Perubahan besar dunia menuju KHILAFAH

menuju KHILAFAH photo Menuju-MK-2013.gif

The KHILAFAH Channel

khilafah on livestream.com. Broadcast Live Free

Minggu, 29 Agustus 2010

Meraih Lailatul Qadr (Tafsir al Qadr :1-5)


إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ، وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ، لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، تَنَزَّلُ الْمَلائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ، سَلامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ

Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Quran pada malam kemuliaan. Tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun para malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar (QS al-Qadr [97]: 1-5).

Dalam mushaf, surat ini terletak pada urutan ke-97. Terdapat perbedaan pendapat mengenai status surat yang terdiri dari 5 ayat ini. Ada yang menyebutnya sebagai surat Makkiyyah, seperti Ibnu ‘Abbas, Ibnu Marduyah, Ibnu al-Zubair dan ‘Aisyah.[1] Ada juga menggolongkannya sebagai Madaniyyah. Di antaranya adalah al-Waqidi. Bahkan menurut ats-Tsa’labi, sebagian besar mufassir memasukkannya sebagai surat Madaniyyah. [2]

Tafsir Ayat

Allah SWT. berfirman: Innâ anzalnâhu fî laylah al-qadr (Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Quran pada malam kemuliaan). Dalam ayat ini digunakan frasa Innâ (Sesungguhnya Kami), bukan Innî (Sesungguhnya Aku). Dijelaskan Fakhruddin ar-Razi, kata tersebut tidak boleh dimaknai li al-jam’i (untuk menunjukkan makna jamak). Sebab, hal itu mustahil ditujukan kepada Allah, Zat Yang Maha Esa. Karena itu, kata tersebut harus dimaknai sebagai li at-ta’zhîm (untuk mengagungkan).[3]

Huruf al-hâ’ (dhamîr al-ghâib, kata ganti pihak ketiga) dalam ayat ini, tidak memiliki al-ism azh-zháhir yang menjadi rujukannya. Meskipun demikian, para mufassir sepakat bahwa dhamîr tersebut menunjuk pada al-Quran.[4] Menurut al-Qurthubi, tidak disebutkan kata al-Quran karena maknanya sudah maklum.[5] Fakhruddin ar-Razi dan az-Zamakhsyari menjelaskan, ketiadaan al-ism azh-zhâhir itu menjadi salah satu aspek yang menunjukkan keagungan al-Quran.[6] Adapun al-Khaththabi dan Abu Hayyan al-Andalusi mengaitkannya dengan surat sebelumnya: iqra’ bi[i]smi Rabbika; sehingga seolah dikatakan: Bacalah apa yang Kami turunkan kepadamu berupa firman Kami, “Innâ anzalnâhu laylah al-qadr.”[7]

Dalam ayat ini diberitakan bahwa al-Quran diturunkan pada malam al-qadr. Secara fakta, al-Quran turun kepada Rasulullah saw. secara bertahap selama dua puluh tiga tahun; siang dan malam, dalam berbagai bulan dan keadaan. Jika demikian, apa makna al-Quran diturunkan pada suatu malam yang disebut sebagai malam al-qadr itu?

Setidaknya ada dua penjelasan. Pertama: turunnya al-Quran yang diberitakan dalam ayat ini adalah turunnya al-Quran secara sekaligus dari al-Lawh al-Mahfûzh ke Bayt al-‘Izzah di langit dunia. Selanjutnya, al-Quran turun kepada Rasulullah saw. selama 23 tahun secara bertahap setiap saat. Penjelasan ini disampaikan Ibnu ‘Abbas; juga dipilih oleh beberapa mufassir seperti al-Alusi, al-Baghawi, asy-Syaukani, as-Samarqandi, dan yang lainnya.[8]

Kedua: turunnya al-Quran pertama kali. Ini merupakan pendapat asy-Sya’bi dan yang lainnya.[9] Intinya, awal diturunkannya al-Quran dan diutusnya Rasulullah. saw terjadi pada malam al-qadr itu. Peristiwa ini terjadi pada bulan Ramadhan (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 185).

Mengapa malam itu disebut sebagai malam al-qadr? Menurut Ibnu ‘Abbas, Qatadah dan lain-lain, dinamakan al-qadr karena di dalamnya terjadi penentuan ajal, rezeki dan berbagai kejadian di dunia yang diberikan kepada malaikat untuk dikerjakan. Pendapat ini juga dipilih az-Zamakhsyari, asy-Syaukani dan al-Baghawi karena dinilai sejalan dengan QS ad-Dukhan [44]: 4.[10] Adapun az-Zuhri memaknai laylah al-qadr sebagai malam al-‘azhamah wa asy-syaraf (keagungan dan kemuliaan).[11] Pengertian ini juga sejalan dengan ayat berikutnya yang menjelaskan bahwa malam tersebut lebih baik dari seribu bulan. Ada juga yang memilih kedua pendapat itu tanpa menafikan salah satunya, seperti al-Baidhawi, as-Samarqandi, as-Sa’di dan al-Zuhaili.[12] Jika diikuti penjelasan ayat-ayat sesudahnya, kedua pendapat itu sama-sama memiliki pijakan yang kuat. Tidak harus dipilih salah satunya dan menegasikan makna lainnya.

