Perubahan besar dunia menuju KHILAFAH

menuju KHILAFAH photo Menuju-MK-2013.gif

The KHILAFAH Channel

khilafah on livestream.com. Broadcast Live Free

Jumat, 30 Maret 2012

9 Alasan Penolakan Kenaikan Harga BBM

1. Menekan daya beli masyarakat sehingga mereka akan semakin sengsara dan orang msikin akan semakin banyak. Kenaikan BBM dipastikan akan meningkatkan inflasi sekitar 7 % , Kenaikan harga bahan Pokok antara 5 - 10 %, kenaikan biaya transportasi dan distribusi produksi barang anatar 30- 35 %.  Bahkan sebelum pemerintah menetapkan kenaikan harga tersebut harga-harga saat ini khususnya kebutuhan pokok telah mengalami lonjakan. Selain itu, kegiatan bisnis khususnya pada UMKM juga akan terpukul akibat membengkaknya biaya produksi sehingga akan mendorong pemangkasan tenaga kerja yang berujung pada peningkatan jumlah penggangguran. Dengan demikian, jumlah penduduk miskin dipastikan akan semakin bertambah karena daya beli mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka akan terpangkas akibat inflasi yang dipicu oleh kenaikan BBM  tersebut. Jumlah orang Miskin di Indonesia berdasarkan data  yang diakui oleh Pemerintah per maret 2011 sebanyak 30, 2  juta jiwa , sementara kalau menggunakan data penerima raskin (Beras Miskin) diatas 70 juta jiwa sedangkan berdasarkan data World Bank masih diatas 100 juta. Adapun program kompensasi yang direncanakan pemerintah dalam bentuk Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) nilainya, cakupan dan masa pemberiannya sangat terbatas sehingga tidak dapat meredam dampak kenaikan harga BBM. Buktinya, pemberian Bantuan Langusung Tunai (BLT) yang pernah diberikan pemerintah disamping menimbulkan chaos di tengah-tengah masyarakat, juga tidak dapat mengurangi angka kemiskinan dan beban hidup masyarakat.  Berdasarkan kenaikan BBM tahun 2005 kebijakan kenaikan BBM  mengakibatkan kenaikan orang miskin sebesar 16 %. Maka Jumlah orang miskin akan semakin bertambah dengan peningkatan yang fantasis.

2. BBM selama ini sebagian besar dikonsumsi oleh masyarakat menengah ke bawah. Hal ini dapat ditunjukkan beberapa indikator antara lain: dari total jumlah kendaraan di Indonesia yang mencapai 53,4 juta (2010), sebanyak 82% merupakan kendaraan roda dua yang nota bene kebanyakan dimiliki oleh kelas menengah bawah. SEmentara berdasarkan data SUSENAS 2010 pengguna BBM bersubsidi terdiri dari 2 % orang kaya, 6 % kelompok Menengah Keatas, 27 % kelompok Menengah dan 65 % Menengah ke bawah dan Miskin. Sedangkan menurut BPH MIGAS tahun 2011 konsumsi premium terdiri dari Sepeda Motor 40 %, Kendaraan Plat HItam 53 % dan Angkutan Umum  7 %.

3. Kebijakan kenaikan BBM sangat tidak adil. Hal ini anggaran subsidi BBM tanpa skenario kenaikan harga, pada 1 April 2012 akan mencapai Rp178,62 triliun itu dinikmati oleh 230 juta orang. Sementara Pemerintah dengan mudahnya menggelotorkan dana untuk membail-out sektor keuangan dan perbankan yang hanya dinikmati oleh segelintir orang. Pemerintah misalnya setiap tahunnya harus membayar bunga obligasi rekap BLBI sebesar 13,2-14,3 persen yang menyedot anggaran sekitar  Rp 60 triliun pada tahun 2008[1]. Padahal obligasi yang baru jatuh tempo pada 2033 tersebut  hanya dinikmati oleh sejumlah perbankan pemerintah dan swasta yang sebagian sahamnya kini dikuasai asing.

