Alkisah, kaum Nabi Nuh as. dibinasakan oleh Allah SWT karena mereka mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, berbuat zalim, menyesatkan masyarakat dan bengis terhadap kaum papa (QS Nuh [71]: 21-27, al-Isra’ [17]: 16).
Lalu ada kaum ‘Ad. Kaum ‘Ad adalah kaum yang memiliki peradaban luar biasa. Gedung-gedung menjulang tinggi. Namun, penguasanya zalim, sewenang-wenang, bermewahan, kejam dan bengis terhadap orang yang lemah, menolak dan tidak mau tunduk pada syariah Allah (QS asy-Syu’ara [26]: 123-140). Kebinasaan pun menimpa mereka.
Ada pula kaum Tsamud yang memiliki kemampuan dan kekuatan yang sama dengan kaum ‘Ad. Mereka memiliki keahlian untuk membangun rumah dan istana yang megah di kaki-kaki bukit yang datar. Orang-orang yang memiliki kelebihan kekayaan dijadikan panutan dan pimpinan yang disegani sekalipun perilaku kesehariannya zalim, menyimpang dan semena-mena. Dengan harta, penguasa mempertahankan kekuasaan. Kolega yang mendukung mereka diberi imbalan harta dan santunan bekal hidup. Sebaliknya, orang-orang yang tidak mau tunduk pada kemaksiatan mereka, menentang kezaliman dan kesewenang-wenangan mereka justru dimusuhi, dihina, difitnah, bahkan diburu dan ditindas. Alasan yang digunakan adalah ‘mengganggu keamanan dalam negeri’ (QS asy-Syu’ara [26]: 141-159, al-A’raf [7]: 73-76, an-Naml [27]: 45-49, al-Qamar [54]: 29-32).
Ada lagi yang lain, yaitu Fir’aun. Dia berkuasa dengan kekuatan ekonomi, ditopang oleh Qarun. Penentangannya terhadap syariah Allah, kesombongannya, dan kezalimannya terhadap rakyatnya menjadikan jalan menuju kehancuran bangsanya. Begitu juga kehancuran bangsa-bangsa lain seperti kaum Luth dan Madyan.
Ada pelajaran dari kehancuran kaum terdahulu itu. Di antara faktor penting yang mendorong kehancuran, selain ketidaktaatan pada syariah Allah SWT, adalah kemewahan, kezaliman dan melawan kebenaran.
*****
Marilah kita bercermin. Saat ini tuntutan perubahan terus menggema. Hal ini bukan hal yang aneh. Sebab, kondisi yang ada di negeri Muslim terbesar ini makin jauh dari harapan. Para penguasa sekarang hidup bergelimang dalam kemewahan. Lihatlah, di tengah kondisi rakyat tercekik karena harga sembako melambung, DPR menghambur-hamburkan uang Rp 20 miliar sekadar untuk ruangan badan anggaran. Renovasi WC saja Rp 2 miliar. Presiden pun akan memiliki pesawat kepresidenan senilai Rp 1 triliun. Padahal kemewahan inilah yang merupakan cikal bakal kehancuran suatu bangsa.
Dalam kemewahannya, kezaliman pun terus dilakukan. Sekadar contoh, konflik tanah terjadi dimana-mana. Konflik tanah di Mesuji dan Bima hanyalah dua kasus dari fenomena gunung es. Padahal tanah merupakan persoalan vital. Konflik tanah di berbagai daerah ini menunjukkan wujud kegagalan pemerintah dalam memenuhi hak dasar sosial dan ekonomi rakyat. Lebih dari itu, dalam kasus konflik tanah itu rakyat selalu dikalahkan. Sebaliknya, perusahaan besar senantiasa menjadi pemenang. Semua ini menambah deretan realitas bahwa pemerintahan negeri zamrud khatulistiwa ini mengabdi pada kepentingan pengusaha besar. Negara korporasi (negara perusahaan) benar-benar tengah berlangsung. Makin jelas, negara berpihak kepada para pemilik modal. Penguasa bengis terhadap rakyatnya. Inilah Kapitalisme!
Ketika suara kebenaran Islam mencuat, alih-alih mendukung, perlawanan justru dilakukan. Munculnya surat Menteri Dalam Negeri kepada Bupati Indramayu yang meminta tidak memberlakukan Perda yang melarang minuman keras dan mendesak DPRD untuk mencabut Perda tersebut merupakan salah satu contoh kecil tentang hal ini. Wujud penentangan terhadap kebenaran ini pun berupa adanya gerakan deradikalisasi yang ditujukan untuk menghentikan perjuangan syariah, penangkapan semena-mena terhadap aktivis Islam dengan menggunakan slogan ‘war on terrorism‘, mendudukan perjuangan syariah dan Khilafah sebagai ancaman.
Dengan demikian, kemewahan, kezaliman, dan penentangan terhadap kebenaran tengah terjadi. Apa artinya? Negeri Muslim terbesar ini tengah berjalan secara sengaja di jalan menuju kehancuran sebagaimana kaum-kaum terdahulu. Apabila semua kita ingin selamat maka perubahan harus dilakukan!
Keinginan untuk berubah ini makin tampak. Salah satunya mewujud dalam ketidakpuasan publik yang meningkat. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selama beberapa periode terakhir ini tidak pernah di atas angka 30 persen. Bahkan sebelumnya, dalam periode DPR 2004-2009, tingkat kepercayaan rakyat terhadap DPR rata-rata pertahunnya hanya 24 persen. Realitas ini diakui oleh Ketua DPR, Marzuki Ali. Kita belum lupa tahun lalu beliau pernah mengatakan, “Prosentase ini menunjukkan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga yang saya pimpin ini.” (4/4/2012).
Ungkapan-ungkapan para pedagang kaki lima saat digusur “Makan tuh demokrasi!” dan munculnya istilah “democrazy (crazy: gila)” merupakan ungkapan ketidakpercayaan pada demokrasi.
Pada acara ‘Saresehan Anak Negeri’ di salah satu stasiun TV swasta terungkap pandangan banyak pihak bahwa pemerintah telah menyerahkan sumberdaya alam kepada pihak asing. Inti dari bahasan acara itu adalah pemerintah tidak becus mengurus negeri. Sebenarnya, bukan sekadar itu, negeri ini telah dicengkeram oleh asing kafir penjajah melalui antek-anteknya. Dalam suatu kesempatan bersilaturahmi dengan Ketua PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, saya menyampaikan, “Pak Din, Indonesia memang tengah dicengkeram asing. Sebab, pemerintah sudah menjual ‘tanah dan air’ ini kepada mereka.”
Ketidakpercayaan ini suatu hal yang tidak mengherankan. DPR menunjukkan keberpihakan hanya kepada dirinya. Semua pikiran terfokus pada Pemilu 2014. Pembicaraan yang mendominasi adalah menjatuhkan lawan politik, mengumpulkan pundi-pundi uang, dan mengelus-elus calon kepala negara yang akan diusung. Korupsi yang melanda elit pun mendapat pembelaan. Kalaupun terpaksa tidak dapat dihindari maka langkah mencopot keanggotaan dan mencabut jabatan dari partainya dilakukan. Untuk bersih-bersih. Cuci tangan. Kesalahan ditimpakan kepada perorangan, padahal uang hasil korupsi itu untuk membiayai partai. Konflik internal partai pun tak dapat dihindari. Semua ini makin mempertontonkan bahwa demokrasi hanyalah untuk kepentingan elite dalam meraih kekuasaan.
Di tengah kondisi demikian, Presiden SBY angkat suara. Pidato Presiden SBY di hadapan para wartawan (14/2/2012) seakan ingin menegaskan bahwa Indonesia sedang baik-baik saja. Pidato ini pun tidak mengubah ketidakpercayaan itu. Sebab, ungkapan bertentangan dengan realitas. Rakyat lebih melihat kenyataan, bukan omongan. Memang, lisan al-hal aqwa min lisan al-maqal (bahasa kenyataan lebih kuat daripada bahasa omongan).
Ketidakpercayaan rakyat terhadap sistem saat ini merupakan awal dari perubahan. Hanya saja, yang perlu dicatat, perubahan sejati hanyalah akan terjadi bila perubahan itu berdasarkan penerapan Islam secara kaffah. [MR Kurnia]
The KHILAFAH Channel
khilafah on livestream.com. Broadcast Live Free
Jumat, 24 Februari 2012
Minggu, 19 Februari 2012
Amuk Massa, Tingkat Emosi dan Demokrasi
Oleh: UU Hamidy
Amuk massa makin banyak terjadi. Dulu semasa Orde Baru hampir tak terjadi, karena ada sistem otoriter yang menekan terus gejolak perasaan rakyat. Sistem otoriter itu memperlambat gejolak yang bagaikan bengkak akan meletus. Tekanan itu berlaku terus bagaikan pompa yang menekan ke bawah. Namun pada batas akhir akan berbalik dari bawah ke atas. Begitulah secara sederhana keadaan masyarakat yang selalu tertindas.
Orang yang berpandangan sekuler akan melihat amuk massa dari sudut pandang psikologi sosial, aparat penegak hukum, tingkahlaku pemerintah dan otonomi daerah yang kusut. Pandangan itu ada benarnya, tapi tak dapat memberi penjelasan yang lengkap. Kelemahan pertama ialah, tingkat emosi masyarakat yang hampir tak pernah dipantau oleh pemegang teraju pemerintahan.
Sistem demokrasi sekuler hanya menampilkan penguasa yang zalim, memerintah tanpa mengingat kematian. Dunia Melayu punya tingkat emosi: malu, merajuk, latah, aruk dan amuk. Masyarakat yang tentram berada pada tingkat emosi malu sampai merajuk. Pada tingkat latah dan aruk, sudah ada arah kepada perlawanan. Tapi belum dilakukan secara terbuka serta belum terorganisir. Perlawanan secara massal dan terbuka terjadi pada tingkat amuk.
Amuk massa dapat dipahami dengan mudah melalui sistem demokrasi kapitalis yang telah melahirkan peta pertarungan_hidup, tiga lawan satu. Tiga yang pertama ialah penguasa, pemilik modal dan pemegang senjata (alat negara). Sedang pihak yang satu yaitu rakyat. Tiga pertama dalam demokrasi kapitalis membuat semacam hubungan yang saling menguntungkan. Penguasa memberi kemudahan pada sang kapitalis untuk mengolah berbagai sumber alam, sedang pemegang senjata memberi perlindungan pada pengusaha. Pengusaha memberi imbalan materi pada keduanya.
Ketegangan timbul antara tiga pihak ini dengan rakyat ketika memperebutkan sumber-sumber kehidupan. Sumber kehidupan yang paling utama lagi mahal adalah hutan tanah, karena inilah yang tak dapat dibuat oleh sang kapitalis. Hutan tanah yang berpijak pada tanah ulayat membuat masyarakat memandang, merekalah yang paling berhak memanfaatkan hutan tanah di negeri mereka. Tapi demokrasi kapitalis membuat rakyat jadi heran, mengapa hutan tanah mereka dengan mudah dikuasai oleh pemilik modal. Maka muncullah konflik antara pihak pengusaha dengan rakyat tempatan. Dalam konflik ini rakyat melihat, penguasa berada di pihak pengusaha sedang pemegang senjata juga ternyata membela sang kapitalis.
Rakyat mendapat tekanan agar tak menentang kebijakan penguasa yang telah memberi kemudahan pada pengusaha. Ketika diadakan perundingan, rakyat disumbat aspirasinya dengan berbagai peraturan atau undang-undang. Keadaan ini membuat rakyat makin tak mengerti, bagaimana bisa ada undang-undang yang membuat mereka kehilangan hak atas hutan tanah mereka. Ketika konflik antara pengusaha dengan rakyat sampai pada titik krisis atau klimaks, rakyat sekali lagi melihat, tak ada yang membela mereka. Mereka paling-paling dibujuk oleh politisi atau tokoh yang diberi julukan tokoh masyarakat. Namun perkara tak selesai, bahkan dada rakyat makin sempit. Maka rakyat kehilangan harapan, kemudian kehilangan pegangan, sehingga lalu mengamuk.
Jadi amuk massa itu dapat memperlihatkan tiga perkara penting. Pertama, rakyat merasa tak dipelihara oleh pemerintah, tapi merasa dipermainkan. Kedua, pengusaha hanya menjadikan rakyat sebagai obyek. Rakyat hanya untuk memutar roda perusahaan. Jadi kuli yang kemudian diganti dengan sebutan buruh agar tak merasa hina. Ketiga, materi menjadi nilai utama kehidupan, mengatasi nilai akhlak mulia yang tak berharga di depan mata materi atau bendawi.
Kenyataan ini semestinya membuka pintu hati kita, bahwa membangun dengan cara kapitalis tidaklah mendatangkan kesejahteraan pada rakyat. Dengan sistem kapitalis memang pendapatan perkapita akan meningkat. Tapi peningkatan itu tak menyentuh rakyat jelata. Angka pertumbuhan ekonomi memang akan naik tajam, ketika para kapitalis dapat peluang besar menanamkan modalnya. Tapi pertumbuhan itu hanya pertama-tama untuk sang kapitalis dan segelintir elit pejabat dan politisi yang telah melapangkan jalan bagi pengusaha. Sedang rakyat jelata mendapat berbagai malapetaka, mulai dari kehilangan hutan tanah sumber kehidupan, bencana yang datang oleh kerusakan alam sampai berbagai kekeringan dan banjir serta penyakit. Ini semuanya belum tentu sebanding dengan pajak yang diberikan oleh para kapitalis pada negara tempat rakyat tertindas ini berada.
Gedung pencakar langit, jalan bebas hambatan dan hotel mewah, memang dapat dibangun oleh sang kapitalis. Tapi itu bukan kebutuhan utama rakyat. Dan bukan itu pada hakikatnya tujuan pembangunan yang sebenarnya. Apa gunanya segala sarana kemewahan ini, jika ternyata hanya digunakan untuk maksiat seperti perjudian, minuman keras, pelacuran, hiburan mengumbar nafsu dan segala praktik ribawi. Apa artinya segala kemewahan yang materialistik dalam kehidupan yang tak punya akhlak mulia. Ini semuanya tak bernilai untuk menghadapi maut, yang kita pasti akan menjumpainya. Sampai kapan kita akan membangkang terhadap aturan hidup yang paling sempurna yang telah diberikan oleh Allah melalui Rasul-Nya, yang menjamin memberikan keselamatan, ketentraman dan bahagia, baik untuk hidup dunia yang singkat apalagi untuk hidup akhirat yang kekal abadi.***
UU Hamidy
Budayawan
(dimuat di koran Riau Pos, Sabtu 17 Februari 2012 dan http://www.riaupos.co/opini)
Amuk massa makin banyak terjadi. Dulu semasa Orde Baru hampir tak terjadi, karena ada sistem otoriter yang menekan terus gejolak perasaan rakyat. Sistem otoriter itu memperlambat gejolak yang bagaikan bengkak akan meletus. Tekanan itu berlaku terus bagaikan pompa yang menekan ke bawah. Namun pada batas akhir akan berbalik dari bawah ke atas. Begitulah secara sederhana keadaan masyarakat yang selalu tertindas.
Orang yang berpandangan sekuler akan melihat amuk massa dari sudut pandang psikologi sosial, aparat penegak hukum, tingkahlaku pemerintah dan otonomi daerah yang kusut. Pandangan itu ada benarnya, tapi tak dapat memberi penjelasan yang lengkap. Kelemahan pertama ialah, tingkat emosi masyarakat yang hampir tak pernah dipantau oleh pemegang teraju pemerintahan.
Sistem demokrasi sekuler hanya menampilkan penguasa yang zalim, memerintah tanpa mengingat kematian. Dunia Melayu punya tingkat emosi: malu, merajuk, latah, aruk dan amuk. Masyarakat yang tentram berada pada tingkat emosi malu sampai merajuk. Pada tingkat latah dan aruk, sudah ada arah kepada perlawanan. Tapi belum dilakukan secara terbuka serta belum terorganisir. Perlawanan secara massal dan terbuka terjadi pada tingkat amuk.
Amuk massa dapat dipahami dengan mudah melalui sistem demokrasi kapitalis yang telah melahirkan peta pertarungan_hidup, tiga lawan satu. Tiga yang pertama ialah penguasa, pemilik modal dan pemegang senjata (alat negara). Sedang pihak yang satu yaitu rakyat. Tiga pertama dalam demokrasi kapitalis membuat semacam hubungan yang saling menguntungkan. Penguasa memberi kemudahan pada sang kapitalis untuk mengolah berbagai sumber alam, sedang pemegang senjata memberi perlindungan pada pengusaha. Pengusaha memberi imbalan materi pada keduanya.