Kemudian Allah SWT berfirman: Wamâ adrâka mâ laylah al-qadr (Tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?). Kalimat istifhâm ini memberikan makna tafkhîm sya’nihâ (memuliakan urusannya); seolah-olah perkara tersebut keluar dari pengetahuan makhluk; dan tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah SWT. Demikian penjelasan asy-Syaukani.[13]Tidak jauh berbeda, as-Samarqandi juga menafsirkannya sebagai ta’zhîm[an] lahâ (mengagungkan, memuliakannya).[14]

Pertanyaan itu lalu dijelaskan dalam ayat berikutnya: Laylah al-qadr khayr min alfi syahr[in] (Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan). Menurut Abu Hayyan, seribu bulan yang dimaksud adalah jumlah sebenarnya, yakni 83 tahun. Al-Hasan mengatakan, “Beramal pada malam al-qadr itu lebih utama daripada beramal pada bulan-bulan itu.”[15] Menurut Anas, amal, sedekah, shalat dan zakat pada Lailatul Qadar lebih baik daripada seribu bulan.[16] Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Mujahid, Amru bin Qays al-Malai, Ibnu Jarir, Ibnu Katsir dan as-Samarqandi.[17] Bahkan menurut as-Syaukani, kesimpulan tersebut (beramal di malam itu lebih baik daripada seribu bulan, selain yang di dalamnya terdapat malam al-qadr) merupakan pendapat sebagian besar mufassirin.[18] Mengenai keutamaan beramal pada malam tersebut juga ditegaskan Rasulullah saw. dalam sabdanya:

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa melaksanakan shalat pada Lailatul Qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni (HR al-Bukhir, Muslim, Abu Dawud, an-Nasa’i dan Ahmad).

Kemudian Allah SWT menjelaskan keutamaan lain Malam al-Qadr dengan firman-Nya: Tanazzalu al-malâikah wa al-Rûh fîhâ bi idzni Rabbihim min kulli amr[in] (Pada malam itu turun para malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan). Pada malam itu, para malaikat turun dari langit ke bumi, termasuk ar-Rûh. Menurut jumhûr al-mufassirîn, yang dimaksud ar-Rûh di sini adalah Jibril.[20] Biasanya, itu berguna untuk menunjukkan kemuliaan dan keagungannya atas yang lain (Lihat, misalnya, QS al-Baqarah [2]: 98).

Menurut Ibnu Katsir, banyaknya malaikat yang turun karena banyaknya berkah. Malaikat turun dengan membawa berkah dan rahmat sebagaimana mereka turun ketika ada tilawah al-Quran; mereka mencari majelis zikir dan meletakkan sayapnya mengitari orang-orang yang mencari ilmu untuk memuliakannya.[21]

Dipaparkan ar-Razi, penyebutan bi idzni Rabbihim memberikan isyarat bahwa para malaikat itu tidak bertindak apa pun selain dengan izin-Nya. Adapun kata Rabbihim berguna sebagai ta’zhîm[an] li al-malâikah wa tahqîr[an] li al-‘ashâh (untuk memuliakan malaikat dan melecehkan pelaku maksiat).[22] Menurut Qatadah dan lainnya, frasa bi idzni Rabbihim min kulli amr[in] (dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan), memberikan pengertian bahwa pada malam itu diputuskan berbagai urusan; ditetapkan ajal dan rezeki. Ini sejalan dengan QS al-Dukhan (44) ayat 4.[23]

Allah SWT pun menutup ayat ini dengan firman-Nya: Salâm[un] hiya hattâ mathla’ al-fajr (Malam itu [penuh] kesejahteraan sampai terbit fajar). Dijelaskan Mujahid, bahwa keselamatan itu berarti sâlimah (selamat); setan tidak mampu berbuat kejahatan atau melakukan perbuatan yang mencelakakan.[24] Qatadah menyatakan bahwa frasa tersebut berarti kebaikan semua, tidak ada di dalamnya keburukan hingga terbit fajar.[25] Menurut asy-Sya’bi, saat memberikan keselamatan kepada penghuni masjid mulai dari terbenamnya matahari hingga terbitnya fajar, malaikat melewati setiap Mukmin dan berkata, “As-Salâmu ‘alayka ayyuhâ al-Mu’min” (Semoga keselamatan atas kalian, wahai Mukmin).[26]

Keagungan al-Quran dan Lailatul Qadar

Surat ini memberitakan peristiwa turunnya al-Quran, kitab yang diturunkan kepada nabi terakhir; berisi penjelasan segala sesuatu, petunjuk serta rahmat, dan kabar gembira bagi Muslim (lihat QS al-Nahl [16]: 89). Dalam surat ini, pengagungan al-Quran tampak pada beberapa hal. Pertama: keagungan dan kemasyhuran al-Quran. Kendati tidak disebutkan secara zhâhir, tidak ada perbedaan bahwa dhamîr al-ghâib ini merujuk pada al-Quran. Sebagaimana telah dipaparkan, itu menunjukkan keagungan dan kemasyhuran al-Quran. Karena itu, meski tanpa disebutkan secara zhâhir, maknanya sudah sangat jelas.