4. Penyebab membengkaknya subsidi akibat kegagalan pemerintah dalam mengelola energi nasional. Anehnya kegagalan tersebut kemudian ditimpakan kepada rakyat dengan menaikkan harga BBM. Bentuk-bentuk kegagagalan pemerintah tersebut antara lain:

a)      Sejak 2006 sampai 2009 Indonesia kehilangan devisa negara hingga Rp 410,4 triliun akibat mengekspor gas bumi dengan harga yang terlampau murah, sementara hasil penjualan gas bumi itu untuk mengimpor minyak.

b)      Dalam laporan investigasinya, BPK menyebutkan adanya potensi kerugian negara akibat konsumsi BBM energi primer PLN yang disubsidi oleh negara. Potensi kerugian tersebut mencapai Rp 17,9 triliun pada tahun 2009, dan RP 19,7 triliun pada 2010.Kerugian ini muncul akibat PLN tidak bisa menggunakan Gas karena gasnya di Impor.

c)      meningkatnya anggaran subsidi terjadi akibat kelalaian pemerintah menyediakan transportasi publik yang aman dan nyaman sehingga penggunaan kendaran pribadi seperti motor dan mobil pribadi makin membludak.

d)     Pemerintah tidak serius mengelola energi alternatif selain BBM yang lebih murah. Gas misalnya meski murah dan produksinya di Indonesia melimpah, malah lebih banyak diekspor. Berdasarkan data Kementerian ESDM, dari total produksi 9,34  MMSCFD pada 2010,  52 % produksi gas Indonesia diekspor ke luar negeri yang terdiri dari gas alam (10%) dan LNG 42%. Sisanya dibagi-bagi untuk industri (14%), PLN (8%), dan lain-lain. Besarnya alokasi ekspor tersebut membuat permintaan domestik seperti industri dan listrik banyak yang tidak terpenuhi. Sejumlah PLTG milik PLN misalnya hingga kini terpaksa mengkonsumsi bahan bakar diesel yang harganya tiga kali lipat dari gas. Akibatnya subbsidi untuk PLN membengkak.

e)      masih banyak pos-pos belanja lain yang justru sangat membebani APBN seperti belanja pembayaran pokok utang dan bunganya, infesiensi penggunaan anggaran oleh pemerintah dan kebocoran anggaran akibat korupsi dan penyalahgunaan anggaran. Pada APBN-P 2011 misalnya, alokasi pembayaran pokok utang dan bunganya masing-masing sebesar Rp 143,5 triliun dan Rp 106.5 triliun atau Rp 250 triliun. Selain itu, menurut pejabat KPK, kebocoran ABPN dapat mencapai 30% dari total anggaran.


5. Kenaikan harga BBM bersubsidi hanya akan menguntungkan Perusahaan Minyak Asing yang bergerak di sektor hilir  dan merugikan Pertamina sebagai BUMN miliki negara. Dengan kenaikan harga BBM bersubsidi maka disparitas harga BBM bersubsidi dengan non subsidi akan semakin kecil, kondisi ini akan menggiring pengalihan pengguna premium ke Pertamax, sementara 90 % kebutuhan Pertamax masih harus di Impor. Sementara harga jual bensin Petronas dan Shell lebih murah dibandingkan dengan Pertamax Pertamina .  Dengan biaya produksi yang lebih efisien dan kualitas yang mungkin lebih baik maka produk-produk SPBU asing tersebut akan lebih kompetitif dibandingkan SPBU Pertamina. Jika tidak ada inovasi maka kegiatan bisnis Pertamina di sektor hilir menjadi tidak kompetitif sehingga SPBU-SPBU yang terafiliasi dengan Pertamina (Dealer Owned Dealer Operated/DODO) akan berpindah ke perusahaan-perusahaan minyak asing tersebut yang dinilai lebih menguntungkan. Hal ini tentu akan merugikan Pertamina. Sudahlah disektor hulu terdilusi, di sektor hilir pun kalah bersaing. Konsenkuensi berikutnya, pendapatan negara dari Pertamina akan semakin minim.

6. Mayoritas pengelolaan migas saat ini dikuasai oleh swasta khususnya pihak asing sehingga pendapatan negara dari migas sangat minim. Dari total produksi minyak mentah di Indonesia  pada 2010 hanya 16 persen yang diproduksi oleh Pertamina. Sisanya dibagi-bagi oleh investor asing dan swasta domestik seperti Chevron (42%) dan Total (10%). Konsekuensinya, dari total produksi minyak mentah yang mencapai 300 juta barel, sebanyak 121 juta atau 40 persen diekpor ke mancanegara. Padahal di saat yang sama Indonesia harus mengimpor 101 juta minyak mentah dari berbagai negara untuk memproduksi BBM dalam negeri. Belum lagi, pemerintah melalui BP Migas justru lebih memprioritaskan untuk memperpanjang kontrak-kontrak pengelolaan ladang minyak kepada pihak swasta ketimbang menyerahkannnya kepada Pertamina. Di sisi lain dengan UU Migas 22/2001, Pertamina yang sebelumnya juga bertindak sebagai  regulator disejajarkan dengan perusahaan swasta sehingga harus bersaing untuk mendapatkan konsesi pengelolaan ladang minyak dari BP Migas. Kebijakan ini berkebalikan dengan Malaysia, China dan sejumlah negara Amerika Latin dimana pemerintah memberikan peran dominan kepada BUMN mereka untuk mengelola migas mereka. Akibatnya pendapatan dari sektor tersebut lebih banyak dinikmati swasta/asing ketimbang negara. Bukan itu saja, melalui UU tersebut pendapatan pemerintah justru semakin berkurang. Jika pada peraturan kontrak Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract/ PSC) lama (1971) bagi hasil pemerintah kontraktor setelah cost recovery dan pajak sebesar 85:15, namun dengan peraturan PSC yang berlaku pasca UU No. 22/2001 nisabah tersebut dapat mencapai 63:37 (lihat: Oil & Gas Indonesia: Investment and Taxation Guide, PWC [2010])