Ketegangan timbul antara tiga pihak ini dengan rakyat ketika memperebutkan sumber-sumber kehidupan. Sumber kehidupan yang paling utama lagi mahal adalah hutan tanah, karena inilah yang tak dapat dibuat oleh sang kapitalis. Hutan tanah yang berpijak pada tanah ulayat membuat masyarakat memandang, merekalah yang paling berhak memanfaatkan hutan tanah di negeri mereka. Tapi demokrasi kapitalis membuat rakyat jadi heran, mengapa hutan tanah mereka dengan mudah dikuasai oleh pemilik modal. Maka muncullah konflik antara pihak pengusaha dengan rakyat tempatan. Dalam konflik ini rakyat melihat, penguasa berada di pihak pengusaha sedang pemegang senjata juga ternyata membela sang kapitalis.
Rakyat mendapat tekanan agar tak menentang kebijakan penguasa yang telah memberi kemudahan pada pengusaha. Ketika diadakan perundingan, rakyat disumbat aspirasinya dengan berbagai peraturan atau undang-undang. Keadaan ini membuat rakyat makin tak mengerti, bagaimana bisa ada undang-undang yang membuat mereka kehilangan hak atas hutan tanah mereka. Ketika konflik antara pengusaha dengan rakyat sampai pada titik krisis atau klimaks, rakyat sekali lagi melihat, tak ada yang membela mereka. Mereka paling-paling dibujuk oleh politisi atau tokoh yang diberi julukan tokoh masyarakat. Namun perkara tak selesai, bahkan dada rakyat makin sempit. Maka rakyat kehilangan harapan, kemudian kehilangan pegangan, sehingga lalu mengamuk.
Jadi amuk massa itu dapat memperlihatkan tiga perkara penting. Pertama, rakyat merasa tak dipelihara oleh pemerintah, tapi merasa dipermainkan. Kedua, pengusaha hanya menjadikan rakyat sebagai obyek. Rakyat hanya untuk memutar roda perusahaan. Jadi kuli yang kemudian diganti dengan sebutan buruh agar tak merasa hina. Ketiga, materi menjadi nilai utama kehidupan, mengatasi nilai akhlak mulia yang tak berharga di depan mata materi atau bendawi.
Kenyataan ini semestinya membuka pintu hati kita, bahwa membangun dengan cara kapitalis tidaklah mendatangkan kesejahteraan pada rakyat. Dengan sistem kapitalis memang pendapatan perkapita akan meningkat. Tapi peningkatan itu tak menyentuh rakyat jelata. Angka pertumbuhan ekonomi memang akan naik tajam, ketika para kapitalis dapat peluang besar menanamkan modalnya. Tapi pertumbuhan itu hanya pertama-tama untuk sang kapitalis dan segelintir elit pejabat dan politisi yang telah melapangkan jalan bagi pengusaha. Sedang rakyat jelata mendapat berbagai malapetaka, mulai dari kehilangan hutan tanah sumber kehidupan, bencana yang datang oleh kerusakan alam sampai berbagai kekeringan dan banjir serta penyakit. Ini semuanya belum tentu sebanding dengan pajak yang diberikan oleh para kapitalis pada negara tempat rakyat tertindas ini berada.
Gedung pencakar langit, jalan bebas hambatan dan hotel mewah, memang dapat dibangun oleh sang kapitalis. Tapi itu bukan kebutuhan utama rakyat. Dan bukan itu pada hakikatnya tujuan pembangunan yang sebenarnya. Apa gunanya segala sarana kemewahan ini, jika ternyata hanya digunakan untuk maksiat seperti perjudian, minuman keras, pelacuran, hiburan mengumbar nafsu dan segala praktik ribawi. Apa artinya segala kemewahan yang materialistik dalam kehidupan yang tak punya akhlak mulia. Ini semuanya tak bernilai untuk menghadapi maut, yang kita pasti akan menjumpainya. Sampai kapan kita akan membangkang terhadap aturan hidup yang paling sempurna yang telah diberikan oleh Allah melalui Rasul-Nya, yang menjamin memberikan keselamatan, ketentraman dan bahagia, baik untuk hidup dunia yang singkat apalagi untuk hidup akhirat yang kekal abadi.***
UU Hamidy
Budayawan
(dimuat di koran Riau Pos, Sabtu 17 Februari 2012 dan http://www.riaupos.co/opini)
Penyakit Ideologis dan Elitis Partai
Syekh Taqiyuddin an Nabhani dalam kitabnya al Takattul al Hizbiy menyebut ada dua bahaya yang mengancam partai politik : bahaya ideologis dan bahaya kelas . Dua penyakit itulah yang justru diidap oleh partai-partai kita saat ini. Tidak mengherankan kalau keberadaan partai-partai sekarang, tidak banyak memberikan kebaikan kepada rakyat. Bahkan justru lebih banyak memberikan keburukan kepada rakyat.
Secara ideologis, nyaris semua partai saat ini mengadopsi ideolog Kapitalisme yang batil dan berbahaya. Mereka menjadikan nilai-nilai dasar kapitalisme seperti sekulerisme, demokrasi, liberalism, dan pluralisme menjadi standar berpolitik yang kemudian menjadi sumber bencana. Partai-partai ini berlomba-lomba menggolkan undang-undang liberal seperti UU Migas, Kelistrikan, Penanaman Modal. Undang-undang ini kemudian menjadi dasar dalam kebijakan ekonomi Indonesia yang lebih berpihak kepada pemilik modal, memberikan jalan bagi negara imperialis untuk mengeksploitasi kekayaan alam kita atas nama pasar bebas dan investasi.
Dengan pradigma kapitalisme ini pula, para elit partai yang ada di parlemen, malah memuluskan kebijakan pemerintah yang meyengsarakan rakyat. Pencabutan subsidi BBM, privatisasi pendidikan dan kesehatan yang semuanya mensengsarakan rakyat di dukung , bukan ditolak. Tidak aneh, ketika pemerintah hendak mencabut subsidi BBM, nyaris tidak ada partai yang menolak. Mereka malah memuji pemerintah yang konsisten dengan UU.
Dengan pradigma kapitalisme ini, partai-partai lebih berpikir untuk saling rebut kekuasaan dibanding mengurus rakyat. Kejahatan bukan untuk diselesaikan. Tapi menjadi alat tawar menawar politik untuk mempertahankan kepentingan kekuasaan. Sikap kompromi menjadi menonjol, yang penting semuanya aman dan untung.
Bisa dimengerti kenapa berbagai persoalan yang terkait elit partai seperti skandal BLBI ,Bank Century, Lapindo, berlarut-larut penyelesaiannya. Maraknya korupsi yang melanda elit partai menunjukkan bagai partai ini yang penting adalah mempertahankan kekuasaan. Politik menjadi alat untuk memperbesar pundi-pundi uang elit partai .
Partai pun lebih sibuk untuk menunjukkan seolah-olah peduli rakyat dengan aktifitas sosial. Memberi bantuan sosial kepada masyarakat, melakukan khitanan masal, atau gerak jalan. Padahal kegiatan itu bukanlah tugas pokok partai. Yang seharusnya dilakukan oleh partai adalah bagaimana membuat kebijakan negara atau pemerintah yang mensejahterakan rakyat. Menggolkan UU yang menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat, menjamin pendidikan dan kesehatan rakyat.
Apa artinya, bakti sosial, uang dibagi-bagi, tapi partai membiarkan negara dengan kebijakannya memiskinkan rakyat secara sistematis ? Apa artinya gerak jalan dan khitanan masal, sementara partai membiarkan penguasa yang membiarkan jalan-jalan hancur , kelas-kelas sekolah hampir rubuh, kejahatan jalanan yang merejalela ? Apa artinya semua itu, ketika partai diam saat transportasi menjadi alat pembunuh masal akibat kelalaian penguasa ?
Penyakit partai yang kedua adalah bahaya kelas. Partai merasa menjadi kelompok elit yang menjauhkan diri dari rakyat. Merasa lebih tinggi dan lebih penting dari rakyat. Di saat rakyat menderita, puluhan juta rakyat miskin, elit partai malah menghambur-hampurkan uang rakyat dan mempertontonkan kekayaan mereka di depan rakyat yang menderita.
DPR nyaris tanpa rasa, menghamburkan uang rakyat dengan berbagai proyek fantastis : renovasi ruang rapat Banggar Rp. 20,3 miliar, renovasi toilet Rp 2 miliar, proyek perawatan gedung DPR sebesar Rp 500 miliar, finger print Rp 4 miliar, renovasi ruang wartawan Rp 700 juta, dan proyek lainnya. Beberapa proyek memang dibatalkan atau dikurangi anggarannya, itupun setelah media mempersoalkannya.
Yang dibutuhkan rakyat sekarang adalah partai yang berideologi Islam. Partai yang memperjuangkan tegaknya syariah Islam dan khilafah Islam. Hanya dengan syariah Islamlah persoalan-persoalan rakyat bisa diselesaikan. Negara Khilafah akan menjamin kebutuhan pokok tiap individu rakyat (sandang, pangan, dan papan). Berdasarkan syariah Islam, negara wajib menjamin pendidikan dan kesehatan gratis untuk rakyat. Kekayaan alam yang merupakan milik rakyat (al milkiyah al ‘amah), seperti tambang emas, minyak, dan batu bara, dikelola negara dengan baik. Hasilnya diserahkan ke baitul mal untuk kepentingan rakyat.
Rakyat membutuhkan Partai Islam yang berpihak dan bersatu dengan rakyat. Dengan ketaqwaannya kepada Allah SWT, partai ini berpegang teguh pada syariah Islam. Melakukan tugas utamanya untuk menyerukan Islam, melakukan amar ma’ruf nahi munkar untuk menyelamatkan rakyat. Aktifis partai yang merasakan penderitaan rakyat dan kemudian sungguh-sungguh menyelesaikannya untuk kepentingan rakyat. Partai yang kritis terhadap setiap kebijakan negara yang membahayakan dan mensengsarakan rakyat. (Farid Wadjdi)[hizbut-tahrir.or.id]
Secara ideologis, nyaris semua partai saat ini mengadopsi ideolog Kapitalisme yang batil dan berbahaya. Mereka menjadikan nilai-nilai dasar kapitalisme seperti sekulerisme, demokrasi, liberalism, dan pluralisme menjadi standar berpolitik yang kemudian menjadi sumber bencana. Partai-partai ini berlomba-lomba menggolkan undang-undang liberal seperti UU Migas, Kelistrikan, Penanaman Modal. Undang-undang ini kemudian menjadi dasar dalam kebijakan ekonomi Indonesia yang lebih berpihak kepada pemilik modal, memberikan jalan bagi negara imperialis untuk mengeksploitasi kekayaan alam kita atas nama pasar bebas dan investasi.
Dengan pradigma kapitalisme ini pula, para elit partai yang ada di parlemen, malah memuluskan kebijakan pemerintah yang meyengsarakan rakyat. Pencabutan subsidi BBM, privatisasi pendidikan dan kesehatan yang semuanya mensengsarakan rakyat di dukung , bukan ditolak. Tidak aneh, ketika pemerintah hendak mencabut subsidi BBM, nyaris tidak ada partai yang menolak. Mereka malah memuji pemerintah yang konsisten dengan UU.
Dengan pradigma kapitalisme ini, partai-partai lebih berpikir untuk saling rebut kekuasaan dibanding mengurus rakyat. Kejahatan bukan untuk diselesaikan. Tapi menjadi alat tawar menawar politik untuk mempertahankan kepentingan kekuasaan. Sikap kompromi menjadi menonjol, yang penting semuanya aman dan untung.
Bisa dimengerti kenapa berbagai persoalan yang terkait elit partai seperti skandal BLBI ,Bank Century, Lapindo, berlarut-larut penyelesaiannya. Maraknya korupsi yang melanda elit partai menunjukkan bagai partai ini yang penting adalah mempertahankan kekuasaan. Politik menjadi alat untuk memperbesar pundi-pundi uang elit partai .
Partai pun lebih sibuk untuk menunjukkan seolah-olah peduli rakyat dengan aktifitas sosial. Memberi bantuan sosial kepada masyarakat, melakukan khitanan masal, atau gerak jalan. Padahal kegiatan itu bukanlah tugas pokok partai. Yang seharusnya dilakukan oleh partai adalah bagaimana membuat kebijakan negara atau pemerintah yang mensejahterakan rakyat. Menggolkan UU yang menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat, menjamin pendidikan dan kesehatan rakyat.
Apa artinya, bakti sosial, uang dibagi-bagi, tapi partai membiarkan negara dengan kebijakannya memiskinkan rakyat secara sistematis ? Apa artinya gerak jalan dan khitanan masal, sementara partai membiarkan penguasa yang membiarkan jalan-jalan hancur , kelas-kelas sekolah hampir rubuh, kejahatan jalanan yang merejalela ? Apa artinya semua itu, ketika partai diam saat transportasi menjadi alat pembunuh masal akibat kelalaian penguasa ?
Penyakit partai yang kedua adalah bahaya kelas. Partai merasa menjadi kelompok elit yang menjauhkan diri dari rakyat. Merasa lebih tinggi dan lebih penting dari rakyat. Di saat rakyat menderita, puluhan juta rakyat miskin, elit partai malah menghambur-hampurkan uang rakyat dan mempertontonkan kekayaan mereka di depan rakyat yang menderita.
DPR nyaris tanpa rasa, menghamburkan uang rakyat dengan berbagai proyek fantastis : renovasi ruang rapat Banggar Rp. 20,3 miliar, renovasi toilet Rp 2 miliar, proyek perawatan gedung DPR sebesar Rp 500 miliar, finger print Rp 4 miliar, renovasi ruang wartawan Rp 700 juta, dan proyek lainnya. Beberapa proyek memang dibatalkan atau dikurangi anggarannya, itupun setelah media mempersoalkannya.
Yang dibutuhkan rakyat sekarang adalah partai yang berideologi Islam. Partai yang memperjuangkan tegaknya syariah Islam dan khilafah Islam. Hanya dengan syariah Islamlah persoalan-persoalan rakyat bisa diselesaikan. Negara Khilafah akan menjamin kebutuhan pokok tiap individu rakyat (sandang, pangan, dan papan). Berdasarkan syariah Islam, negara wajib menjamin pendidikan dan kesehatan gratis untuk rakyat. Kekayaan alam yang merupakan milik rakyat (al milkiyah al ‘amah), seperti tambang emas, minyak, dan batu bara, dikelola negara dengan baik. Hasilnya diserahkan ke baitul mal untuk kepentingan rakyat.
Rakyat membutuhkan Partai Islam yang berpihak dan bersatu dengan rakyat. Dengan ketaqwaannya kepada Allah SWT, partai ini berpegang teguh pada syariah Islam. Melakukan tugas utamanya untuk menyerukan Islam, melakukan amar ma’ruf nahi munkar untuk menyelamatkan rakyat. Aktifis partai yang merasakan penderitaan rakyat dan kemudian sungguh-sungguh menyelesaikannya untuk kepentingan rakyat. Partai yang kritis terhadap setiap kebijakan negara yang membahayakan dan mensengsarakan rakyat. (Farid Wadjdi)[hizbut-tahrir.or.id]
Jubir HTI: Yang Lebih Anarkis dari FPI Kok Tidak Dibubarkan?
Pemerintah dan gerombolan liberal kembali mewacanakan pembubaran ormas anarkis pasca tindak anarkis yang dilakukan sekelompok orang yang menentang kedatangan ormas Islam Front Pembela Islam (FPI) ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Anehnya, wacana tersebut mengarah pada pembubaran FPI saja, tidak kepada kelompok anarkis yang menolak FPI tidak pula pada ormas atau pun orpol yang jauh lebih anarkis bila dibanding dengan FPI.
Bukti pemerintah diskriminatif ? Dan bagaimana pandangan Islam terkait kekerasan? Temukan jawabannya dalam wawancara wartawan mediaumat.com Fatih Mujahid dengan Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia Muhammad Ismail Yusanto. Berikut petikannya.
Apa motif sebenarnya dari aksi penolakan kelompok tertentu kepada FPI di Palangkaraya?
Kalau yang tersurat artinya apa yang mereka sampaikan dan diberitakan oleh media adalah mereka menolak kedatangan FPI. Mereka beralasan, ”kehadiran FPI di Palangkaraya ataupun Kalimantan Tengah dapat memicu konflik horizontal, mengingat FPI sering bertindak anarkis”. Itu yang terbaca di media massa.
Tapi kita meragukan hal tersebut kalau yang mereka persoalkan anarkisme FPI, maka sesungguhnya ada banyak ormas di Indonesia banyak melakukan tindakan anarkisme yang jauh lebih parah dari yang diperbuat FPI. Bahkan sejumlah parpol lebih parah lagi. Lihat saja, bila parpol tersebut kalah dalam Pilkada, tidak sedikit yang bertindak anarkis.
Kalau FPI dikatakan bertindak anarkis, bukankah tindakannya pun sudah sudah diproses secara hukum. Ditangkap pelakunya, diadili bahkan dimasukkan dalam penjara. Proses hukumnya sudah berjalan dan selesai. Mengapa harus dirisaukan? Karenanya kami meragukan motif itu.
Jadi, kami mengecam tindak anarkis yang menolak kedatangan FPI ke Palangakraya, Kalimantan Tengah itu. Karena tindakan itu sama sekali tidak mendasar apalagi kenyataannya, FPI datang untuk membuka cabang dan untuk menghadiri Perayaan Maulid Nabi. Artinya, kegiatan itu adalah kegiatan dakwah. Jadi, bagaimana mungkin orang yang hendak berdakwah ditindak seperti itu melalui kekerasan dan semena-mena? Saya kira itu tidak beradab.