Kedua: keagungan Zat yang menurunkannya. Disebutkan dalam surat ini bahwa yang menurunkan al-Quran adalah Allah SWT. Sebagai kitab yang berasal dari Zat Yang Mahabenar dan Mahaadil, kitab yang diturunkan-Nya pun demikian, shidqa[an] wa ad-la[a] (benar dan adil, lihat QS al-An’am [6]: 115). Digunakannya frasa innâ yang menunjuk kepada Allah kian menambah kemuliaan al-Quran. Sebab, frasa innâ memberikan makna li al-ta’zhîm (untuk memuliakan, mengagungkan) terhadap Zat yang menurunkan-Nya.

Ketiga: keistimewaan waktu turunnya. Diberitakan dalam ayat ini bahwa turunnya al-Quran dipilih pada waktu yang amat mulia, yakni pada laylah al-qadr, sebuah malam yang penuh berkah (lihat QS al-Dukhan [44]: 3), yang lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu, para malaikat, termasuk Jibril, turun ke bumi. Ini menunjukkan betapa mulia dan pentingnya malam tersebut. Sebab, para malaikat itu tidak turun kecuali ada perkara yang besar. Rasulullah saw bersabda tentang laylah al-qadr:

إِنَّهَا لَيْلَةُ سَابِعَةٍ أَوْ تَاسِعَةٍ وَعِشْرِينَ إنَّ الْمَلاَئِكَةَ تِلْكَ اللَّيْلَةَ فِى الأَرْضِ أَكْثَرُ مِن عَدَدِ الْحَصَى

Sesungguhnya laylah al-qadr itu adalah malam kedua puluh tujuh atau kedua puluh sembilan. Sesungguhnya para malaikat pada malam itu di bumi lebih banyak daripada jumlah kerikil (HR Ahmad dari Abu Hurairah).

Ditegaskan pula, pada malam itu penuh kesejahteraan hingga terbit fajar. Berita tersebut seharusnya membuat manusia kian memuliakan dan mengagungkan kitab Allah SWT itu; juga benar-benar berupaya mencari dan mengisi Lailatul Qadar dengan amal shalih. Rasulullah saw. bersabda:

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

Carilah Lailatul Qadar itu pada malam-malam ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan (HR al-Bukhari).

Pada hari-hari itu, Rasulullah saw. juga senantiasa bersungguh-sungguh dalam ibadah, melebihi dua puluh malam pertama. Aisyah ra. berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِى غَيْرِهِ.

Rasulullah saw. bersungguh-sungguh dalam beribadah pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan, hal yang tidak beliau lakukan pada malam yang lainnya (HR Muslim, at-Tirmidzi dan Ahmad).

Pada malam itu, disunnahkan bagi seorang Muslim untuk memperbanyak membaca al-Quran dan membaca doa. Sebab, doa pada waktu-waktu tersebut mustajab. Doa yang terus dibaca adalah doa yang diriwayatkan oleh Aisyah ra. yang berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika saya mendapatkan Lailatul Qadar, apa yang aku katakan?” Beliau bersabda:

تَقُولِينَ : اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ ، فَاعْفُ عَنِّي

Kamu berkata, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pengampum, mencintai ampunan. Karena itu, ampunilah aku.” (HR at-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Mengingat besarnya keutamaan Lailatul Qadar, sudah sepatutnya kaum Muslim berusaha keras untuk mengisi malam-malam akhir pada bulan Ramadhan dengan berbagai ibadah dan amal shalih, termasuk berdakwah dan berjuang demi tegaknya hukum dalam Kitab dan as-Sunnah. Harus diingat, kesempatan itu tidak selalu ada. Jika kini kita masih berjumpa dengan Ramadhan, belum tentu tahun depan. Betapa beruntung kita jika mendapatkan sebuah malam yang lebih mulia dari seribu bulan atau delapan puluh tiga tahun lebih. Karunia apa lagi yang lebih besar dari itu?

Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb. []

Catatan kaki:

1 As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, XV/533 (Kairo: Maktabah Hijr, 2003). Namun, menurut Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, V/504 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), Ibnu ‘Abbas memasukkannya ke dalam Madaniyyah.

2 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, XX/129 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964); Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, VIII/492 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993); asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/633 (tt: Dar al-Wafa’, tt).

3 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, XXXII/27 (Beirut: Dar al-Fikr, 1981).