7. Kegiatan usaha Pertamina belum berjalan secara efisien khususnya dalam memproduksi BBM sehingga biaya produksi menjadi lebih mahal. Menurut sejumlah sumber termasuk temuan BPK tahun 2008[2] disebutkan sumber inefisiensi Pertamina antara lain: (a) pengadaan minyak mentah dan BBM yang tidak efisien. Hal ini karena Pertamina mengimpor minyak mentah dan BBM melalui jasa rekanan para (trader) sehingga biaya pengadaan minyak impor semakin mahal bahkan sejumlah pengadaan melalui penunjukan langsung yang biayanya lebih mahal; (b) Pertamina lebih banyak menggunakan kapal sewa daripada kapal milik sendiri sehingga biaya angkut lebih mahal. Ini terjadi karena Pertamina dari 137 Kapal yang dioperasikan Pertamina, 102 diantaranya disewa dari perusahaan lain[3]; (c) dalam jumlah tertentu, Pertamina lebih memilih untuk mengimpor dibandingkan membeli atau menggunakan hasil produksi dalam negeri yang tidak membutuhkan biaya pengapalan; (d) Pertamina mengimpor BBM karena keterbatasan kapasitas kilang Pertamina. Kapasitasnya hanya sebesar satu juta barel perhari yang hanya sanggup memenuhi 63% kebutuhan dalam negeri. Kapasitas kilang tersebut dalam lima tahun terakhir justru mengalami penurunan dari 282 juta barel pada tahun 2004 menjadi hanya 245 juta barel pada 2008.[4] Padahal dengan memproduksi sendiri biayanya akan lebih murah. Dengan demikian semestinya harga minyak yang dijual Pertamina kepada konsumen akan lebih rendah jika inefisiensi tersebut dapat ditekan. Sayangnya pembenahan tersebut hingga kini belum terlihat. Salah satu indikatornya cost recovery Pertamina yang jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata cost recovery total perusahaan minyak di Indonesia.

8. Alasan pemerintah bahwa anggaran BBM bersubsidi terus membengkak sehingga membebani APBN juga cenderung menyesatkan.

Tidak benar, karena yang membebani APBN setiap tahun itu adalah

1.       Utang Luar Negeri baik Bunga Maupun Pokoknya. (Lihat Perbandingan Utang dengan Subsidi pada APBN dari 2005-2010.


Tahun
SUBSIDI
UTANG
EnergiNon EnergiTotalBUNGAPokokTotal
2005
104,45
16,31
120,67
61,58
65,2
126,78
2006
94,61
12,82
107,43
77,74
79,08
156,62
2007
116,86
33,35
150,21
100,7
79,81
180,51
2008
223,01
52,28
275,29
103,77
88,43
192,2
2009
94,58
43,50
138,08
117,1
93,78
210,38
2010
143,49
57,27
201,36
124,68
105,65
230,33
2011
195,29
41,9
237,18
123,07


Subsidi dinikmati oleh seluruh rakyat (230  juta lebih) sementara sebagian Utang (BLBI dan bunganya)  hanya dinikmati oleh sekelompok orang .


2. Numerisasi pegawai terus berjalan. Gaji PNS naik terus mengimbangi inflasi. Fasilitas untuk para pejabat dan anggota DPR terus bertambah. Banyak mobil dinas dan kantor-kantor baru. Belanja untuk gaji pegawai dan operasional aparat pemerintah mencapai 51,4% dari anggaran. (Bandingkan dengan subsidi BBM yang hanya 8,7%)