Kalau mereka persoalkan anarkisme FPI, apa bedanya dengan yang mereka lakukan itu? Mereka berdemo di bandara dan itu kan dilarang oleh undang-undang apalagi sampai masuk ke airport, mengacungkan senjata tajam dan mengancam ingin membunuh. Itu sendiri sudah merupakan anarkisme.
Dan setelah delegasi FPI diterbangkan ke Banjarmasin, mereka kemudian bergerak dan membakar panggung yang bakal dipakai acara Maulid lalu merusak toko-toko yang mereka sangka milik pendukung acara Maulid itu. Ini anarkisme!
Mereka persoalkan anarkisme yang dilakukan FPI, lalu mereka melakukan anarkisme itu sendiri. Apa maksudnya itu? Kemudian, bahwa ini negeri mayoritas Muslim dan kewajiban Muslim itu berdakwah di mana pun dan tidak boleh ada hambatan dalam dakwah. Dan tidak boleh menghalangi rakyat Indonesia untuk datang kemana pun.
Coba bayangkan, kalau ada satu orang atau sekelompok yang tidak suka orang itu, kemudian menolak kehadiran orang yang tidak disuka itu maka akan merembet ke mana-mana, misalkan ketika orang Betawi merasa tersinggung dan Teras Narang datang ke sini (Jakarta) dan ditolak di Jakarta bagaimana coba? Jadi akan timbul kekacauan ini akan menjadi bibit anarkisme yang akan lebih besar nantinya.
Lantas mengapa kelompok Dayak melakukan itu?
Kami menolak kalau itu dikatakan kelompok Dayak. Karena pada faktanya Dayak Muslim dan FPI datang ke sana itu justru untuk membantu orang-orang Dayak yang bersengketa lahan dengan sejumlah perusahaan sawit. Jadi FPI datang untuk menolong mereka. Saya kira ini ada orang-orang tertentu yang memprovokasi dan memanfaatkan sentimen ras untuk mengadu domba antar warga masyarakat.
Gerombolan liberal merespon insiden itu dengan kampanye “Indonesia tanpa FPI”. Komentar Anda?
Apa urusan mereka begitu, kalau memang mereka anti FPI karena FPI sering bertindak anarkisme mestinya mereka juga mempersoalkan gerombolan yang masuk ke Bandara dan membakar panggung dan merusak toko lalu mengancam membunuh! Kalau betul mereka ingin Indonesia katanya tanpa kekerasan, berarti harus juga tanpa ada orang-orang yang melakukan anarkisme di sana dan juga tanpa Ormas dan Orpol yang terbukti melakukan tindakan anarkisme!
Apakah mereka berani mengatakan Indonesia tanpa PDI P misalkan.
Memang PDI P kenapa?
Kan PDI P pada waktu Pilkada di Tuban kalau tidak salah juga melakukan tindakan anarkisme, membakar gedung pemerintahan di sana. Atau ketika Megawati kalah melawan Gus Dur, kan massa PDI P dulu mereka juga membakar rumah orang tua Pak Amien Rais. Kalau mereka konsisten menolak anarkisme mestinya hal begini juga dipersoalkan! Tapi kan mereka tidak pernah mempersoalkan itu. Jadi mereka hanya menunggangi saja isu ini untuk mendiskreditkan kelompok Islam dalam hal ini FPI.
Saya bukan bermaksud mendukung tindakan anarkisme, tetapi marilah kita profesional. Kalau FPI melakukan tindakan kekerasan dan sudah melanggar hukum maka itu saja dipersoalkan, saya kira ini sudah dilakukan, dan FPI sudah menerima itu. Jadi apa urusannya kaum liberal mempersoalkan organisasinya? Kalau orang-orang liberal ini konsisten harusnya menyerukan siapa saja yang melakukan tindakan kekerasan harus dibubarkan. Jadi mengapa hanya FPI saja yang dipermasalahkan?
Bukan hanya gerombolan liberal, pemerintah pun nampak diskriminatif terhadap FPI. Benarkah?
Kalau pemerintah selalu menunjuk hidung persoalan anarkisme pada FPI, tapi tidak pada yang lain, dalam hal ini orang-orang yang menolak kedatangan delegasi FPI, maka pemerintah diskriminatif.
Apakah akan dihubung-hubungkan dengan revisi UU ormas?
Iya itu sama, bahwa itu tidak relevan karena persoalannya itu bukan pada pengaturan di level undang-undang tapi di level setting sistem politik yang ada. Kalau UU Ormas ini diperbaharui maka tidak akan menyelesaikan masalah.
Terlepas dari itu semua, bagaimana Islam mensikapi kekerasan?
Islam agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Rasulullah SAW sebagai rahmat. Rahmat itu adalah seluruh kebaikan, ketentraman, kesejahteraan, kemudiaan kedamaian. Selain mengatur soal-soal seperti itu, Islam pun mengatur pula masalah kekerasan. Islam bukan tidak setuju dengan “kekerasan” dan juga tidak setuju bila kita “selalu bertindak dengan kekerasan”.
Islam mengatur kapan kita melakukan kekerasan dan kapan kekerasan itu tidak boleh dilakukan. Ketika itu kita dalam rangka mendidik anak umur 10 tahun. Dia tidak mau juga melakukan sholat, maka boleh dipukul dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Itukan salah satu bentuk kekerasan dalam rangka mendidik.
Ketika kita diserang maka kita harus melawan. Dan melawan itu dengan jihad dan pasti melakukan kekerasan. Jadi kekerasan itu ada pada tempatnya, kita tidak boleh menolak tapi juga kita tidak boleh serampangan melakukannya. Jadi kalau kita kembali pada Islam maka kita akan tahu kapan kekerasan itu harus dilakukan dan kapan kekerasan itu tidak boleh dilakukan.(mediaumat.com, 16/2/2012)
Bukti pemerintah diskriminatif ? Dan bagaimana pandangan Islam terkait kekerasan? Temukan jawabannya dalam wawancara wartawan mediaumat.com Fatih Mujahid dengan Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia Muhammad Ismail Yusanto. Berikut petikannya.
Apa motif sebenarnya dari aksi penolakan kelompok tertentu kepada FPI di Palangkaraya?
Kalau yang tersurat artinya apa yang mereka sampaikan dan diberitakan oleh media adalah mereka menolak kedatangan FPI. Mereka beralasan, ”kehadiran FPI di Palangkaraya ataupun Kalimantan Tengah dapat memicu konflik horizontal, mengingat FPI sering bertindak anarkis”. Itu yang terbaca di media massa.
Tapi kita meragukan hal tersebut kalau yang mereka persoalkan anarkisme FPI, maka sesungguhnya ada banyak ormas di Indonesia banyak melakukan tindakan anarkisme yang jauh lebih parah dari yang diperbuat FPI. Bahkan sejumlah parpol lebih parah lagi. Lihat saja, bila parpol tersebut kalah dalam Pilkada, tidak sedikit yang bertindak anarkis.
Kalau FPI dikatakan bertindak anarkis, bukankah tindakannya pun sudah sudah diproses secara hukum. Ditangkap pelakunya, diadili bahkan dimasukkan dalam penjara. Proses hukumnya sudah berjalan dan selesai. Mengapa harus dirisaukan? Karenanya kami meragukan motif itu.
Jadi, kami mengecam tindak anarkis yang menolak kedatangan FPI ke Palangakraya, Kalimantan Tengah itu. Karena tindakan itu sama sekali tidak mendasar apalagi kenyataannya, FPI datang untuk membuka cabang dan untuk menghadiri Perayaan Maulid Nabi. Artinya, kegiatan itu adalah kegiatan dakwah. Jadi, bagaimana mungkin orang yang hendak berdakwah ditindak seperti itu melalui kekerasan dan semena-mena? Saya kira itu tidak beradab.
Kalau mereka persoalkan anarkisme FPI, apa bedanya dengan yang mereka lakukan itu? Mereka berdemo di bandara dan itu kan dilarang oleh undang-undang apalagi sampai masuk ke airport, mengacungkan senjata tajam dan mengancam ingin membunuh. Itu sendiri sudah merupakan anarkisme.
Dan setelah delegasi FPI diterbangkan ke Banjarmasin, mereka kemudian bergerak dan membakar panggung yang bakal dipakai acara Maulid lalu merusak toko-toko yang mereka sangka milik pendukung acara Maulid itu. Ini anarkisme!
Mereka persoalkan anarkisme yang dilakukan FPI, lalu mereka melakukan anarkisme itu sendiri. Apa maksudnya itu? Kemudian, bahwa ini negeri mayoritas Muslim dan kewajiban Muslim itu berdakwah di mana pun dan tidak boleh ada hambatan dalam dakwah. Dan tidak boleh menghalangi rakyat Indonesia untuk datang kemana pun.
Coba bayangkan, kalau ada satu orang atau sekelompok yang tidak suka orang itu, kemudian menolak kehadiran orang yang tidak disuka itu maka akan merembet ke mana-mana, misalkan ketika orang Betawi merasa tersinggung dan Teras Narang datang ke sini (Jakarta) dan ditolak di Jakarta bagaimana coba? Jadi akan timbul kekacauan ini akan menjadi bibit anarkisme yang akan lebih besar nantinya.
Lantas mengapa kelompok Dayak melakukan itu?
Kami menolak kalau itu dikatakan kelompok Dayak. Karena pada faktanya Dayak Muslim dan FPI datang ke sana itu justru untuk membantu orang-orang Dayak yang bersengketa lahan dengan sejumlah perusahaan sawit. Jadi FPI datang untuk menolong mereka. Saya kira ini ada orang-orang tertentu yang memprovokasi dan memanfaatkan sentimen ras untuk mengadu domba antar warga masyarakat.
Gerombolan liberal merespon insiden itu dengan kampanye “Indonesia tanpa FPI”. Komentar Anda?
Apa urusan mereka begitu, kalau memang mereka anti FPI karena FPI sering bertindak anarkisme mestinya mereka juga mempersoalkan gerombolan yang masuk ke Bandara dan membakar panggung dan merusak toko lalu mengancam membunuh! Kalau betul mereka ingin Indonesia katanya tanpa kekerasan, berarti harus juga tanpa ada orang-orang yang melakukan anarkisme di sana dan juga tanpa Ormas dan Orpol yang terbukti melakukan tindakan anarkisme!
Apakah mereka berani mengatakan Indonesia tanpa PDI P misalkan.
Memang PDI P kenapa?
Kan PDI P pada waktu Pilkada di Tuban kalau tidak salah juga melakukan tindakan anarkisme, membakar gedung pemerintahan di sana. Atau ketika Megawati kalah melawan Gus Dur, kan massa PDI P dulu mereka juga membakar rumah orang tua Pak Amien Rais. Kalau mereka konsisten menolak anarkisme mestinya hal begini juga dipersoalkan! Tapi kan mereka tidak pernah mempersoalkan itu. Jadi mereka hanya menunggangi saja isu ini untuk mendiskreditkan kelompok Islam dalam hal ini FPI.
Saya bukan bermaksud mendukung tindakan anarkisme, tetapi marilah kita profesional. Kalau FPI melakukan tindakan kekerasan dan sudah melanggar hukum maka itu saja dipersoalkan, saya kira ini sudah dilakukan, dan FPI sudah menerima itu. Jadi apa urusannya kaum liberal mempersoalkan organisasinya? Kalau orang-orang liberal ini konsisten harusnya menyerukan siapa saja yang melakukan tindakan kekerasan harus dibubarkan. Jadi mengapa hanya FPI saja yang dipermasalahkan?
Bukan hanya gerombolan liberal, pemerintah pun nampak diskriminatif terhadap FPI. Benarkah?
Kalau pemerintah selalu menunjuk hidung persoalan anarkisme pada FPI, tapi tidak pada yang lain, dalam hal ini orang-orang yang menolak kedatangan delegasi FPI, maka pemerintah diskriminatif.
Apakah akan dihubung-hubungkan dengan revisi UU ormas?
Iya itu sama, bahwa itu tidak relevan karena persoalannya itu bukan pada pengaturan di level undang-undang tapi di level setting sistem politik yang ada. Kalau UU Ormas ini diperbaharui maka tidak akan menyelesaikan masalah.
Terlepas dari itu semua, bagaimana Islam mensikapi kekerasan?
Islam agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Rasulullah SAW sebagai rahmat. Rahmat itu adalah seluruh kebaikan, ketentraman, kesejahteraan, kemudiaan kedamaian. Selain mengatur soal-soal seperti itu, Islam pun mengatur pula masalah kekerasan. Islam bukan tidak setuju dengan “kekerasan” dan juga tidak setuju bila kita “selalu bertindak dengan kekerasan”.
Islam mengatur kapan kita melakukan kekerasan dan kapan kekerasan itu tidak boleh dilakukan. Ketika itu kita dalam rangka mendidik anak umur 10 tahun. Dia tidak mau juga melakukan sholat, maka boleh dipukul dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Itukan salah satu bentuk kekerasan dalam rangka mendidik.
Ketika kita diserang maka kita harus melawan. Dan melawan itu dengan jihad dan pasti melakukan kekerasan. Jadi kekerasan itu ada pada tempatnya, kita tidak boleh menolak tapi juga kita tidak boleh serampangan melakukannya. Jadi kalau kita kembali pada Islam maka kita akan tahu kapan kekerasan itu harus dilakukan dan kapan kekerasan itu tidak boleh dilakukan.(mediaumat.com, 16/2/2012)
Pembatasan BBM, Untuk Siapa ?
Oleh : Arim Nasim
Direktur Pusat Kajian dan Pengembangan Ekonomi Islam
FPEB Universitas Pendidikan Indonesia Bandung
Walaupun mendapat penolakan dari berbagai kalangan baik akademisi maupun pengusaha, pemerintah tetap akan memberlakukan pembatasan konsumsi BBM subsidi mulai 1 April 2012, sebagaimana dikatakan oleh Wakil Menteri Keuangan, Mahendra Siregar , pemerintah akan mengatur konsumsi BBM subsidi bagi mobil plat merah mulai April 2012 (PR ,07/01/2012) . Dari kalangan akademisi seperti qurtubi menolak upaya pemerintah melakukan pembatasan BBM bersubsidi karena sama saja dengan menaikan BBM 100 % karena mereka yang selama ini mengkonusmsi Premium dipaksa membeli pertamax yang harganya 2 kali lipat. Sedangkan dari kalangan pengusaha khususnya usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) menolak pembatasan konsumsi BBM subsidi ini seperti yang disampaikan Ketua Koperasi Perajin Kaus Suci Bandung Marnawi, Kalau ini diberlakukan akan semakin memukul daya saing produk UMKM. Bukan hanya biaya produksi yang bertambah karena biaya transportasi, tapi bahan baku juga pasti akan ikut-ikutan naik. Kondisi tersebut, menurut dia, dipastikan akan membuat pelaku UMKM menaikkan harga jualnya. Namun, di sisi lain, daya beli masyarakat dipastikan akan merosot. Dalam kondisi itu, masyarakat dipastikan akan memilih produk impor yang harganya lebih murah. Kalau akademisi banyak yang menolak, pengusaha kecil dan rakyat banyak yang dirugikan , lalu untuk kepentingan siapa pembatasan BBM bersubsidi tersebut ?
Klasik
Wacana pembatasan konsumsi BBM subsidi ini sudah bergulir sejak 2010. Namun, program ini berkali-kali gagal dilaksanakan. Terakhir, pembatasan akan dilaksanakan pada November 2011 kembali diundur hingga April mendatang. Alasan yang selalu dikemukakan pemerintah adalah Subsidi membebani anggaran dan tidak tepat sasaran. Sebagaimana yang disampaikan oleh pemerintah Realisasi konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi selama 2011 mengakibatkan anggaran subsidi negara untuk BBM membengkak dari 129,7 triliun menjadi 160 triliun rupiah. Padahal kalau mau jujur justru yang menjadi beban APBN adalah Utang negara dan bunganya, untuk bunganya saja tahun 2011 sebesar 107 Trilyun, belum lagi penggunaan APBN yang sarat dengan korupsi dan inefesiensi. Hashim Djojohadikusumo menyebutkan sejumlah pos pengeluaran yang tidak efektif, antara lain anggaran vakansi, termasuk untuk studi banding ke luar negeri sebesar Rp 21 T untuk perjalanan pejabat Negara setiap tahun, anggaran bantuan sosial sebesar Rp 61 triliun dan 63 trilyun anggaran bantuan sosial melalui kementerian dan lembaga tidak ada rinciannya secara jelas digunakan untuk program dan proyek apa saja.
Sementara alasan penggunaan premium banyak dinikmati orang kaya juga tidak tepat berdasarkan data Susenas 2010 yang dilakukan Badan Pusat Statistik, 65 persen BBM bersubsidi dikonsumsi oleh kalangan menengah bawah dengan pengeluaran per kapita di bawah 4 dollar AS dan miskin dengan pengeluaran per kapita di bawah 2 dollar AS. Sementara itu, 27 persen digunakan kalangan menengah, 6 persen kalangan menengah atas dan 2 persen kalangan kaya.
