan Tantangan Pendidikan Muhammadiyah Ke Depan di Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka, Jakarta , Sabtu (31/1).
Din Syamsuddin mengatakan, jika Peraturan Presiden No.1/PNPS/1965 yang sudah diundangkan melalui UU No 5/1969 itu jadi diubah, maka akan sangat berpotensi memicu konflik yang lebih besar bagi kehidupan beragama di Indonesia karena merasa kemurnian ajaran agamanya terganggu. "Bisa muncul anarki sebagai reaksi dari umat beragama yang protes jika agamanya diganggu," ujarnya.
Menurut dia, penolakan ini akan mendapatkan dukungan dari komunitas agama manapun karena semua umat beragama manapun tidak ingin agama yang cuci dinodai agama. "Agama merupakan masalah sakral yang tidak boleh terusik. Namun demikian untuk kepentingan sesama umat beragama dalam rangka menciptakan kerukunan umat beragama di tanah air, maka negara tetap mempunyai tanggung jawab," tandasnya.
Uji materi terhadap UU ini diajukan oleh sejumlah LSM yang tergabung dalam kelompok Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB), di antaranya IMPARSIAL, ELSAM, PBHI, DEMOS, Perkumpulan Masyarakat Setara, Desantara Foundation, dan YLBHI. (ks)
http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=11757&Itemid=1&news_id=18 (1 Pebruari 2010)