9. Pembatasan Subsidi BBM dan menaikkan harga BBM merupakan bagian dari upaya untuk meliberalisaikan sektor migas secara kaffah baik sektor hulu maupun hilir. . Dalam pradigma neoliberalisme, subsidi BBM harus segera dihapuskan karena akan menjadi beban bagi keuangan negara. Untuk melaksanakan agenda ini maka berbagai langkah, dilakukan pemerintah antara lain menyiapkan sejumlah regulasi untuk mewujudkan hal itu seperti Undang-undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Migas, Undang-undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, dll. Juga peraturan-peraturan lain di bawah undang-undang seperti Peraturan Presiden No. 55 Tentang Harga Jual BBM Dalam Negeri. Dalam Komunike pertemuan G20 di Gyeongju, Korea Selatan,disebutkan bahwa negara-negara G20 akan terus mendorong negara-negara anggotanya untuk mengurangi subsidi BBM. Pemberian subsidi terhadap BBM dinilai tidak efisien.[5] Ban Dunia dan IMF juga telah mensyaratkan hal ini dalam berbagai kebijakannya.  Dalam Memorandum of Economic and Financial Policies (LoI IMF, July 2001) dinyatakan: “Pemerintah [Indonesia] berkomitmen penuh untuk mereformasi sektor energi yang dicantumkan pada MEFP 2000. Secara khusus pada bulan September, UU Listrik dan Migas yang baru akan diajukan ke DPR. Menteri Pertambangan & Energi telah menyiapkan rencana jangka menengah untuk menghapus  secara bertahap subsidi BBM dan mengubah tarifl listrik sesuai dengan tarif komersil.” Bank Dunia dalam Indonesia Country Assistance Strategy (World Bank, 2001): “Utang-utang untuk reformasi kebijakan memang merekomendasikan sejumlah langkah seperti privatisasi dan pengurangan subsidi yang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi belanja publik…

Kenaikan harga BBM merupakan bagian dari agenda liberalisasi migas yang bertentangan dengan syariat Islam. Dengan kebijakan tersebut pihak swasta/asing akan lebih dominan dalam pengelolaan sumber daya alam khususnya migas.  Minyak bumi dan gas serta kekayaan alam yang melimpah lainnya dalam pandangan Islam merupakan barang milik umum (al milkiyyah al-ammah) yang pengelolaannya harus diserahkan kepada negara dan seluruh hasilnya dikembalikan kepada publik. Dengan demikian ia tidak boleh diserahkan/dikuasakan kepada swasta apalagi asing;

عَنْ أَبْيَضَ بْنِ حَمَّالٍ : أَنَّهُ وَفْدَ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ قَالَ ابْنُ الْمُتَوَكِّلِ الَّذِى بِمَأْرِبَ فَقَطَعَهُ لَه فَلَمَّا أَنْ وَلَّى قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمَجْلِسِ : أَتَدْرِى مَا قَطَعْتَ لَهُ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ قَالَ فَانْتَزِعَ مِنْهُ

Dari  Abyadh bin Hammal: beliau menghadap kepada Nabi saw dan memohon diberikan bagian dari tambang garam yang menurut Ibnu Mutawakkil, berada di daerah Ma’rib lalu beliau memberikannya. Namun tatkala orang tersebut berpaling, seseorang yang berada di majelis beliau berkata : “Tahukah Anda bahwa yang Anda berikan adalah [seperti] air yang mengalir? Maka beliau pun membatalkannya.” (HR. Baihaqy & Tirmidzy)

Bobroknya pengelolaan migas di negeri ini berpangkal dari sistem ekonomi kapitalisme yang menjadi pijakan pemerintah. Dalam sistem tersebut kebebabasan memiliki dan kebebasan berusaha dijamin oleh negara melalui undang-undang. Peran negara diminimalkan dalam kegiatan ekonomi dan hanya diposisikan sebagi regulator. Dengan demikian peluang swasta khususnya asing akan semakin besar dalam menguasai perekonomian negeri ini. Padahal Allah swt berfirman:

وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا

“Dan Allah tidak memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang beriman.” (QS: An-Nisa: 141)

Oleh karena itu, tidak ada cara lain untuk membebasakan rakyat dari sistem Kapitalisme yang terbukti menyengsarakan ini kecuali menerapkan sistem khilafah Islamiyyah, sebuah sistem yang bersumber dari Aqidah Islam dan mengatur seluruh urusan masyarakat dengan syariat Islam termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam.(hizbut-tahrir.or.id)

[1] http://www.tribunnews.com/2012/02/13/bank-besar-nikmati-subsidi-rakyat
[2] BPK, Pengadaan  Minyak  Mentah  dan Produk Kilang Tahun 2007 dan 2008 (Semester I) pada Pertamina


[3] Pertamina, Annual Report 2007


[4] Pertamina, Annual Report 2008, hal 42


[5] www.detik.com, Senin, 25/10/2010