Akar masalah
Pembatasan BBM bersubsidi sebenarnya merupakan satu bagian dari paket liberalisasi migas. Liberalisasi migas merupakan kebijakan pemerintah untuk memberikan peluang bahkan menyerahkan pengelolaan migas mulai dari kegiatan hulu sampai hilir kepada pihak swasta sebagaimana yang tercantum dalam UU MIGAS No. 22/2001 pasal 9: Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir dilaksanakan oleh: badan usaha milik negara; badan usaha milik daerah; koperasi; usaha kecil; badan usaha swasta.
UU MIGAS inilah sebenarnya yang menjadi akar masalah karut marutnya pengelolaaan Migas, dampak dari UU MIGAS ini menurut Dirjen Migas Evita legowo dikuasainya Migas oleh perusahaan asing sebesar 70 %, 16, 2 % oleh swasta lokal dan hanya 13,8 % yang digarap oleh pertamina. Karena itulah perusahaan asing yang menguasai migas tersebut menginginkan secepatnya bisa masuk ke pemasaran BBM tanpa ada hambatan yaitu adanya BBM bersubsidi dari pemerintah sehingga mereka dapat mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya melalui penguasaan produksi migas dari industri hulu sampai hilir atau dari mulai produksi sampai distribusi dan pemasarannya. Oleh karena itu Kebijakan pembatasan BBM bersubsidi bahkan menghapuskannya adalah kebijakan yang sangat dinantikan oleh Shell, Total dan SPBU Asing lainnya yang sudah ada di Indonesia dan sekarang pemerintah akan memenuhi keinginan mereka.
Prorakyat
Kalau benar bahwa pemerintah dan DPR ini bekerja untuk rakyat maka yang harus dilakukan bukan saja membatalkan pembatasan pemakaian BBM Subsidi maupun kenaikan BBM tapi yang harus dilakukan adalah membatalkan UU MIGAS No. 22 tahun 2001 dan menggembalikan pengelolaan Migas kepada Pertamina dengan pengelolaan yang profesional dan bebas korupsi, maka setelah itu dilakukan baru berfikir tentang energi alternatif maupun konversi dari Minyak Ke Gas, karena selama liberalisasi masih dijalankan walaupun terjadi konversi tetap akan muncul masalah lagi ketika Gas tersebut dikuasai oleh Swasta atau asing , saat ini saja banyak perusahaan dan sejumlah industri yang menjerit-jerit kekurangan pasokan gas karena hampir 60 % hasil gas di exspor, termasuk yang dialami PLN, akibat kekurangan gas, pembangkit listrik tenaga gas PLN terpaksa menggunakan BBM yang biaya jauh lebih mahal. Padahal menurut catatan PLN, jika Januari-September 2011, PLTG yang ada menggunakan gas maka anggaran yang dapat dihemat setidaknya Rp5 triliun. (Sumber : Pikiran Rakyat, 24 Januari 2012)
Direktur Pusat Kajian dan Pengembangan Ekonomi Islam
FPEB Universitas Pendidikan Indonesia Bandung
Walaupun mendapat penolakan dari berbagai kalangan baik akademisi maupun pengusaha, pemerintah tetap akan memberlakukan pembatasan konsumsi BBM subsidi mulai 1 April 2012, sebagaimana dikatakan oleh Wakil Menteri Keuangan, Mahendra Siregar , pemerintah akan mengatur konsumsi BBM subsidi bagi mobil plat merah mulai April 2012 (PR ,07/01/2012) . Dari kalangan akademisi seperti qurtubi menolak upaya pemerintah melakukan pembatasan BBM bersubsidi karena sama saja dengan menaikan BBM 100 % karena mereka yang selama ini mengkonusmsi Premium dipaksa membeli pertamax yang harganya 2 kali lipat. Sedangkan dari kalangan pengusaha khususnya usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) menolak pembatasan konsumsi BBM subsidi ini seperti yang disampaikan Ketua Koperasi Perajin Kaus Suci Bandung Marnawi, Kalau ini diberlakukan akan semakin memukul daya saing produk UMKM. Bukan hanya biaya produksi yang bertambah karena biaya transportasi, tapi bahan baku juga pasti akan ikut-ikutan naik. Kondisi tersebut, menurut dia, dipastikan akan membuat pelaku UMKM menaikkan harga jualnya. Namun, di sisi lain, daya beli masyarakat dipastikan akan merosot. Dalam kondisi itu, masyarakat dipastikan akan memilih produk impor yang harganya lebih murah. Kalau akademisi banyak yang menolak, pengusaha kecil dan rakyat banyak yang dirugikan , lalu untuk kepentingan siapa pembatasan BBM bersubsidi tersebut ?
Klasik
Wacana pembatasan konsumsi BBM subsidi ini sudah bergulir sejak 2010. Namun, program ini berkali-kali gagal dilaksanakan. Terakhir, pembatasan akan dilaksanakan pada November 2011 kembali diundur hingga April mendatang. Alasan yang selalu dikemukakan pemerintah adalah Subsidi membebani anggaran dan tidak tepat sasaran. Sebagaimana yang disampaikan oleh pemerintah Realisasi konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi selama 2011 mengakibatkan anggaran subsidi negara untuk BBM membengkak dari 129,7 triliun menjadi 160 triliun rupiah. Padahal kalau mau jujur justru yang menjadi beban APBN adalah Utang negara dan bunganya, untuk bunganya saja tahun 2011 sebesar 107 Trilyun, belum lagi penggunaan APBN yang sarat dengan korupsi dan inefesiensi. Hashim Djojohadikusumo menyebutkan sejumlah pos pengeluaran yang tidak efektif, antara lain anggaran vakansi, termasuk untuk studi banding ke luar negeri sebesar Rp 21 T untuk perjalanan pejabat Negara setiap tahun, anggaran bantuan sosial sebesar Rp 61 triliun dan 63 trilyun anggaran bantuan sosial melalui kementerian dan lembaga tidak ada rinciannya secara jelas digunakan untuk program dan proyek apa saja.
Sementara alasan penggunaan premium banyak dinikmati orang kaya juga tidak tepat berdasarkan data Susenas 2010 yang dilakukan Badan Pusat Statistik, 65 persen BBM bersubsidi dikonsumsi oleh kalangan menengah bawah dengan pengeluaran per kapita di bawah 4 dollar AS dan miskin dengan pengeluaran per kapita di bawah 2 dollar AS. Sementara itu, 27 persen digunakan kalangan menengah, 6 persen kalangan menengah atas dan 2 persen kalangan kaya.
Akar masalah
Pembatasan BBM bersubsidi sebenarnya merupakan satu bagian dari paket liberalisasi migas. Liberalisasi migas merupakan kebijakan pemerintah untuk memberikan peluang bahkan menyerahkan pengelolaan migas mulai dari kegiatan hulu sampai hilir kepada pihak swasta sebagaimana yang tercantum dalam UU MIGAS No. 22/2001 pasal 9: Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir dilaksanakan oleh: badan usaha milik negara; badan usaha milik daerah; koperasi; usaha kecil; badan usaha swasta.
UU MIGAS inilah sebenarnya yang menjadi akar masalah karut marutnya pengelolaaan Migas, dampak dari UU MIGAS ini menurut Dirjen Migas Evita legowo dikuasainya Migas oleh perusahaan asing sebesar 70 %, 16, 2 % oleh swasta lokal dan hanya 13,8 % yang digarap oleh pertamina. Karena itulah perusahaan asing yang menguasai migas tersebut menginginkan secepatnya bisa masuk ke pemasaran BBM tanpa ada hambatan yaitu adanya BBM bersubsidi dari pemerintah sehingga mereka dapat mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya melalui penguasaan produksi migas dari industri hulu sampai hilir atau dari mulai produksi sampai distribusi dan pemasarannya. Oleh karena itu Kebijakan pembatasan BBM bersubsidi bahkan menghapuskannya adalah kebijakan yang sangat dinantikan oleh Shell, Total dan SPBU Asing lainnya yang sudah ada di Indonesia dan sekarang pemerintah akan memenuhi keinginan mereka.
Prorakyat
Kalau benar bahwa pemerintah dan DPR ini bekerja untuk rakyat maka yang harus dilakukan bukan saja membatalkan pembatasan pemakaian BBM Subsidi maupun kenaikan BBM tapi yang harus dilakukan adalah membatalkan UU MIGAS No. 22 tahun 2001 dan menggembalikan pengelolaan Migas kepada Pertamina dengan pengelolaan yang profesional dan bebas korupsi, maka setelah itu dilakukan baru berfikir tentang energi alternatif maupun konversi dari Minyak Ke Gas, karena selama liberalisasi masih dijalankan walaupun terjadi konversi tetap akan muncul masalah lagi ketika Gas tersebut dikuasai oleh Swasta atau asing , saat ini saja banyak perusahaan dan sejumlah industri yang menjerit-jerit kekurangan pasokan gas karena hampir 60 % hasil gas di exspor, termasuk yang dialami PLN, akibat kekurangan gas, pembangkit listrik tenaga gas PLN terpaksa menggunakan BBM yang biaya jauh lebih mahal. Padahal menurut catatan PLN, jika Januari-September 2011, PLTG yang ada menggunakan gas maka anggaran yang dapat dihemat setidaknya Rp5 triliun. (Sumber : Pikiran Rakyat, 24 Januari 2012)
Sabtu, 18 Februari 2012
Parpol, Kekuasaan dan Uang
Sudah menjadi rahasia umum dan hampir semua orang tahu apa kaitan antara partai politik, kekuasaan dan uang. Dalam praktek sistem demokrasi ketiganya memiliki kaitan yang sangat erat, teramat erat dan kuat. Partai politik sebagai kendaraan untuk mencapai kekuasaan tidak mungkin bisa berjalan tanpa uang. Uang menjadi alat politisi untuk mencari kekuasaan dan jabatan. Selanjutnya kekuasaan dan jabatan mereka gunakan untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya. Begitu seterusnya, inilah bisnis kekuasaan. Betapa tidak, di saat partai politik tidak lagi memerankan fungsinya dengan benar terutama dalam hal melakukan pendidikan politik di tengah-tengah masyarakat, partai politik cenderung melakukan cara-cara instan untuk mendapatkan suara dan dukungan. Di sinilah logika uang selalu dimainkan. Yang banyak duit dialah yang memiliki kesempatan untuk menjadi pemenang. Hal ini terjadi baik dalam perebutan kursi di internal partai atau di saat pemilu atau pemilukada. Untuk ongkos pemilukada di DKI Jakarta saja misalnya, menurut Sekjen Transparency International Indonesia Teten Masduki, calon gubernur yang memakai parpol sebagai kendaraan harus memberikan mahar yang nilainya mencapai Rp 600 miliar. Itu belum termasuk dana pendongkrak popularitas, yang menurut studi Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis, minimal Rp 100 miliar. (Media Indonesia, 13/02/2012). Kalau ongkos menjadi kepala daerah sudah sedemikan besar, lalu bagaimana dengan ongkos menjadi presiden ?. Tentunya jika hanya miliyaran rupiah yang dikantongi, pasti tidak cukup.
Dari mana uang itu ?
Mengacu pada undang-undang No 2/2011 tentang partai politik, khusus pasal 34-35 yang mengatur keuangan partai politik. Disebutkan bahwa sumber legal keuangan partai politik secara umum ada tiga: iuran anggota, sumbangan yang sah menurut hukum; dan bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (uu no 2/2011 pasal 34 ayat 1-3).
Sumbangan yang sah menurut hukum, sebagaimana disebutkan dalam pasal 35, adalah (1) sumbangan dari perseorangan anggota Partai Politik yang pelaksanaannya diatur dalam AD dan ART, (2) sumbangan dari perseorangan bukan anggota Partai Politik, paling banyak senilai 1 milyar perorang dalam jangka satu tahun, (3) sumbangan dari perusahaan dan/atau badan usaha, paling banyak senilai 7,5 milyar pertahun.
Sementara dana dari APBN/APBD hanya diberikan kepada partai yang meraih kursi di DPR/DPRD. Untuk tingkat pusat subsidi pemerintah dipatok sebesar Rp 108 (seratus delapan rupiah) persuara. Secara keseluruhan, sebagaimana dijelaskan Rizal Djalil (Anggota VI Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK), sebanyak 9 parpol di DPR mendapat total dana Rp 9,1 miliar per tahun dari dana APBN (detiknews.com, 28/11/2011). Partai demokrat, sebagai partai pemenang pemilu mendapatkan subsidi sebesar 2,3 milyar dari sekitar 21 juta suara yang diperolehnya, menyusul partai-partai lain.
Lalu bagaimana dengan iuran anggota? Dalam undang-undang, seolah ia merupakan pendapatan utama partai dengan ditempatkan di nomor pertama. Tapi, pada kenyataannya ditetapkan sumber ini tak ubahnya sebagai hiasan, pemanis undang-undang belaka. Studi yang dilakukan Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Yayasan Manikaya Kauci (YMK), Komite Pemantau Legislatif (Kopel), dan Kemitraan untuk Integritas dan Pembaruan Tata-Pemerintahan, mendapati tidak satu pun partai yang menggalang sumber ini. (Koran Republika, 13/01/2012). Artinya, tidak ada partai yang berhasil mengumpulkan uang recehan dari konstituen atau pun simpatisannya. Yang ada malah sebaliknya, partai harus menggelontorkan dana yang besar untuk mereka atau membayar suara mereka. Ini wajar, selain secara teknis penarikan iuran itu sulit dilakukan, juga jumlahnya tidak signifikan dibanding kebutuhan partai, apalagi jika hal itu dipandang malah memberatkan anggota.
Singkat kata, uang legal sebagaimana “dihalalkan” undang-undang tidak mungkin mencukupi seluruh biaya partai. Partai butuh “pemasok” lain selain sumber “halal” tersebut. Di sinilah, korupsi dalam praktek demokrasi menjadi keniscayaan dan bahkan sudah menjadi bagian dari praktek tersebut. Tak heran, dalam kondisi seperti ini masyarakat menjadi mudah percaya terhadap berbagai kasus yang membelit para pejabat yang jumlahnya milyaran hingga triliyunan rupiah itu. Ada kasus century 6,7 T, proyek Ambalang bernilai 1,2 T, proyek alat bantu olah raga 75 M, pembangunan Wisma Atlet di Palembang 200 M, pembangunan sarana prasarana atlet di Jawa Barat 180 M, dll.
Usaha untuk mengurangi beban partai dalam pemilu, yaitu dengan menyerahkan pembiayaan pemilu kepada masing-masing caleg atau calon kepala daerah ternyata juga tidak serta merta menekan korupsi. Yang ada justru sebaliknya, semakin hari korupsi semakin merajalela. Pelakunya bukan hanya elit partai ataupun pejabat pusat, tetapi juga para pejabat dan kepala daerah. Laporan mendagri Gamawan Fauzi tahun lalu menyebutkan bahwa dari 155 kepala daerah yang jadi tersangka korupsi, 74 orang di antaranya gubernur. Sementara menurut Indonesia Coruption Watch, sepanjang 2011 mencatat 99 anggota DPRD dan DPR menjadi tersangka korupsi.
Bisa dihentikan ?
Masyarakat tentu tidak berhenti berharap bahwa kasus demi kasus korupsi bias dituntaskan dan memberikan efek jera bagi para pelaku korupsi yang lain. Namun, kenyataan berbicara lain, penegakan hukum di Indonesia, kian hari kian buruk. Hal ini nampak seperti pada lemahnya penegakan hukum terkait kasus dana talangan Bank Century, skandal Nazarudin, dan kasus Nunun Nurbaeti, yang saat ini menjadi soratan utama masyarakat. KPK sebagai lembaga superbody seharusnya bisa bergerak cepat. Namun sepetinya para koruptor itu bisa bergerak lebih cepat lagi, lebih rapi, dan lebih pandai. Sehingga, korupsi yang baunya begitu menyengat ini, sulit sekali dibuktikan. Hingga KPK jilid 3, bangsa ini belum bisa bernafas lega dari ancaman korupsi. Justru yang ada koruptor semakin terlatih, walaupun gerak mereka semakin dibatasi. Hal ini tiada lain, karena korupsi sudah menjadi kebutuhan. Ibarat orang mencari makan, ia akan berusaha sekuat tenaga agar ia tetap bisa makan, walaupun ia harus mencuri. Begitu pun para pejabat, selama mereka hidup dalam sistem demokrasi, selama itu pula ia harus mendulang harta untuk mendapatkan kembali kekuasaan itu, atau paling tidak bagaimana dia bisa bertahan pada kekuasaan itu.