4 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, XXXII/27; al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, XX/129; Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, VIII/492; Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, V/504; al-Baidhawi, Anwár at-Tanzîl wa Asrár at-Ta’wîl, V/327 (Beirut: Dar Ihyâ’ at-Turats, tt); Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/441 (Riyad: Dar Thayyibah, 1999); al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, V/383 (Beirut: Dar Ihya’ Ihya’ Turats al-‘Arabi, 1990); asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/633.

5 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, XX/129.

6 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, VII/407 (Riyad: Maktabah Abikan, 1998).

7 Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, VIII/492; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, XV/411 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995).

8 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, XV/412; Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, VIII/492; Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, V/504; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, V/383; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/633; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, III/496 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993).

9 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, XX/129; Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, VIII/492; az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, VII/407

10 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, VII/407; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, V/383; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/633.

11 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, XV/415; Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, VIII/492.

12 Al-Baidhawi, Anwár at-Tanzîl wa Asrár at-Ta’wîl, V/327; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, III/496; as-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân (tt: Mu’assasah al-Risalah, 2000), 931; az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, XXX/332 (Beirut: Dar al-Fikr, 1998).

13 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/633.

14 As-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, III/496.

15 Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, VIII/493.

16 As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, XV/534.

17 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, XXXIV/534 (Madinah: Muassasah al-Risalah, 200); Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/444; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, III/496.

18 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/633.

19 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, XV/417; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/634. Pendapat tersebut juga dipilih ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 34; as-Suyuthi, al-Durr al-Mantsûr, XV/538; az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, VII/408; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/444.

20 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/443.

21 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/444.

22 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, XXXII/35.

23 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/444.

24 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/444.

25 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/634; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/444.

26 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/634; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/444.

(hizbut-tahrir.or.id)

Keganjilan Seputar Penangkapan ABB

Syabab.Com - Bukti kuat seharusnya tidak berubah-ubah. Tetapi mengapa Polri selalu berubah-ubah terkait delik restu dan dana dari ABB untuk pelatihan militer di Aceh? Polisi Republik Indonesia (Polri) sudah mulai tidak percaya diri seperti masa lalu karena menerapkan ‘prinsip’ tangkap dulu bukti dicari kemudian. Hal tersebut nampak dalam berbagai kasus, termasuk dalam kasus penangkapan Ust Abu Bakar Ba’asyir, Amir Jamaah Ansharu Tauhid (JAT) pada beberapa waktu lalu.

Berbagai keganjilan seputar delik penangkapan ABB pun diungkap Tim Pengacara Muslim saat DPP Hizbut Tahrir Indonesia bersilaturahmi dan buka puasa bersama dengan para advokat TPM, Rabu (25/8) sore di Kantor TPM Jl Fatmawati, Jakarta Selatan.

Nampak hadir dari delegasi HTI tersebut di antaranya adalah, Ketua DPP HTI Rokhmat S Labib, Ketua Lajnah Fa’aliyah Rahmat Kurnia, Ketua Lajnah I’lamiyah Farid Wadjdi. Sedangkan dari tuan rumah nampak hadir pula Ketua Dewan Pembina TPM Mahendradatta dan anggota Dewan Pembina Achmad Michdan.

Menurut Mahendradatta, awalnya Polri menyatakan mempunyai bukti kuat terkait penangkapan ABB tersebut, yakni berupa video rekaman restu ABB atas pelatihan militer yang diikuti sebanyak 50 orang di Aceh dan lebih dari itu ABB pun mendanai latihan terbukti dengan adanya aliran dana melalui rekeningnya.

Memberikan Restu?

Namun bila sekedar pelatihan militer saja tentu tidak bisa dijadikan delik tindak pidana terorisme. Maka dikatakanlah bahwa pelatihan itu ditujukan untuk membunuh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada peringatan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 2010. Tentu saja Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres)tersinggung, karena seolah-olah Polri meragukan kemampuannya menjaga Presiden dan di samping itu tidak ada informasi intelijen yang menyatakan akan ada aksi teror tersebut.

“Karena Paspampres tidak terima, Polri pun merubah tuduhannya dengan mengatakan pelatihan militer tersebut ditujukan untuk mendirikan Negara Islam,” ujarnya.Kalau begitu, berarti tidak bisa dikategorikan terorisme tetapi kalaupun mau itu dikategorikan tindakan makar.

Jadi ABB tidak layak disebut tahanan tindak teroris tetapi tahanan politik kalau memang benar bahwa pelatihan militer tersebutu ditujukan untuk itu dan memang terkait ABB.

“Karena Ust Abu itu memang orangnya polos dan lugu, tetapi tidak tolol!” ujar Mahendra. Sehingga tidak mungkin mengerahkan 50 orang tersebut melawan ribuan Tentara Nasional Indonesia. ABB memang menginginkan mengganti sistem thagut (berhala) ini dengan syariah Islam. Maka dalam berbagai kesempatan ia selalu melakukan upaya penyadaran kepada umat tentang kewajiban menegakkan hukum-hukum Islam tanpa tindak kekerasan atau militer.