Kesulitan dalam menghentikan hubungan buruk antara partai politik, kekuasaan dan uang dalam praktek demokrasi wajar terjadi. Betapa tidak, kekuasaan dalam sistem demokrasi sudah menjadi barang mewah. Jabatan adalah identik dengan prestise, martabat, kehormatan, bahkan ladang penghasilan yang subur. Satu-satunya jalan untuk menghentikannya tiada lain dengan mengembalikannya kepada cara pandang Islam terhadap kekuasaan. Dalam Islam kekuasaan adalah amanah. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari sahabat Abi Dzar, Rasulullah Saw. bersabda:
إنها أمانة وإنها يوم القيامة خزي وندامة إلا من أخذها بحقها وأدى الذي عليه فيها (رواه مسلم)
“Sesungguhnya kepemimpinan itu adalah amanat dan pada hari akhirat kepemimpinan itu adalah rasa malu dan penyesalan, kecuali orang yang mengambilnya dengan haq serta melaksanakan tugas kewajibannya.” (HR. Muslim).
Mengembalikan kekuasaan kepada konsep Islam, bukan hanya berarti bahwa kekuasaan harus diserahkan kepada kaum muslimin. Namun, juga berarti menerapkan seluruh konsep Islam dalam hal kekuasaan, melalui tegaknya syariah dalam bingkai khilafah Islam. Berharap akan lahirnya para pejabat yang amanah dari sistem demokrasi adalah angan-angan belaka. Parpol atau orang boleh saja berganti, namun selama sistemnya tidak dirubah, maka parpol dan pejabat berwatak sama pun akan kembali lahir dan bahkan lebih piawai. (Ade Sudiana)[hizbut-tahrir.or.id]
Dari mana uang itu ?
Mengacu pada undang-undang No 2/2011 tentang partai politik, khusus pasal 34-35 yang mengatur keuangan partai politik. Disebutkan bahwa sumber legal keuangan partai politik secara umum ada tiga: iuran anggota, sumbangan yang sah menurut hukum; dan bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (uu no 2/2011 pasal 34 ayat 1-3).
Sumbangan yang sah menurut hukum, sebagaimana disebutkan dalam pasal 35, adalah (1) sumbangan dari perseorangan anggota Partai Politik yang pelaksanaannya diatur dalam AD dan ART, (2) sumbangan dari perseorangan bukan anggota Partai Politik, paling banyak senilai 1 milyar perorang dalam jangka satu tahun, (3) sumbangan dari perusahaan dan/atau badan usaha, paling banyak senilai 7,5 milyar pertahun.
Sementara dana dari APBN/APBD hanya diberikan kepada partai yang meraih kursi di DPR/DPRD. Untuk tingkat pusat subsidi pemerintah dipatok sebesar Rp 108 (seratus delapan rupiah) persuara. Secara keseluruhan, sebagaimana dijelaskan Rizal Djalil (Anggota VI Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK), sebanyak 9 parpol di DPR mendapat total dana Rp 9,1 miliar per tahun dari dana APBN (detiknews.com, 28/11/2011). Partai demokrat, sebagai partai pemenang pemilu mendapatkan subsidi sebesar 2,3 milyar dari sekitar 21 juta suara yang diperolehnya, menyusul partai-partai lain.
Lalu bagaimana dengan iuran anggota? Dalam undang-undang, seolah ia merupakan pendapatan utama partai dengan ditempatkan di nomor pertama. Tapi, pada kenyataannya ditetapkan sumber ini tak ubahnya sebagai hiasan, pemanis undang-undang belaka. Studi yang dilakukan Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Yayasan Manikaya Kauci (YMK), Komite Pemantau Legislatif (Kopel), dan Kemitraan untuk Integritas dan Pembaruan Tata-Pemerintahan, mendapati tidak satu pun partai yang menggalang sumber ini. (Koran Republika, 13/01/2012). Artinya, tidak ada partai yang berhasil mengumpulkan uang recehan dari konstituen atau pun simpatisannya. Yang ada malah sebaliknya, partai harus menggelontorkan dana yang besar untuk mereka atau membayar suara mereka. Ini wajar, selain secara teknis penarikan iuran itu sulit dilakukan, juga jumlahnya tidak signifikan dibanding kebutuhan partai, apalagi jika hal itu dipandang malah memberatkan anggota.
Singkat kata, uang legal sebagaimana “dihalalkan” undang-undang tidak mungkin mencukupi seluruh biaya partai. Partai butuh “pemasok” lain selain sumber “halal” tersebut. Di sinilah, korupsi dalam praktek demokrasi menjadi keniscayaan dan bahkan sudah menjadi bagian dari praktek tersebut. Tak heran, dalam kondisi seperti ini masyarakat menjadi mudah percaya terhadap berbagai kasus yang membelit para pejabat yang jumlahnya milyaran hingga triliyunan rupiah itu. Ada kasus century 6,7 T, proyek Ambalang bernilai 1,2 T, proyek alat bantu olah raga 75 M, pembangunan Wisma Atlet di Palembang 200 M, pembangunan sarana prasarana atlet di Jawa Barat 180 M, dll.
Usaha untuk mengurangi beban partai dalam pemilu, yaitu dengan menyerahkan pembiayaan pemilu kepada masing-masing caleg atau calon kepala daerah ternyata juga tidak serta merta menekan korupsi. Yang ada justru sebaliknya, semakin hari korupsi semakin merajalela. Pelakunya bukan hanya elit partai ataupun pejabat pusat, tetapi juga para pejabat dan kepala daerah. Laporan mendagri Gamawan Fauzi tahun lalu menyebutkan bahwa dari 155 kepala daerah yang jadi tersangka korupsi, 74 orang di antaranya gubernur. Sementara menurut Indonesia Coruption Watch, sepanjang 2011 mencatat 99 anggota DPRD dan DPR menjadi tersangka korupsi.
Bisa dihentikan ?
Masyarakat tentu tidak berhenti berharap bahwa kasus demi kasus korupsi bias dituntaskan dan memberikan efek jera bagi para pelaku korupsi yang lain. Namun, kenyataan berbicara lain, penegakan hukum di Indonesia, kian hari kian buruk. Hal ini nampak seperti pada lemahnya penegakan hukum terkait kasus dana talangan Bank Century, skandal Nazarudin, dan kasus Nunun Nurbaeti, yang saat ini menjadi soratan utama masyarakat. KPK sebagai lembaga superbody seharusnya bisa bergerak cepat. Namun sepetinya para koruptor itu bisa bergerak lebih cepat lagi, lebih rapi, dan lebih pandai. Sehingga, korupsi yang baunya begitu menyengat ini, sulit sekali dibuktikan. Hingga KPK jilid 3, bangsa ini belum bisa bernafas lega dari ancaman korupsi. Justru yang ada koruptor semakin terlatih, walaupun gerak mereka semakin dibatasi. Hal ini tiada lain, karena korupsi sudah menjadi kebutuhan. Ibarat orang mencari makan, ia akan berusaha sekuat tenaga agar ia tetap bisa makan, walaupun ia harus mencuri. Begitu pun para pejabat, selama mereka hidup dalam sistem demokrasi, selama itu pula ia harus mendulang harta untuk mendapatkan kembali kekuasaan itu, atau paling tidak bagaimana dia bisa bertahan pada kekuasaan itu.
Kesulitan dalam menghentikan hubungan buruk antara partai politik, kekuasaan dan uang dalam praktek demokrasi wajar terjadi. Betapa tidak, kekuasaan dalam sistem demokrasi sudah menjadi barang mewah. Jabatan adalah identik dengan prestise, martabat, kehormatan, bahkan ladang penghasilan yang subur. Satu-satunya jalan untuk menghentikannya tiada lain dengan mengembalikannya kepada cara pandang Islam terhadap kekuasaan. Dalam Islam kekuasaan adalah amanah. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari sahabat Abi Dzar, Rasulullah Saw. bersabda:
إنها أمانة وإنها يوم القيامة خزي وندامة إلا من أخذها بحقها وأدى الذي عليه فيها (رواه مسلم)
“Sesungguhnya kepemimpinan itu adalah amanat dan pada hari akhirat kepemimpinan itu adalah rasa malu dan penyesalan, kecuali orang yang mengambilnya dengan haq serta melaksanakan tugas kewajibannya.” (HR. Muslim).
Mengembalikan kekuasaan kepada konsep Islam, bukan hanya berarti bahwa kekuasaan harus diserahkan kepada kaum muslimin. Namun, juga berarti menerapkan seluruh konsep Islam dalam hal kekuasaan, melalui tegaknya syariah dalam bingkai khilafah Islam. Berharap akan lahirnya para pejabat yang amanah dari sistem demokrasi adalah angan-angan belaka. Parpol atau orang boleh saja berganti, namun selama sistemnya tidak dirubah, maka parpol dan pejabat berwatak sama pun akan kembali lahir dan bahkan lebih piawai. (Ade Sudiana)[hizbut-tahrir.or.id]
Indonesia bukanlah negara agama, juga bukan negara sekular; bukan negara sosialis, juga bukan negara kapitalis. Jadi Indonesia negara apa?
Ketidakjelasan basis ideologi inilah yang kemudian memunculkan banyak sekali persoalan serius dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satunya tampak dalam pembahasan RUU Keamanan Nasional yang saat ini tengah digodog di gedung DPR. RUU yang dibuat dalam 7 Bab dan 60 pasal plus penjelasan pasal-pasalnya ini diperlukan untuk menjadi dasar penanganan masalah keamanan secara komprehensif—sebuah kebutuhan yang sesungguhnya sangat wajar dalam sebuah negara.
Namun, bila dikaji secara cermat, RUU ini alih-alih bisa menciptakan keamanan bagi seluruh rakyat dan negara, yang terjadi justru sangat berpotensi menimbulkan ancaman bagi rakyat. Mengapa? Salah satunya adalah akibat tidak jelasnya basis ideologi tadi. RUU ini bisa secara serampangan menyasar siapa saja yang dianggap melawan penguasa dengan dalih mengancam keamanan nasional. Dengan kata lain, RUU ini berpotensi digunakan sebagai alat represi pemerintah sehingga merugikan hak dan privasi rakyat, sementara sesuatu yang semestinya harus dianggap sebagai ancaman justru luput dari sorotan.
Dalam RUU tersebut, ancaman terhadap keamanan nasional dinyatakan bukan saja dalam bentuk militer, tetapi juga selain militer. Salah satu yang dianggap sebagai ancaman selain militer atau ancaman bukan bersenjata adalah ideologi asing. Pertanyaannya, ideologi asing seperti apa yang dimaksud di sini? Ketika Indonesia tidak cukup jelas ideologinya, maka penilaian terhadap sebuah ideologi itu asing atau tidak menjadi sangat absurd.
Persoalan yang sangat krusial ini saya sampaikan di hadapan forum pertemuan antara Wakil Menteri Pertahanan, Letjen (Purn) Syafri Syamsuddin dengan pimpinan Ormas Islam tingkat pusat dan sejumlah pimpinan perguruan tinggi Muhammadiyah pada 28 Desember 2011 lalu di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Jakarta. Pertemuan itu memang diadakan untuk mensosialisasikan RUU Kamnas. Pak Syafri sebagai Wamenhan yang telah lama dikenal dekat dengan kalangan Islam tampaknya ditugasi untuk berbicara mengenai pentingnya RUU tersebut.
HTI sendiri sudah lama mengkaji RUU yang rancangannya sejatinya sudah disiapkan sejak Maret 2011. HTI telah mengeluarkan tanggapan resminya melalui pernyataan yang dikeluarkan pada 27 Juli 2011.
Mengenai ancaman ideologi, kepada Pak Syafri saya katakan, bila ideologi Indonesia adalah Pancasila, bagaimana dengan sekularisme dan kapitalisme, apakah akan dianggap sebagai ancaman? Mestinya, kapitalisme yang sekarang ini justru diterapkan dan telah banyak sekali menimbulkan berbagai macam persoalan dan dampak buruk, harus dipandang sebagai ancaman. Faktanya, alih-alih dilarang, ideologi ini justru makin berurat akar. Lihatlah, semakin banyak saja lahir peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah yang sangat kapitalistik.
Lalu bagaimana pula dengan Islam? Akankah Islam akan juga dianggap sebagai ideologi asing dan dilarang? Masak iya, kita umat Muslim yang mayoritas di negeri ini akan menganggap Islam, agama kita sendiri, sebagai ancaman dan kemudian melarangnya?
Ini mungkin pertanyaan aneh. Namun faktanya, hal ini pernah terjadi di masa Orde Baru. Saat itu jangankan menyuarakan penerapan syariah Islam secara kaffah, sekadar menyelenggarakan pesantren kilat saja dilarang. Kondisi yang sangat buruk itu bukan tidak mungkin akan terjadi lagi bila RUU Keamanan Nasional yang memasukkan ideologi sebagai salah satu ancaman non-militer itu disahkan, sementara apa yang dimaksud ancaman ideologi ini tidak terdefinisikan secara jelas.(hizbut-tahrir.or.id, "basis ideologi")
Namun, bila dikaji secara cermat, RUU ini alih-alih bisa menciptakan keamanan bagi seluruh rakyat dan negara, yang terjadi justru sangat berpotensi menimbulkan ancaman bagi rakyat. Mengapa? Salah satunya adalah akibat tidak jelasnya basis ideologi tadi. RUU ini bisa secara serampangan menyasar siapa saja yang dianggap melawan penguasa dengan dalih mengancam keamanan nasional. Dengan kata lain, RUU ini berpotensi digunakan sebagai alat represi pemerintah sehingga merugikan hak dan privasi rakyat, sementara sesuatu yang semestinya harus dianggap sebagai ancaman justru luput dari sorotan.
Dalam RUU tersebut, ancaman terhadap keamanan nasional dinyatakan bukan saja dalam bentuk militer, tetapi juga selain militer. Salah satu yang dianggap sebagai ancaman selain militer atau ancaman bukan bersenjata adalah ideologi asing. Pertanyaannya, ideologi asing seperti apa yang dimaksud di sini? Ketika Indonesia tidak cukup jelas ideologinya, maka penilaian terhadap sebuah ideologi itu asing atau tidak menjadi sangat absurd.
Persoalan yang sangat krusial ini saya sampaikan di hadapan forum pertemuan antara Wakil Menteri Pertahanan, Letjen (Purn) Syafri Syamsuddin dengan pimpinan Ormas Islam tingkat pusat dan sejumlah pimpinan perguruan tinggi Muhammadiyah pada 28 Desember 2011 lalu di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Jakarta. Pertemuan itu memang diadakan untuk mensosialisasikan RUU Kamnas. Pak Syafri sebagai Wamenhan yang telah lama dikenal dekat dengan kalangan Islam tampaknya ditugasi untuk berbicara mengenai pentingnya RUU tersebut.
HTI sendiri sudah lama mengkaji RUU yang rancangannya sejatinya sudah disiapkan sejak Maret 2011. HTI telah mengeluarkan tanggapan resminya melalui pernyataan yang dikeluarkan pada 27 Juli 2011.
Mengenai ancaman ideologi, kepada Pak Syafri saya katakan, bila ideologi Indonesia adalah Pancasila, bagaimana dengan sekularisme dan kapitalisme, apakah akan dianggap sebagai ancaman? Mestinya, kapitalisme yang sekarang ini justru diterapkan dan telah banyak sekali menimbulkan berbagai macam persoalan dan dampak buruk, harus dipandang sebagai ancaman. Faktanya, alih-alih dilarang, ideologi ini justru makin berurat akar. Lihatlah, semakin banyak saja lahir peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah yang sangat kapitalistik.
Lalu bagaimana pula dengan Islam? Akankah Islam akan juga dianggap sebagai ideologi asing dan dilarang? Masak iya, kita umat Muslim yang mayoritas di negeri ini akan menganggap Islam, agama kita sendiri, sebagai ancaman dan kemudian melarangnya?
Ini mungkin pertanyaan aneh. Namun faktanya, hal ini pernah terjadi di masa Orde Baru. Saat itu jangankan menyuarakan penerapan syariah Islam secara kaffah, sekadar menyelenggarakan pesantren kilat saja dilarang. Kondisi yang sangat buruk itu bukan tidak mungkin akan terjadi lagi bila RUU Keamanan Nasional yang memasukkan ideologi sebagai salah satu ancaman non-militer itu disahkan, sementara apa yang dimaksud ancaman ideologi ini tidak terdefinisikan secara jelas.(hizbut-tahrir.or.id, "basis ideologi")
Jumat, 17 Februari 2012
Meniti Jalan Mudah ke Surga
Dari Abu Darda’ berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda:
“Siapa saja yang melalui jalan untuk mencari ilmu, maka Allah mudahkan dengannya jalan ke surga. Sesungguhnya malaikat benar-benar meletakkan sayap-sayapnya karena ridha dengan orang yang mencari ilmu; dan sesungguhnya benar-benar akan memintakan ampun untuk orang yang alim (berilmu), yaitu siapa saja yang berada di langit dan bumi hingga ikan-ikan di lautan sekalipun. Ketahuilah bahwa kelebihan orang yang alim (berilmu) atas orang yang ahli ibadah seperti kelebihan rembulan atas bintang-bintang yang lainnya. Sesungguhnya, para ulama itu adalah pewaris para nabi yang tidak mewarisi dinar dan tidak pula dirham, dan yang mereka wariskan adalah ilmu. Sehingga siapa saja yang mengambilnya, maka sungguh ia telah mengambil bagiannya dengan sempurna.” (HR. Ahmad).