Makanya, Polri pun tidak bisa menunjukkan video ABB yang memberikan restu tersebut, karena ABB tidak pernah datang ke tempat dimaksud Polri. Polri pun meralatnya dengan menyatakan ABB memberikan restunya bukan di Aceh, tetapi di Kantor JAT, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. ABB menonton video rekaman pelatihan itu dan di situlah ia memberikan restu.

Tuduhan itu pun dibantah ABB. Achmad Michdan, pun menegaskan bahwa video tersebut sebelum ditonton ABB, sudah beredar luas di tengah publik melalui Youtube. Apakah semua orang yang menontonya akan dianggap terkait?Kan tidak. Lantas mengapa ABB dianggap terkait? Polri pun beralasan karena ABB dianggap memberikan restu.

Restu yang dimaksud Polri pun hanyalah kebohongan belaka karena dengan tegas ABB menyatakan tidak setuju dengan adanya senjata api dalam pelatihan tersebut.ABB pun memahami dalam Islam ada yang disebut dengan i’dad (persiapan jihad). Tujuan dari i’dad tersebut adalah untuk melatih fisik agar sehat dan kuat sehingga siap sedia untuk melawan setiap penzaliman terhadap umat Islam di manapun. “Jadi tidak berarti pelatihan pisik itu harus menggunakan senjata!” ujarnya menirukan argumen yang disampaikan ABB.

Makanya tidak aneh, saat ditanya hakim dalam persidangan Bom Bali I, Muklas (salah satu terpidana mati Bom Bali I) mengatakan “kalau saya minta restu Ust Abu jelas saya tidak akan diizinkan, karena saya tahu prinsip Ust Abu, beliau tidak akan pernah setuju melakukan pengeboman.”

Lantas dari mana senjata pada latihan militer di Aceh itu didapat dan siapa yang menyuplainya? Tanya saja kepada Polri. Karena itu semua terkait erat, minimal dengan tiga anggota Polri yakni Sofyan Tsauri, bekas anggota Sabhara Polda Meto Jaya; Brigadir Satu Tatang Mulyadi; dan Brigadir Satu Abdi Tunggal dari Satuan Logistik Bagian Gudang Senjatadi Markas Komando Brigadir Mobil (Mako Brimob) Polri di Depok.

Sofyanlah yang mengajak orang-orang untuk latihan militer menggunakan senjata api asli. Sedangkan Tatang dan Abdi Tunggal yang menyediakannya. Bahkan pada Maret 2009 latihan tersebut dilakukan di dalam Mako Brimob.

Menurut Mahendradatta, data tersebut dihimpun berdasarkan keterangan banyak saksi yang pernah bertemu Sofyan Tsauri. Para saksi ini diajak latihan militer itu bahkan diiming-imingi uang variatif, ada yang 100 juta, ada pula yang 200juta. Jadi bocornya senjata itu dari Densus 88 sendiri. Sedangkan pernyataan Polri yang menyebutkan Tatang dan Abdi Tunggal itu sudah ditangkap, hanyalah pernyataan orang yang terdesak karena ketahuan akal bulusnya.

“Kapan polisi ngomong sama mereka, tidak pernah. Karena kepepet saja jadi ngomong, iya mereka sudah diproses,” ujar Mahendradatta kepada mediaumat.com di sela-sela buka puasa bersama tersebut.

Sebelum latihan militer itu, Sofyan Tsauri memperlihatkan kepada saksi telah dipecat dari kepolisian karena jihad. Jelas itu sangat mengada-ada. Kalau ia dipecat karena hal lain bisa jadi. Tapi kalau karena jihad tentu saja ia tidak boleh dipecat. Dalam hukum nasional tidak boleh ada pemecatan akibat jihad.

Karena dengan demikian sudah jelas penantangan negara ini terhadap hukum Islam, jadi tidak boleh seseorang itu, dipecat karena kepercayaannya, jihad itu termasuk keyakinan agama.

“Jadi Sofyan Tsauri sudah kelihatan bohongnya!” apalagi setelah pemecatan tersebut bisa bebas keluar masuk Mako Brimob dan melakukan pelatihan militer di dalamnya dengan menggunakan senjata asli kepada orang-orang yang dituduh teroris oleh Polri itu.

Kepada mediaumat.com Achmad Michdan pun menegaskan bahwa ABB tidak ada hubungan sama sekali dan tidak tahu menahu dengan ketiga anggota Polri tersebut. Bahkan adanya pelatihan militer bersenjata asli itu pun ABB tidak tahu menahu.

Aliran Dana?

Terkait bukti kuat yang berupa dana yang dituduhkan Polri pun menunjukkan keganjilan. Kalau buktinya kuat mengapa angkanya berubah-ubah dan cara pemberiannya pun berubah. Awalnya dinyatakan ABB memberikan dana 1,2 milyar melalui rekeningnya. Kemudian turun menjadi hampir satu milyar.

Namun ketika TPM membantah dengan mengatakan bahwa ABB itu tidak mempunyai rekening karena ABB berkeyakinan bertransaksi melalui lembaga yang menghalalkan riba itu haram, Polri pun merubah tuduhannya.

Kemudian Polri menuduhnya ABB memberikan uang kontan sebanyak 175 juta untuk mendanai pelatihan militer tersebut. Lantas uang sebanyak itu dari mana? Dan disimpan di mana? Karena ke mana-mana ABB tidak pernah membawa tas dan tidak ada saku gamisnya yang dapat memuat uang sebanyak itu.

Karena menyadari hal itu tidak masuk akal, lantas tuduhan Polri pun berubah. Kini dinyatakan bahwa ABB memberikan uang kontan sebanyak 5 juta untuk mendanai pelatihan militer tersebut.

Lho, ABB itu bukan orang yang suka pergi atau berdiam sendirian. Dia selaku amir ia selalu ditempel dan dikawal para santrinya. Coba Polri katakan di mana, tanggal berapa dan jam berapa penyerahan itu dilakukan. “Nanti kita tanya pengawalnya, mereka melihat tidak penyerahan uang sebanyak itu!” ujar Mahendra. Jadi memang harus ada saksinya, jangan main tuduh sembarangan.

Mahendra pun merasa miris, mengapa Polri begitu bernafsu untuk menangkap ABB. “Jadi mereka itu tadinya asal tangkep saja, kemudian ingin menjual ini ke internasional, ternyata enggak laku, sekarang mereka kebingungan sendiri,” paparnya.

Ia pun menyatakan hal ini ini dilakukan sebenarnya untuk menutupi berbagai kebohongan dan kebobrokan Polri atas berbagai kasus lainnya yang terus-terusan disorot publik. Seperti kasus Susno Duadji, kasus mafia pajak, perampokan, dll. “Itulah saya fikir, Polri sebagai suatu kelompok yang terlalu banyak melakukan rekayasa, sudah saatnya akan kena batunya!” pungkasnya. [mediaumat/syabab.com]

Ramadhan, Gencarkan Kuliah tentang Khilafah di Masjid-masjid Palestina, Otoritas Sekuler Berusaha Menggagalkannya

Syabab.Com - Ramadhan bukan saja bulan suci kemuliaan bagi kaum Muslim, tetapi Ramadhan telah menjadi bulan perjuangan dan kemenangan. Di Palestina, para pengemban dakwah dari Hizbut Tahrir terus menerus menggencarkan dakwah pembebasan negeri-negeri Muslim termasuk Palestina dengan seruan penegakkan Khilafah. Beberapa masjid besar di Tepi Barat telah menjadi tempat untuk pengkajian Khilafah, Jumat, 17 Ramadhan 1431 H.

Melihat gencarnya dakwah yang dilakukan oleh para pemuda Hizbut Tahrir tersebut membuat Otoritas Palestina geram. Mereka tak malu-malunya menangkapi para pengemban dakwah tersebut usai mereka menyerukan seruannya.

Menurut sumber dari Kantor Informasi Hizbut Tahrir, bahwa pasukan sekuler Otoritas telah menyerbu Masjid Besar Al-Birah di Ramalah, Jumat Sore. Mereka berusaha mencegah agenda dakwah Hizbut Tahrir di bulan Ramadhan tersebut.

Sumber melaporkan, setelah seorang ustadz mulai memberikan kajian Islamnya, pihak keamanan Otoritas Sekuler Palestina mencegah dia berbicara dan berusaha menangkapnya.

Pihak keamanan pun telah melakukan tindakan yang menyedihkan di dalam masjid, termasuk berbicara kasar dan menyerang jamaah dan orang tua. Mereka menangkap puluhan jamaah dan para pendukung yang berada di masjid yang hendak mengikuti kajian bersama Hizbut Tahrir di Masjid.

Menurut sumber yang sama, pasukan keamanan pun terus mengepung lama masjid setelah shalat Jumat. Bahkan polisi anti huru hara bersenjata lengkap pun berkeliaran di sekitar masjid.

Kaum Muslim berkumpul di Masjid-masjid Palestina mengikuti Kuliah Hizbut Tahrir

Sementara itu, sebuah pembelajaran oleh Hizbut Tahrir pada sore Jumat, 17 Ramadhan, 27/08/2010 digelar di Masjid Khabab bin Al'arat, Hebron. Kaum Muslim berkumpul di dalam masjid tersebut utuk menerima kuliah bersama Hizbut Tahrir tentang keutamaan bulan Ramadhan, sejarah, hingga bencana yang menimpa umat ini.