Imam Ahmad berkata: “Mereka itu adalah para ulil amri sesudahnya. Dan mereka para umara (penguasa) dan ulama.”
Sudaraku sekalian:
Sungguh, para penguasa di zaman sekarang ini telah rusak semuanya, tidak seorang pun dari mereka yang menegakkan syariah, serta tidak menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Mereka berpaling dari seruan kebenaran (Islam), dan dari menolongnya, bahkan mereka bersepakat untuk memeranginya dan melawan para pengembannya. Sehingga sudah tidak ada lagi kebaikan yang bisa diharapkan dari mereka, bahkan yang ada pada mereka hanyalah keburukan, makar (tipu daya) dan pengkhianatan.
Mereka telah mengeluarkan diri mereka sendiri dari sebagai pewaris Muhammad Saw, sehingga sudah tidak ada pewaris Beliau, kecuali kaum Muslim dan para aktivis yang bekerja siang dan malam untuk menegakkan syariah Allah di muka bumi, yang dengan terang-terangan menyatakan berlepas diri dari para penguasa. Mereka memimpin umat menuju aktivitas untuk menegakkan syariah Allah; dan juga para tentara yang mencerminkan pusat kekuatan, yaitu mereka yang dengan kekuatannya melakukan penggulingan terhadap para penguasa, demi menolong Allah dan Rasulullah, menolong agamanya dan umat Islam.
Inilah sebagian dari pewaris Rasulullah Saw yang masih tersisa. Maka, bagi masing-masing pewaris hendaklah mengambil bagian dari peninggalan Rasulullah, kemudian menunaikan hak dan kewajibannya hingga tegak Negara Khilafah, yaitu negara bagi al-Qur’an dan as-Sunnah, yang telah tiba saatnya. Ya Allah jadikan kami di antara para tentaranya dan di antara orang-orang yang terlibat dalam menegakkannya.
Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 9/2/2012.
“Siapa saja yang melalui jalan untuk mencari ilmu, maka Allah mudahkan dengannya jalan ke surga. Sesungguhnya malaikat benar-benar meletakkan sayap-sayapnya karena ridha dengan orang yang mencari ilmu; dan sesungguhnya benar-benar akan memintakan ampun untuk orang yang alim (berilmu), yaitu siapa saja yang berada di langit dan bumi hingga ikan-ikan di lautan sekalipun. Ketahuilah bahwa kelebihan orang yang alim (berilmu) atas orang yang ahli ibadah seperti kelebihan rembulan atas bintang-bintang yang lainnya. Sesungguhnya, para ulama itu adalah pewaris para nabi yang tidak mewarisi dinar dan tidak pula dirham, dan yang mereka wariskan adalah ilmu. Sehingga siapa saja yang mengambilnya, maka sungguh ia telah mengambil bagiannya dengan sempurna.” (HR. Ahmad).
Imam Ahmad berkata: “Mereka itu adalah para ulil amri sesudahnya. Dan mereka para umara (penguasa) dan ulama.”
Sudaraku sekalian:
Sungguh, para penguasa di zaman sekarang ini telah rusak semuanya, tidak seorang pun dari mereka yang menegakkan syariah, serta tidak menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Mereka berpaling dari seruan kebenaran (Islam), dan dari menolongnya, bahkan mereka bersepakat untuk memeranginya dan melawan para pengembannya. Sehingga sudah tidak ada lagi kebaikan yang bisa diharapkan dari mereka, bahkan yang ada pada mereka hanyalah keburukan, makar (tipu daya) dan pengkhianatan.
Mereka telah mengeluarkan diri mereka sendiri dari sebagai pewaris Muhammad Saw, sehingga sudah tidak ada pewaris Beliau, kecuali kaum Muslim dan para aktivis yang bekerja siang dan malam untuk menegakkan syariah Allah di muka bumi, yang dengan terang-terangan menyatakan berlepas diri dari para penguasa. Mereka memimpin umat menuju aktivitas untuk menegakkan syariah Allah; dan juga para tentara yang mencerminkan pusat kekuatan, yaitu mereka yang dengan kekuatannya melakukan penggulingan terhadap para penguasa, demi menolong Allah dan Rasulullah, menolong agamanya dan umat Islam.
Inilah sebagian dari pewaris Rasulullah Saw yang masih tersisa. Maka, bagi masing-masing pewaris hendaklah mengambil bagian dari peninggalan Rasulullah, kemudian menunaikan hak dan kewajibannya hingga tegak Negara Khilafah, yaitu negara bagi al-Qur’an dan as-Sunnah, yang telah tiba saatnya. Ya Allah jadikan kami di antara para tentaranya dan di antara orang-orang yang terlibat dalam menegakkannya.
Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 9/2/2012.
Kamis, 16 Februari 2012
Dari Utara Hingga Selatan Libanon Hizbut Tahrir Gelar Aksi Untuk Kemenangan Kaum Muslimin di Suriah yang Ditindas
Kaum Muslim itu bagaikan satu tubuh, ketika salah satu bagian tubuh sakit, maka yang lainnya akan merasakkan sakit. Demikianlah, kaum Muslim di seluruh dunia, termasuk di Libanon, tidak mendiamkan derita yang menimpa saudara-saudaranya yang dibantai oleh rezim kejam Bashar al-Assad di Suriah. Aksi solidaritas untuk kaum Muslim Suriah digelar di selatan dan utara Libanon, mengecam kekejaman Bashar al-Assad yang telah lama membantai kaum Muslim, termasuk pembantaian di Homs.
Usai sholat Jumat, kaum Muslim keluar dari Masjid di Sidon, ibukota provinsi di selatan, dan Tripoli, kota kedua terbesar di Libbanon. Sekitar 4.000 pria, wanita, dan anak-anak keluar dari Masjid Bilal bin Rabbah di Sidon dan berbaris tiga kilometer menuju pusat kota, Jumat, 10/02/2012.
Para pengunjuk rasa, sambil mengankat spanduk mengecam Assad, meneriakkan slogan-slogan mengkritik posisi Rusia di Suriah.
“Wahai tukang jagal Suriah [Assad], Anda mencium bau,” bacaan salah satu spanduk. Yang lainnya bertuliskan, “Mendukung seorang tukang jagal adalah dosa”.
Di Tripoli, di tengah-tengah keamanan yang ketat kerumunan massa muncul dari Masjid Al-Mansur al-Kabir.
Aksi massa yang diselenggarakan oleh Hizbut Tahrir itu tersebut berjalan melewati jalan-jalan di lingkungan Kota Tal.
“Wahai penduduk Homs, Tripoli bersama Anda sampai kemenangan tercapai melawan penindasan,” teriak para pengunjuk rasa.
Mereka juga berteriak mengecam kerasn “kejahatan” yang dilakukan di Homs dan Alleppo.
Sebuah aksi protes serupa juga digelar usai sholat Jumat di Masjid Hamza di Qibberh di dekatnya. Sekitar 300 massa berbaris menuju Ibnu Sina Square di mana mereka mereka menggelar sholat ghaib untuk para syuhada Suriah.
Di Lembah Beka, sebelah timur Lebanon, terdapat dua aksi unjuk rasa, tapi yang ketiga yang direncakan di Rashaya dibatalkan.
Sekitar 500 massa muncul dari Masjid Ali bin Abi Talib di Saadnayel sementara 100 massa lainnya melakukan aksi anti Assad di depan Masjid Qab Elias al-Kabir.
Sementara itu, sekitar 100 massa melakukan aksi solidaritas di depan Masjid Sahat al-Imam di Tariq Jadideh, sebelah Barat Beirut, usai sholat Jumat.
Pasukan keamanan mengambil langkah ketat untuk memastikan bahwa aksi tersebut tetap damai. Tidak ada insiden yang dilaporkan selama aksi itu.
Menyusul pembantaian yang semakin meningkat terhadap kaum Muslim di Suriah, terutama di Homs dan Alleppo, yang terjadi sepekan sebelumnya, Hizbut Tahrir di berbagai negeri memobilisasi massa untuk melakukan aksi solidaritas mendukung rakyat Suriah. Aksi digelar di Libanon, Yordania, Turki, Tunisia, dan negeri-negeri lainnya.
Di Libanon khususnya, hampir setiap Jumat, Hizbut Tahrir Libanon bersama kaum Muslim di Libanon menggelar aksi solidaritas untuk mendukung saudara mereka di Suriah melawan rezim Bashar al-Assad. Para pengibar panji-panji Rasulullah pun bermunculan di bumi Syam, mulai dari Suriah, Libanon, Yordania hingga Masjid Al-Aqsa.
Demikianlah, kaum Muslim di seluruh penjuru dunia tidak akan membiarkan darah syuhada saudara mereka yang melawan kezaliman terus mengalir. Atas tuntutan iman, mereka ikut bersama saudara mereka untuk melawan Bashar al-Assad.
Pergolakan yang terjadi di Timur Tengah hari ini semakin menunjukkan ujian keimanan kaum Muslim, serta mendekatkan pertolongan Allah semakin dekat hingga kemenangan beruta tegaknya Khilafah Islamiyyah yang akan menyatukan kaum Muslim sedunia kembali berdiri. Insya Allah, para pengibar panji-panjinya kini bermunculan di bumi Syam. Takbir! (syabab.com, 16/2/2012)
KLIK DISINI untuk melihat VIDEOnya.
Usai sholat Jumat, kaum Muslim keluar dari Masjid di Sidon, ibukota provinsi di selatan, dan Tripoli, kota kedua terbesar di Libbanon. Sekitar 4.000 pria, wanita, dan anak-anak keluar dari Masjid Bilal bin Rabbah di Sidon dan berbaris tiga kilometer menuju pusat kota, Jumat, 10/02/2012.
Para pengunjuk rasa, sambil mengankat spanduk mengecam Assad, meneriakkan slogan-slogan mengkritik posisi Rusia di Suriah.
“Wahai tukang jagal Suriah [Assad], Anda mencium bau,” bacaan salah satu spanduk. Yang lainnya bertuliskan, “Mendukung seorang tukang jagal adalah dosa”.
Di Tripoli, di tengah-tengah keamanan yang ketat kerumunan massa muncul dari Masjid Al-Mansur al-Kabir.
Aksi massa yang diselenggarakan oleh Hizbut Tahrir itu tersebut berjalan melewati jalan-jalan di lingkungan Kota Tal.
“Wahai penduduk Homs, Tripoli bersama Anda sampai kemenangan tercapai melawan penindasan,” teriak para pengunjuk rasa.
Mereka juga berteriak mengecam kerasn “kejahatan” yang dilakukan di Homs dan Alleppo.
Sebuah aksi protes serupa juga digelar usai sholat Jumat di Masjid Hamza di Qibberh di dekatnya. Sekitar 300 massa berbaris menuju Ibnu Sina Square di mana mereka mereka menggelar sholat ghaib untuk para syuhada Suriah.
Di Lembah Beka, sebelah timur Lebanon, terdapat dua aksi unjuk rasa, tapi yang ketiga yang direncakan di Rashaya dibatalkan.
Sekitar 500 massa muncul dari Masjid Ali bin Abi Talib di Saadnayel sementara 100 massa lainnya melakukan aksi anti Assad di depan Masjid Qab Elias al-Kabir.
Sementara itu, sekitar 100 massa melakukan aksi solidaritas di depan Masjid Sahat al-Imam di Tariq Jadideh, sebelah Barat Beirut, usai sholat Jumat.
Pasukan keamanan mengambil langkah ketat untuk memastikan bahwa aksi tersebut tetap damai. Tidak ada insiden yang dilaporkan selama aksi itu.
Menyusul pembantaian yang semakin meningkat terhadap kaum Muslim di Suriah, terutama di Homs dan Alleppo, yang terjadi sepekan sebelumnya, Hizbut Tahrir di berbagai negeri memobilisasi massa untuk melakukan aksi solidaritas mendukung rakyat Suriah. Aksi digelar di Libanon, Yordania, Turki, Tunisia, dan negeri-negeri lainnya.
Di Libanon khususnya, hampir setiap Jumat, Hizbut Tahrir Libanon bersama kaum Muslim di Libanon menggelar aksi solidaritas untuk mendukung saudara mereka di Suriah melawan rezim Bashar al-Assad. Para pengibar panji-panji Rasulullah pun bermunculan di bumi Syam, mulai dari Suriah, Libanon, Yordania hingga Masjid Al-Aqsa.
Demikianlah, kaum Muslim di seluruh penjuru dunia tidak akan membiarkan darah syuhada saudara mereka yang melawan kezaliman terus mengalir. Atas tuntutan iman, mereka ikut bersama saudara mereka untuk melawan Bashar al-Assad.
Pergolakan yang terjadi di Timur Tengah hari ini semakin menunjukkan ujian keimanan kaum Muslim, serta mendekatkan pertolongan Allah semakin dekat hingga kemenangan beruta tegaknya Khilafah Islamiyyah yang akan menyatukan kaum Muslim sedunia kembali berdiri. Insya Allah, para pengibar panji-panjinya kini bermunculan di bumi Syam. Takbir! (syabab.com, 16/2/2012)
KLIK DISINI untuk melihat VIDEOnya.
Rabu, 15 Februari 2012
Satu Tahun Revolusi Arab (Arab Spring)
Oleh: Adnan Khan (Hizbut Tahrir Inggris)
Revolusi Arab (Arab Spring) dimulai pada bulan Januari 2011. Satu tahun telah berlalu adakah perubahan yang mendasar terjadi di Timur Tengah ? Pergolakan ini berawal dari Tunisia, meluas ke Mesir hingga akhirnya melanda sebagian besar dunia Muslim. Setelah setahun, perubahan rezim hanya terjadi di Libya, sementara di Mesir dan Tunisia, para penguasanya mungkin berganti. Namun rezim lama sebenarnya masih tetap berkuasa. Penyebabnya adalah campur tangan kekuatan asing terutama Amerika. Amerika memanipulasi perubahan di Timur Tengah dengan tujuan menciptakan Timur Tengah Raya baru. Dimana kekuatan lama Eropa memiliki pengaruh yang kecil.
Pemecatan Zine El Abidine Ben Ali bukanlah peristiwa yang terjadi secara acak. Namun merupakan sintesis dari korupsi yang merajalela selama 23 tahun di bawah lindungan Barat. Hal ini diperburuk krisis keuangan global dan program-program struktural pengisap darah IMF. Amerika bersemangat menunggu gejolak yang sama di Aljazair, Yordania, dan negara-negara Teluk. Mereka berharap bisa mengkontrol rezim-rezim itu untuk memberikan kesetiaan kepada Amerika Serikat, setelah sebelumnya negara-negara itu lebih banyak berkorban untuk Inggris dan Perancis.
Mesir
Dalam hal Mesir, Amerika menjinakkan pemberontakan dengan membuang agen-agen yang setia pada Mubarak. Berikutnya menyerahkan kekuasaan kepada militer untuk memerintah Mesir. Perjanjian Terusan Suez dan Pakta bersama Mesir dengan Israel tetap berlaku sehingga banyak mengecewakan masyarakat Mesir. Saat ini Amerika secara terbuka membangkitkan kembali ambisinya untuk menguasai Dunia Arab, sesuatu yang dahulunya dianggap terlampau ambisius dan berbahaya dibicarakan secara terbuka.
Partai Ikhwanul Muslimin dan partai An Nur mendapatkan kemenangan telak. Namun agenda mereka tampaknya tidak akan berbeda dengan para pendahulunya. Walaupun Ikhawanul Muslimin adalah kelompok politik terbesar di Mesir dan kekuatan yang luar biasa, mereka justru menempatkan diri pada posisi yang lemah. Mereka menunjukkan diri bahwa mereka tidak benar-benar menyerukan kepada Islam. Berusaha menenangkan kekhawatiran dunia Barat terhadap Islam di Mesir. Ikhwanul Muslimin menyatakan siap masuk ke dalam pemerintahan dan berkoalisi dengan partai-partai lain. Hilary Clinton mengatakan pemerintahan Obama akan melanjutkan pendekatan dengan melakukan kontak-kontak terbatas dengan Ikhwanul Muslimin yang sudah dilakukan selama sekitar lima atau enam tahun.
Partai Nour tidak berbeda. Juru bicara partai al-Nour dari Salafi, Yousri Hammad dalam sebuah wawancara telepon dengan saluran satelit independen al-Nas menyatakan kesiapan partainya untuk mempertahankan hubungan Mesir dengan Israel. “Mesir adalah penandatangan perjanjian-perjanjian internasional dan hal ini harus dihormati. Ini bukan pendapat pribadi saya atau pendapat dari ketua partai, ini adalah bagian dari kebijakan partai.. ” ujarnya.
Suriah
Bashar Al-Assad terus melakukan pembantaian terhadap rakyatnya sendiri, sementara masyarakat internasional hanya menonton. Respon masyarakat internasional sebagian besar hanyalah retorika. Disaat banyak yang menyerukan pemecatan Assad, Amerika malah menyerukan rezimAssad untuk melakukan reformasi.