Lagi-lagi, pasukan otoritas Sekuler Palestina merusak kesucian Ramadhan dengan berusaha membubarkan acara mulia tersebut. Menjelang akhir acara, mereka pun berusaha menangkap para jamaah. Seorang syabab berusaha menjaga anaknya yang ditangkap aparat, hingga pasukan keamanan mengancam menembakkan pelurunya serta menghina Allah. Sungguh perbuatan yang sangat hina oleh pasukan otoritas sekuler membuat geram para jamaah.

Sangat jelas sekali, penguasa otoritas sekuler menunjukkan permusuhannya terhadap Islam dan telah menjadikan mereka terhina, berani menghinakan Allah dan kesucian bulan Ramadhan tersebut.

Pasukan otoritas sekuler tersebut, sepanjang Jumat, telah menahan para pemuda Hizbut Tahrir di beberapa wilayah di Tepi Barat, termasuk di Qalqilya, Salfit, Hebron dan tempat lainnya.

Sekalipun otoritas telah membebaskan yang ditangkap, namun kampanye penyerbuan ke masjid di bulan Ramadhan tersebut telah mencerminkan penguasa setempat hanya melindungi dan menjaga keamanan orang Yahudi, serta melakukan permusuhan terhadai Islam dan rakyat Palestina.

Demikianlah, semua ini hanya mengingatkan kita pada sabda Nabi Saw.: “Akan senantiasa ada sekelompok orang dari umatku yang selalu menegakkan kebenaran dan mampu mengalahkan musuh-musuh mereka. Tidak memadaratkan mereka orang-orang yang menentang mereka, kecuali sekadar kesulitan hidup yang akan menimpa mereka, sampai datang kepada mereka keputusan Allah (Hari Kiamat), sementara mereka tetap dalam keadaan demikian.” Para sahabat bertanya, ”Ya Rasulullah, di manakah mereka berada?” Rasulullah saw. menjawab, “Mereka berada di Baitul Maqdis (al-Quds) dan di sekitar Baitul Maqdis.” (HR. Ahmad dan ath-Thabrani)

Semoga kaum Muslim di seantero dunia diberikan kesadaran untuk kembali bangkit dan bersatu di bawah naungan Khilafah Rasyidah yang akan membebaskan negeri-negeri Muslim dari cengkraman para penguasa korup dan bangsa penjajah. Amin. [m/htpal/syabab.com]

Anak-anak Palestina pun ikut serta dalam kajian Hizbut Tahrir


Kamis, 12 Agustus 2010

PENTINGNYA KHILAFAH DALAM PENENTUAN AWAL DAN AKHIR RAMADHAN

bagaimana peran Khilafah nanti dalam menentukan awal Ramadhan dan akhir Ramadhan (Idul Fitri)?

Khalifah mempunyai hak melakukan adopsi (tabanni) hukum syariah Islam dan melegislasikannya menjadi undang-undang yang berlaku mengikat bagi publik. Adopsi ini dilaksanakan Khalifah jika terdapat khilafiyah dalam hukum syariah hasil ijtihad. Maka ketika Khalifah memilih satu pendapat, rakyat wajib mentaatinya sehingga perbedaan pendapat tidak ada lagi. Kaidah fiqih menyebutkan : Amru al-imam yarfa’u al-khilaf fi al-masa`il al-ijtihadiyah (Perintah Imam/Khalifah menghilangkan perbedaan pendapat dalam masalah-masalah hasil ijtihad/khilafiyah). (M. Khair Haikal, Al-Jihad wa al-Qital fi as-Siyasah al-Syar’iyah, III/1797; M. Shidqi al-Burnu, Mausu’ah al-Qawa’id al-Fiqhiyah, I/268).

Namun jika khilafiyah itu terjadi dalam masalah-masalah ibadah, seperti shalat tarawih 8 rakaat atau 20 rakaat, shalat Shubuh dengan qunut atau tidak, hukum dasarnya ialah Khalifah tidak mengadopsi. Maka kaum muslimin, misalnya, tidak diwajibkan shalat sama dengan mazhab Khalifah dalam jumlah rakaat shalat tarawih, atau dalam pengamalan qunut dalam shalat Shubuh, dan seterusnya.

Ada dua alasan mengapa Khalifah tak melakukan adopsi dalam hukum ibadah yang khilafiyah. Pertama, karena tak sesuai dengan fakta adopsi, mengingat adopsi terjadi pada interaksi antara sesama manusia, misalnya dalam hukum muamalah dan uqubat, bukan pada interaksi antara manusia dengan Allah SWT. Kedua, karena adopsi dalam masalah ibadah akan menimbulkan rasa sempit (haraj) di kalangan umat. (Mahmud al-Khalidi, Qawa’id Nizham al-Hukm fi al-Islam, hal. 357)

Tapi ini bukan berarti haram hukumnya Khalifah mengadopsi hukum ibadah. Maksudnya ialah lebih baik Khalifah tidak mengadopsi. Kalau Khalifah mengadopsi hukum ibadah, hukumnya boleh, tidak haram. Imam Nawawi berpendapat boleh hukumnya Khalifah mengadopsi hukum ibadah. Seperti dikutip Imam Suyuthi, Imam Nawawi menyatakan,"Kalau Khalifah memerintahkan umat untuk berpuasa sunnah tiga hari dalam rangka istisqa (minta turunnya hujan), umat wajib mentaati perintahnya." (Imam Suyuthi, Al-Asybah wa An-Nazha`ir, hal. 527).