Suriah kerap digambarkan sebagai negara yang tidak memperdulikan aturan-aturan internasional dan mendukung militan Hizbullah dan Palestina. Namun, yang luput dari pengawasan umum adalah bahwa pemerintah Amerika selalu memandang Suriah sebagai wakil Amerika yang penting yang dibutuhkan di wilayah tersebut. Suriah telah menjaga kepentingan-kepentingan Amerika, diantaranya tindakan penangkapan dan penyiksaan terhadap rakyatnya sendiri.
Di Irak, Suriah memainkan peran aktif dalam menginfiltrasi kaum Islamis dan memberikan informasi intelijen berharga kepada pasukan koalisi pimpinan AS. Termasuk kepada Pasukan Penangkis Suriah (SDF) di Lebanon yang menjamin perlindungan kepentingan-kepentingan Amerika dibawah Perjanjian Taif tahun 1989.
Amerika telah mendorong oposisi Suriah untuk memelihara dialog dengan rezim Bashar al-Assad. Mempersiapkan road map reformasi dengan tetap mempertahankan Assad. Hilary Clinton menjelaskan sikap Amerika dalam wawancara dengan media Italia Di Mezz’Ora (mei 2011) : “Yang kami tahu adalah bahwa mereka (rezim Assad) masih memiliki kesempatan melakukan agenda reformasi. Tak seorang pun percaya Qaddafi akan melakukan hal itu. Orang percaya ada kemungkinan jalan ke depan bagi Suriah.. Jadi kami akan terus bergabung dengan semua sekutu kami untuk terus untuk menekankan dengan sangat keras pada masalah itu.”
Amerika mencoba menjaga Assad tetap berkuasa, namun sekaligus mendukung pihak oposisi. Sebagai persiapan jika rezim Assad gagal mempertahankan kekuasaannya. Oposisi Suriah secara terbuka mencari intervensi internasional. Dalam pertemuan di Antalya, Turki, pada Juni 2011 oposisi Suriah berkumpul meminta Barat untuk membantu Suriah seperti yang dilakukan di Libya. Amerika juga menyerukan pihak oposisi bersatu sehingga dewan penguasa baru dapat terbentuk. Selanjutnya Amerika akan berhubungan dengan dewan penguasa baru ini, seperti Dewan Transisi Nasional di Libya.
Libya
Setelah menggulingkan Gaddafi, Dewan Transisi Nasional (NTC) telah diterima oleh masyarakat internasional sebagai satu-satunya wakil rakyat Libya. Meskipun kenyataannya tidak diakui oleh banyak kelompok. Komentar-komentar baik dari London maupun Paris sejak jatuhnya Tripoli tentang pentingnya keberadaan pasukan penjaga perdamaian di sana adalah sebuah tanda yang buruk. Interverensi Barat akan tetap berlangsung.
Saat ini Libya tidak memiliki tentara sepenuhnya mapan. Libya masih belum memiliki otoritas politik yang tersentralisasi pasca jatuhnya Gaddafi. Negara itu masih berjuang untuk pulih dari perang panjang melawan Gaddafi selama berbulan-bulan. Baik NTC dan maupun pemerintahan transisi yang terbentuk pada November 2011 belum benar-benar berkuasa. Kekuasaan masih berada di tangan milisi bersenjata. Tak satupun yang bisa mewakili kekuatan militer nasional. Masyarakat internasional telah lama memandang NTC sebagai embrio negara Libya di masa depan.
Namun, pada saat ini NTC melihat tantangan yang paling dasar dari pembentukan negara adalah membangun keamanan internal. Terutama membentuk Tentara Nasional Libya . Namun sejauh ini semua upaya untuk mengancam milisi agar tunduk tidak menunjukkan hasil apa-apa.Sehubungan dengan Libya harus diingat bahwa Amerika memandang ketidakstabilan di Libya sebagai kesempatan untuk mendapatkan pengaruh di negara tersebut.
Tunisia
Ketika Ben Ali digulingkan, beberapa pihak terus melakukan kontak dengan Prancis dan Inggris. Kelompok politik ini berusaha untuk menunda pemilihan umum. Dalam pandangan mereka situasinya belum tepat dan pada kenyataanya mereka akan mengumpulkan sangat sedikit suara. Namun pemilu akhirnyat tetap berlangsung. Ketika pemilu berlangsung Oktober 2011, pemilu itu hanya untuk memilih sebuah majelis konstituante. Majelis baru ini memiliki 217 anggota. Hanya 50% dari pemilih yang memberikan suara. Ennahdah sendiri mendapatkan 38% dari total suara.
Dalam usahanya yang menenangkan kekhawatiran Barat, Ketua Partai Ennahdah, Rachid Ghannouchi, menjelaskan penolakannya dengan pendirian Khilafah:.. “Tentu, kami adalah negara bangsa. Kami menginginkan sebuah negara untuk reformasi Tunisia, untuk Negara Tunisia. Adapun isu Khilafah, hal merupakan sebuah isu yang tidak ada dalam kenyataan. Realitas saat ini adalah bahwa kami adalah Negara Tunisia yang menginginkan reformasi, sehingga menjadi sebuah negara untuk rakyat Tunisia, bukan untuk melawan mereka.. ” Ghannouchi menjadi pendukung jangka panjang reformasi Islam dalam meniru model pemerintahan Turki.
Yaman
Setelah tekanan yang intens dan terjadi perdebatan politik, Salah menyetujui kesepakatan GCC pada akhir November 2011. Salah akhirnya menyerahkan kekuasaan kepada Abdrabuh Mansur Hadi,wakil presiden Yaman. Salah berusaha menegosiasikan transfer kekuasaan dengan pihak oposisi sebagai imbalan janji kekebalan dari penuntutan.
Meskipun Saleh akan secara resmi mengundurkan diri sebagai presiden dan pemilu akan berlangsung pada bulan Februari 2012, transisi politik di Yaman sama sekali bukan merupakan perubahan rezim. Kesepakatan itu memberikan Saleh mundur dengan bermartabat. Tapi orang harus bertanya mengapa Saleh menyetujui kesepakatan itu setelah menolak untuk menandatangani perjanjian yang sama pada berbagai kesempatan sebelumnya? Tampaknya Saleh sudah mempersiapkan diri dengan mewariskan rezim yang tetap dibawah kontrol keluarganya.
Pasca Rezim Saleh, rezim itu penuh dengan anggota keluarganya. Anaknya Ahmed Ali Saleh, masih tetap memiliki kontrol atas angkatan bersenjata. Perjuangan di Yaman akan terus berlanjut karena Saleh berupaya untuk mendikte kebijakan Yaman dari balik layar.Meskipun secara resmi ia tidak lagi berkuasa. Yaman adalah contoh lain dimana pribadi mungkin telah berganti tetapi rezim tetap berkuasa. Hal ini membuat bangsa ini tetap tidak stabil.
Masalah terbesar dengan Yaman adalah perjuangan Anglo-Amerika yang sedang berlangsung. Sekretaris Luar Negeri Inggris Deputi Urusan Timur Tengah, Evan Louis ketika bertemu dengan Duta Besar Yaman di London pada tanggal 24 November 2009 menjelaskan mengenai situasi di Yaman: “Apa yang terjadi di Yaman adalah perpanjangan perang (proxy war).”
Amerika telah menggunakan perang melawan teror untuk melemahkan Ali Abdullah Saleh, dengan menuduh Yaman menjadi tempat berkembang bagi Al Qaeeda. Ali Abdullah Saleh mencoba menenangkan Amerika dengan sejumlah jaminan keamanan . Saleh memberikan kesempatan bagi Amerika melakukan serangan pesawat tak berawak di negeri itu.
Revolusi Arab (Arab Spring) dimulai pada bulan Januari 2011. Satu tahun telah berlalu adakah perubahan yang mendasar terjadi di Timur Tengah ? Pergolakan ini berawal dari Tunisia, meluas ke Mesir hingga akhirnya melanda sebagian besar dunia Muslim. Setelah setahun, perubahan rezim hanya terjadi di Libya, sementara di Mesir dan Tunisia, para penguasanya mungkin berganti. Namun rezim lama sebenarnya masih tetap berkuasa. Penyebabnya adalah campur tangan kekuatan asing terutama Amerika. Amerika memanipulasi perubahan di Timur Tengah dengan tujuan menciptakan Timur Tengah Raya baru. Dimana kekuatan lama Eropa memiliki pengaruh yang kecil.
Pemecatan Zine El Abidine Ben Ali bukanlah peristiwa yang terjadi secara acak. Namun merupakan sintesis dari korupsi yang merajalela selama 23 tahun di bawah lindungan Barat. Hal ini diperburuk krisis keuangan global dan program-program struktural pengisap darah IMF. Amerika bersemangat menunggu gejolak yang sama di Aljazair, Yordania, dan negara-negara Teluk. Mereka berharap bisa mengkontrol rezim-rezim itu untuk memberikan kesetiaan kepada Amerika Serikat, setelah sebelumnya negara-negara itu lebih banyak berkorban untuk Inggris dan Perancis.
Mesir
Dalam hal Mesir, Amerika menjinakkan pemberontakan dengan membuang agen-agen yang setia pada Mubarak. Berikutnya menyerahkan kekuasaan kepada militer untuk memerintah Mesir. Perjanjian Terusan Suez dan Pakta bersama Mesir dengan Israel tetap berlaku sehingga banyak mengecewakan masyarakat Mesir. Saat ini Amerika secara terbuka membangkitkan kembali ambisinya untuk menguasai Dunia Arab, sesuatu yang dahulunya dianggap terlampau ambisius dan berbahaya dibicarakan secara terbuka.
Partai Ikhwanul Muslimin dan partai An Nur mendapatkan kemenangan telak. Namun agenda mereka tampaknya tidak akan berbeda dengan para pendahulunya. Walaupun Ikhawanul Muslimin adalah kelompok politik terbesar di Mesir dan kekuatan yang luar biasa, mereka justru menempatkan diri pada posisi yang lemah. Mereka menunjukkan diri bahwa mereka tidak benar-benar menyerukan kepada Islam. Berusaha menenangkan kekhawatiran dunia Barat terhadap Islam di Mesir. Ikhwanul Muslimin menyatakan siap masuk ke dalam pemerintahan dan berkoalisi dengan partai-partai lain. Hilary Clinton mengatakan pemerintahan Obama akan melanjutkan pendekatan dengan melakukan kontak-kontak terbatas dengan Ikhwanul Muslimin yang sudah dilakukan selama sekitar lima atau enam tahun.
Partai Nour tidak berbeda. Juru bicara partai al-Nour dari Salafi, Yousri Hammad dalam sebuah wawancara telepon dengan saluran satelit independen al-Nas menyatakan kesiapan partainya untuk mempertahankan hubungan Mesir dengan Israel. “Mesir adalah penandatangan perjanjian-perjanjian internasional dan hal ini harus dihormati. Ini bukan pendapat pribadi saya atau pendapat dari ketua partai, ini adalah bagian dari kebijakan partai.. ” ujarnya.
Suriah
Bashar Al-Assad terus melakukan pembantaian terhadap rakyatnya sendiri, sementara masyarakat internasional hanya menonton. Respon masyarakat internasional sebagian besar hanyalah retorika. Disaat banyak yang menyerukan pemecatan Assad, Amerika malah menyerukan rezimAssad untuk melakukan reformasi.
Suriah kerap digambarkan sebagai negara yang tidak memperdulikan aturan-aturan internasional dan mendukung militan Hizbullah dan Palestina. Namun, yang luput dari pengawasan umum adalah bahwa pemerintah Amerika selalu memandang Suriah sebagai wakil Amerika yang penting yang dibutuhkan di wilayah tersebut. Suriah telah menjaga kepentingan-kepentingan Amerika, diantaranya tindakan penangkapan dan penyiksaan terhadap rakyatnya sendiri.
Di Irak, Suriah memainkan peran aktif dalam menginfiltrasi kaum Islamis dan memberikan informasi intelijen berharga kepada pasukan koalisi pimpinan AS. Termasuk kepada Pasukan Penangkis Suriah (SDF) di Lebanon yang menjamin perlindungan kepentingan-kepentingan Amerika dibawah Perjanjian Taif tahun 1989.
Amerika telah mendorong oposisi Suriah untuk memelihara dialog dengan rezim Bashar al-Assad. Mempersiapkan road map reformasi dengan tetap mempertahankan Assad. Hilary Clinton menjelaskan sikap Amerika dalam wawancara dengan media Italia Di Mezz’Ora (mei 2011) : “Yang kami tahu adalah bahwa mereka (rezim Assad) masih memiliki kesempatan melakukan agenda reformasi. Tak seorang pun percaya Qaddafi akan melakukan hal itu. Orang percaya ada kemungkinan jalan ke depan bagi Suriah.. Jadi kami akan terus bergabung dengan semua sekutu kami untuk terus untuk menekankan dengan sangat keras pada masalah itu.”
Amerika mencoba menjaga Assad tetap berkuasa, namun sekaligus mendukung pihak oposisi. Sebagai persiapan jika rezim Assad gagal mempertahankan kekuasaannya. Oposisi Suriah secara terbuka mencari intervensi internasional. Dalam pertemuan di Antalya, Turki, pada Juni 2011 oposisi Suriah berkumpul meminta Barat untuk membantu Suriah seperti yang dilakukan di Libya. Amerika juga menyerukan pihak oposisi bersatu sehingga dewan penguasa baru dapat terbentuk. Selanjutnya Amerika akan berhubungan dengan dewan penguasa baru ini, seperti Dewan Transisi Nasional di Libya.
Libya
Setelah menggulingkan Gaddafi, Dewan Transisi Nasional (NTC) telah diterima oleh masyarakat internasional sebagai satu-satunya wakil rakyat Libya. Meskipun kenyataannya tidak diakui oleh banyak kelompok. Komentar-komentar baik dari London maupun Paris sejak jatuhnya Tripoli tentang pentingnya keberadaan pasukan penjaga perdamaian di sana adalah sebuah tanda yang buruk. Interverensi Barat akan tetap berlangsung.
Saat ini Libya tidak memiliki tentara sepenuhnya mapan. Libya masih belum memiliki otoritas politik yang tersentralisasi pasca jatuhnya Gaddafi. Negara itu masih berjuang untuk pulih dari perang panjang melawan Gaddafi selama berbulan-bulan. Baik NTC dan maupun pemerintahan transisi yang terbentuk pada November 2011 belum benar-benar berkuasa. Kekuasaan masih berada di tangan milisi bersenjata. Tak satupun yang bisa mewakili kekuatan militer nasional. Masyarakat internasional telah lama memandang NTC sebagai embrio negara Libya di masa depan.
Namun, pada saat ini NTC melihat tantangan yang paling dasar dari pembentukan negara adalah membangun keamanan internal. Terutama membentuk Tentara Nasional Libya . Namun sejauh ini semua upaya untuk mengancam milisi agar tunduk tidak menunjukkan hasil apa-apa.Sehubungan dengan Libya harus diingat bahwa Amerika memandang ketidakstabilan di Libya sebagai kesempatan untuk mendapatkan pengaruh di negara tersebut.
Tunisia
Ketika Ben Ali digulingkan, beberapa pihak terus melakukan kontak dengan Prancis dan Inggris. Kelompok politik ini berusaha untuk menunda pemilihan umum. Dalam pandangan mereka situasinya belum tepat dan pada kenyataanya mereka akan mengumpulkan sangat sedikit suara. Namun pemilu akhirnyat tetap berlangsung. Ketika pemilu berlangsung Oktober 2011, pemilu itu hanya untuk memilih sebuah majelis konstituante. Majelis baru ini memiliki 217 anggota. Hanya 50% dari pemilih yang memberikan suara. Ennahdah sendiri mendapatkan 38% dari total suara.
Dalam usahanya yang menenangkan kekhawatiran Barat, Ketua Partai Ennahdah, Rachid Ghannouchi, menjelaskan penolakannya dengan pendirian Khilafah:.. “Tentu, kami adalah negara bangsa. Kami menginginkan sebuah negara untuk reformasi Tunisia, untuk Negara Tunisia. Adapun isu Khilafah, hal merupakan sebuah isu yang tidak ada dalam kenyataan. Realitas saat ini adalah bahwa kami adalah Negara Tunisia yang menginginkan reformasi, sehingga menjadi sebuah negara untuk rakyat Tunisia, bukan untuk melawan mereka.. ” Ghannouchi menjadi pendukung jangka panjang reformasi Islam dalam meniru model pemerintahan Turki.
Yaman
Setelah tekanan yang intens dan terjadi perdebatan politik, Salah menyetujui kesepakatan GCC pada akhir November 2011. Salah akhirnya menyerahkan kekuasaan kepada Abdrabuh Mansur Hadi,wakil presiden Yaman. Salah berusaha menegosiasikan transfer kekuasaan dengan pihak oposisi sebagai imbalan janji kekebalan dari penuntutan.