Bahkan mengadopsi hukum ibadah dapat menjadi wajib bagi Khalifah, jika terkait dengan persatuan umat dan kesatuan negara yang wajib dijaga Khalifah. Jadi meski hukum dasarnya Khalifah tak mengadopsi, tapi demi kesatuan umat dan persatuan negara, Khalifah akan mengadopsi beberapa hukum ibadah, seperti penentuan waktu ibadah haji, penentuan awal Ramadhan, dan penentuan Idul Fitri dan Idul Adha. (Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, hal.21).

Maka dari itu, meski penentuan awal dan akhir Ramadhan merupakan masalah khilafiyah, Khalifah nanti akan mengadopsi hukum dalam masalah ini. Tentu pendapat yang diadopsi adalah pendapat yang kuat (rajih) yang sejalan dengan persatuan umat dan kesatuan negara. Yaitu pendapat jumhur ulama yang mewajibkan penggunaan rukyatul hilal (bukan hisab) yang diberlakukan seluruh dunia. Kata Wahbah Az-Zuhaili,"Pendapat jumhur inilah yang rajih menurut saya, untuk menyatukan ibadah kaum muslimin dan mencegah perbedaan pendapat yang tak dapat diterima lagi di masa sekarang." (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, II/610, Ahmad bin Muhammad Shiddiq al-Ghumari, Taujih al-Anzhar li Tauhid al-Muslimin fi al-Shaum wa al-Ifthar, hal.19).

Jadi ketika Khalifah nanti melakukan rukyat, hasil rukyat akan diberlakukan global kepada seluruh umat Islam. Hal ini ditegaskan oleh Imam Al-Maziri ketika mensyarah hadis-hadis Shahih Muslim tentang rukyatul hilal. "Jika hilal telah terbukti oleh Khalifah maka seluruh negeri-negeri Islam wajib merujuk hasil rukyat itu…sebab rukyat Khalifah berbeda dengan rukyat dari selain Khalifah. Karena seluruh negeri-negeri yang berada di bawah pemerintahannya dianggap bagaikan satu negeri." (Imam al-Maziri, Al-Mu’allim bi Fawa`id Muslim, Tunis : Ad-Dar At-Tunisiyah, II/44-45). Wallahu a’lam.

Yogyakarta, 30 juli 2010

Muhammad Shiddiq al-Jawi

(khilafah1924.org)

Minggu, 08 Agustus 2010

Syuhada Pejuang Khilafah Disiksa Hingga Syahid di Kyrgyzstan

Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un, semoga Allah menerimanya sebagai seorang syuhada. Ujian keimanan menimpa para pemuda Hizbut Tahrir di Kyrgizstan. Rezim berkuasa melakukan penyiksaan secara brutal terhadap para pengemban dakwah pejuang Khilafah hingga mereka syahid. Baru-baru ini sebuah video yang menggambarkan kekejaman rezim di Asia Tengah dirilis.

Tampak senyuman wajah menandakan kesyahidan penemban dakwah yang disiksa oleh tangan zhalim penguasa diktator. Sekujur tubuhnya lembam, menunjukkan kejamnya penyiksaan terhadap pengemban dakwah tersebut.

Berikut merupakan cuplikan video tubuh penyiksaan terhadap seorang anggota Hizbut Tahrir di Kyrgyzstan, salah satu negara diktator diantara republik-republik di Asia Tengah, di mana para penyeru Islam disiksa dan dipenjara secara masal.

Semoga Allah Swt. menerima saudara ini sebagai syuhada sebagaimana tampak dari senyuman wajahnya, dan semua pengemban dakwah yang syahid di tangan penguasa zhalim karena hanya menyerukan kepada Islam tersebut. Insya Allah, tidak akan lama lagi sebagaimana janji-Nya, Khilafah Rasyidah akan kembali hadir, membebaskan umat dari cengkraman penguasa diktator.

سَيِّدُ الشُّهَداَءِ حَمْزَةُ بْنُ اْلمُطَلِّبِ وَ رَجُلٌ قَامَ إِلىَ إِمَامٍ جَاِئرٍ فَأَمَرَهُ وَ نَهَاهُ فَقَتَلَهُ.

“Pemimpin para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan seorang laki-laki yang berdiri di hadapan penguasa zalim, lalu ia memerintahnya (dengan kemakrufan) dan melarangnya (dari kemungkaran), kemudian penguasa itu membunuhnya.” (HR. Hakim dari Jabir ra).
(syabab.com)