Meskipun Saleh akan secara resmi mengundurkan diri sebagai presiden dan pemilu akan berlangsung pada bulan Februari 2012, transisi politik di Yaman sama sekali bukan merupakan perubahan rezim. Kesepakatan itu memberikan Saleh mundur dengan bermartabat. Tapi orang harus bertanya mengapa Saleh menyetujui kesepakatan itu setelah menolak untuk menandatangani perjanjian yang sama pada berbagai kesempatan sebelumnya? Tampaknya Saleh sudah mempersiapkan diri dengan mewariskan rezim yang tetap dibawah kontrol keluarganya.
Pasca Rezim Saleh, rezim itu penuh dengan anggota keluarganya. Anaknya Ahmed Ali Saleh, masih tetap memiliki kontrol atas angkatan bersenjata. Perjuangan di Yaman akan terus berlanjut karena Saleh berupaya untuk mendikte kebijakan Yaman dari balik layar.Meskipun secara resmi ia tidak lagi berkuasa. Yaman adalah contoh lain dimana pribadi mungkin telah berganti tetapi rezim tetap berkuasa. Hal ini membuat bangsa ini tetap tidak stabil.
Masalah terbesar dengan Yaman adalah perjuangan Anglo-Amerika yang sedang berlangsung. Sekretaris Luar Negeri Inggris Deputi Urusan Timur Tengah, Evan Louis ketika bertemu dengan Duta Besar Yaman di London pada tanggal 24 November 2009 menjelaskan mengenai situasi di Yaman: “Apa yang terjadi di Yaman adalah perpanjangan perang (proxy war).”
Amerika telah menggunakan perang melawan teror untuk melemahkan Ali Abdullah Saleh, dengan menuduh Yaman menjadi tempat berkembang bagi Al Qaeeda. Ali Abdullah Saleh mencoba menenangkan Amerika dengan sejumlah jaminan keamanan . Saleh memberikan kesempatan bagi Amerika melakukan serangan pesawat tak berawak di negeri itu.
Selasa, 14 Februari 2012
Uang yang "Maha Kuasa", itulah salah satu ciri DEMOKRASI
Inilah fakta Negeri yang menggunakan Sistem Kufur Demokrasi. Uang dan kekuasaan punya kaitan erat, teramat erat. Uang digunakan untuk mencari kekuasaan dan jabatan. Setelah itu, kekuasaan dan jabatan digunakan untuk mencari uang.
Dalam pemilihan umum dan pemilihan umum kepada daerah (pemilu kada), rivalitas akhirnya sangat ditentukan oleh uang. Di DKI Jakarta, misalnya, menurut Sekjen Transparency International Indonesia Teten Masduki, calon gubernur yang memakai parpol sebagai kendaraan harus memberikan mahar yang nilainya mencapai Rp600 miliar.
Itu belum termasuk dana pendongkrak popularitas, yang menurut studi Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis, minimal Rp100 miliar.
Jika untuk menjadi kepala daerah saja begitu mahal ongkosnya, apalagi untuk menjadi presiden. Nilainya mungkin bukan lagi miliar, melainkan triliunan rupiah.
Yang terjadi dalam pemilu legislatif setali tiga uang. Untuk menjadi anggota legislatif, para kandidat dari suatu parpol bukan hanya berkompetisi dan saling sikut dengan kandidat dari parpol lain, tetapi juga dengan kandidat dari parpolnya sendiri. Yang berhasil duduk di kursi empuk lembaga legislatif seringkali yang berkantong tebal.
Tidak mengherankan parpol kreatif membuka diri untuk dijadikan kendaraan oleh orang-orang berduit dari luar partai. Sebaliknya, parpol tega-teganya menyingkirkan anggota partai yang punya kapasitas dan loyalitas tetapi berkantong tipis.
Dalam praktik politik seperti itu, uang seolah menjadi yang maha berkuasa. Disebut maha kuasa karena uanglah yang menjadi pangkal dan ujung dalam merebut kekuasaan.
Partai politik yang semestinya menjadi penyusun kebijakan (policy seeking) alhasil berubah peran menjadi pencari kekuasaan (power seeking) dan pemburu uang (money seeking). Akibatnya pun jelas, biaya politik teramat besar bagi seseorang untuk berebut jabatan legislatif maupun eksekutif.
Dengan ongkos politik teramat mahal, pemenang pemilu ataupun pemilu kadang mau tak mau harus menebus investasi yang telah digelontorkan setelah menjabat.
Mengharapkan gaji saja jelas tak cukup, sehingga korupsi menjadi jalan pintas agar balik modal sekaligus menumpuk bekal untuk mempertahankan jabatan periode berikutnya.
Tidak mengherankan jika banyak kepala daerah dan anggota legislatif menjadi terpidana korupsi. Data Kementerian Dalam Negeri menunjukkan selama era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ada 17 gubernur serta 155 bupati/wali kota yang terjerat perkara tersebut. Sementara menurut Indonesia Corruption Watch, sepanjang 2011 tercatat 99 anggota DPRD dan DPR menjadi tersangka korupsi.(mediaindonesia.com, 13/2/2012)
Semua itu tidak patut dibiarkan. jika semua kebobrokan ini tetap dibiarkan maka kerugian yang lebih besar lagi akan terus terus terjadi. dan kembali rakyatlah yang akan menjadi korban. berbagai kebijakan-kebijakan yang mendukung Kapitalisme yang merupakan Induk dari Demokrasi akan diberlakukan. hal itu dikarenakan mereka ingin meruk keuntungan sebesar-besarnya dari kekuasaan tersebut dan yang jelas kepentingan rakyatlah yang akan dikorbankan.
Sudah saatnya kita hentikan semua itu. sesegera mungkin kita berjuang untuk mengganti Sistem yang Rusak ini dan menggantikannya dengan sistem yang telah digariskan oleh yang Menciptakan manusia yang Maha Mengerti akan keadilan terhadap seluruh manusia di muka bumi. itulah Sistem Syariah yang diterapkan secara kaffah melalui institusi Khilafah Islamiyyah yang bersandar pada manhaj Kenabian. (miau ideologis, 14/feb/2012)
Dalam pemilihan umum dan pemilihan umum kepada daerah (pemilu kada), rivalitas akhirnya sangat ditentukan oleh uang. Di DKI Jakarta, misalnya, menurut Sekjen Transparency International Indonesia Teten Masduki, calon gubernur yang memakai parpol sebagai kendaraan harus memberikan mahar yang nilainya mencapai Rp600 miliar.
Itu belum termasuk dana pendongkrak popularitas, yang menurut studi Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis, minimal Rp100 miliar.
Jika untuk menjadi kepala daerah saja begitu mahal ongkosnya, apalagi untuk menjadi presiden. Nilainya mungkin bukan lagi miliar, melainkan triliunan rupiah.
Yang terjadi dalam pemilu legislatif setali tiga uang. Untuk menjadi anggota legislatif, para kandidat dari suatu parpol bukan hanya berkompetisi dan saling sikut dengan kandidat dari parpol lain, tetapi juga dengan kandidat dari parpolnya sendiri. Yang berhasil duduk di kursi empuk lembaga legislatif seringkali yang berkantong tebal.
Tidak mengherankan parpol kreatif membuka diri untuk dijadikan kendaraan oleh orang-orang berduit dari luar partai. Sebaliknya, parpol tega-teganya menyingkirkan anggota partai yang punya kapasitas dan loyalitas tetapi berkantong tipis.
Dalam praktik politik seperti itu, uang seolah menjadi yang maha berkuasa. Disebut maha kuasa karena uanglah yang menjadi pangkal dan ujung dalam merebut kekuasaan.
Partai politik yang semestinya menjadi penyusun kebijakan (policy seeking) alhasil berubah peran menjadi pencari kekuasaan (power seeking) dan pemburu uang (money seeking). Akibatnya pun jelas, biaya politik teramat besar bagi seseorang untuk berebut jabatan legislatif maupun eksekutif.
Dengan ongkos politik teramat mahal, pemenang pemilu ataupun pemilu kadang mau tak mau harus menebus investasi yang telah digelontorkan setelah menjabat.
Mengharapkan gaji saja jelas tak cukup, sehingga korupsi menjadi jalan pintas agar balik modal sekaligus menumpuk bekal untuk mempertahankan jabatan periode berikutnya.
Tidak mengherankan jika banyak kepala daerah dan anggota legislatif menjadi terpidana korupsi. Data Kementerian Dalam Negeri menunjukkan selama era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ada 17 gubernur serta 155 bupati/wali kota yang terjerat perkara tersebut. Sementara menurut Indonesia Corruption Watch, sepanjang 2011 tercatat 99 anggota DPRD dan DPR menjadi tersangka korupsi.(mediaindonesia.com, 13/2/2012)
Semua itu tidak patut dibiarkan. jika semua kebobrokan ini tetap dibiarkan maka kerugian yang lebih besar lagi akan terus terus terjadi. dan kembali rakyatlah yang akan menjadi korban. berbagai kebijakan-kebijakan yang mendukung Kapitalisme yang merupakan Induk dari Demokrasi akan diberlakukan. hal itu dikarenakan mereka ingin meruk keuntungan sebesar-besarnya dari kekuasaan tersebut dan yang jelas kepentingan rakyatlah yang akan dikorbankan.
Sudah saatnya kita hentikan semua itu. sesegera mungkin kita berjuang untuk mengganti Sistem yang Rusak ini dan menggantikannya dengan sistem yang telah digariskan oleh yang Menciptakan manusia yang Maha Mengerti akan keadilan terhadap seluruh manusia di muka bumi. itulah Sistem Syariah yang diterapkan secara kaffah melalui institusi Khilafah Islamiyyah yang bersandar pada manhaj Kenabian. (miau ideologis, 14/feb/2012)
Jumat, 10 Februari 2012
Ritual Tahunan Buruh
Problem buruh tak henti merundung malang, setiap tahun masalah yang sama melanda, demo sudah menjadi ritual dan pekerjaan wajib dalam rangka tawar menawar kontrak dan gaji atau upah. Jelas kekhawatiran dan problem kehidupan masa depan menjadi bayang-bayang yang terus menghantui kaum buruh.
Berbicara demo Buruh/pekerja kontrak, merupakan sebuah ritual tahunan. Serius atau tidak penangannanya akan menjadi sebuah bom waktu, dan penjadi persoalan yang serius. Karena tiap tahun teror Demo ini terus meningkat dampaknya.
Ada 3 kepentingan yang bermain dan terus akan menjadi konflik pada tahun-tahun berikutnya, yaitu karena adanya benturan kepentingan atas:
1. Harapan Buruh/pekerja kontrak.
2. Keinginan Pengusaha
3. Kebijakan Pemerintah.
Berbicara demo Buruh/pekerja kontrak, merupakan sebuah ritual tahunan. Serius atau tidak penangannanya akan menjadi sebuah bom waktu, dan penjadi persoalan yang serius. Karena tiap tahun teror Demo ini terus meningkat dampaknya.
Ada 3 kepentingan yang bermain dan terus akan menjadi konflik pada tahun-tahun berikutnya, yaitu karena adanya benturan kepentingan atas:
1. Harapan Buruh/pekerja kontrak.
2. Keinginan Pengusaha
3. Kebijakan Pemerintah.
Senin, 06 Februari 2012
Tata Hukum dan Perundang-undangan di Negara Khilafah
Oleh Hafidz Abdurrahman
Terjadinya kisruh dalam peraturan perundangan-undangan merupakan bukti yang tidak terbantahkan, bahwa tata hukum di negeri tersebut jelas-jelas amburadul. Fakta yang kemudian menggelitik umat Islam untuk bertanya, apakah kondisi seperti ini juga akan terjadi dalam sistem tata hukum di negara Khilafah?
Khilafah: Negara berdasarkan Akidah Islam
Sebagai negara Islam yang berdasarkan akidah Islam, Khilafah jelas akan menerapkan seluruh hukum Islam di dalam negeri, baik kepada kaum Muslim maupun non-Muslim, kecuali dalam perkara tertentu yang menjadi pengecualian mereka, serta mengemban Islam keluar negeri. Khilafah jelas tidak akan mentolelir adanya satu hukum pun yang bertentangan dengan akidah Islam. Karena itu, negara Khilafah hanya akan menerapkan satu hukum, yaitu hukum Islam, di seluruh wilayah Khilafah.
Namun tidak semua hukum Islam secara otomatis menjadi hukum positif dalam negara, kecuali hukum yang telah diadopsi oleh khalifah sebagai undang-undang. Di sini, hak mengundangkan hukum tersebut hanya ada pada khalifah. Bukan parlemen atau majelis umat. Khalifahlah yang mempunyai hak untuk mengadopsi hukum Islam tertentu sebagai undang-undang negara. Khalifah pula yang mempunyai hak untuk mengamandemen pemberlakuan hukum tertentu. Jika ada pasal atau hukum dalam undang-undang yang dianggap menyalahi hukum Islam, rakyat juga bisa mengajukan uji materi kepada Mahkamah Madzalim. Jika terbukti menyimpang, maka Mahkamah Madzalim berhak untuk membatalkan hukum tersebut.
Satu Hukum dan UU untuk Satu Negara
Karena negara Khilafah adalah negara kesatuan (wihdah), bukan federasi (ittihad) atau otonom (mustaqil), maka seluruh hukum yang berlaku di seluruh wilayah Khilafah adalah hukum yang sama. Maka, tidak ada peraturan yang hanya berlaku di daerah tertentu, sedangkan di daerah lain tidak, sebagaimana dalam sistem federasi atau otonomi. Sebab, Khilafah menganut sistem sentralisasi pemerintahan (markaziyyatu al-hukm), meski dalam urusan administrasi dan birokrasi bersifat desentralisasi (allamarkaziyyatu al-idarah).
Hukum yang diadopsi oleh Khalifah menjadi undang-undang itu berlaku sama untuk seluruh wilayah. Undang-undang tersebut meliputi hukum syariah (ahkam syar’iyyah), dan hukum administratif (ahkam ijra’iyyah). Meski administrasi dan birokasi bersifat desentralistik, tidak berarti masing-masing daerah berhak mengeluarkan peraturan sendiri-sendiri. Karena otoritas membuat dan mengundangkan peraturan hanya ada di tangan khalifah. Bukan pimpinan daerah, setingkat gubenur, bupati, walikota, camat atau lurah.
Karena itu, tidak akan terjadi benturan hukum dan perundang-undangan, baik antara pusat dan daerah, maupun antara daerah dengan daerah yang lain. Demikian juga antara satu undang-undang dengan undang-undang yang lain. Karena yang membuat satu orang, yaitu Khalifah. Ini merupakan konsekuensi dari hak mengadopsi hukum menjadi undang-undang di tangan Khalifah. Juga konsekuensi dari bentuk negara kesatuan, bukan federasi maupun otonomi.
Jika hukum tersebut telah diundangkan, maka seluruh rakyat negara Khilafah di wilayah manapun mereka berada, wajib menaati hukum yang berlaku. Mereka mempunyai kedudukan yang sama di muka hukum. Tidak ada hak istimewa, baik bagi Khalifah, pembantu Khalifah, maupun pejabat yang lainnya. Semuanya akan diperlakukan sama, sebagai warga negara, tanpa membedakan suku, bangsa, agama, ras maupun yang lain.
Satu Hukum Satu Keputusan
Selain itu, negara Khilafah tidak mengenal pengadilan banding. Sebab, konsekuensi dari sifat ilzam (mengikat dan memaksa) itu meniscayakan keputusan pengadilan tidak bisa diganggu gugat, apalagi dibatalkan hatta oleh Khalifah sekalipun.Khalifah ‘Umar pernah menjatuhkan keputusan untuk orang yang menunt hak waris, dengan masalah yang sama untuk dua orang pada waktu yang berbeda. Orang yang pertama datang diputuskan dengan keputusan A, sedangkan orang kedua datang dengan masalah yang sama, tetapi diputuskan dengan keputusan B. Ketika orang pertama merasa tidak beruntung, dibanding dengan keputusan yang diterima orang kedua, padahal masalahnya sama, dia pun datang kepada ‘Umar untuk mengajukan banding. ‘Umar dengan tegas menyatakan, Tilka ‘ala ma qanaina, wa hadzihi ‘ala ma naqdhi (Itu sesuai dengan apa yang telah kami putuskan, dan ini juga sesuai dengan yang baru kami putuskan). Akhirnya, keputusan tetap berlaku seperti sedia kala, tidak ada perubahan.
Selain itu, dalam kaidah ushul juga dinyatakan, al-ijtihad la yunqadhu bi al-ijtihad (ijtihad tidak bisa dibatalkan dengan ijtihad). Karena itu, tiap hukum yang sudah diputuskan oleh pengadilan, maka hukum tersebut tidak bisa dibatalkan, hatta oleh pengadilan dan qadhi yang sama. Terlebih dibatalkan oleh pengadilan dan qadhi lain. Dari sini jelas, bahwa Islam tidak mengenal pengadilan rendah, atau tinggi. Islam juga tidak mengenal pengadilan banding. Islam juga tidak mengenal peninjauan kembali (PK).
Dengan demikian, Khilafah menjamin kepastian hukum. Karena hukum yang dilaksanakan hanya satu, yaitu hukum Islam. Hukum yang diterapkan juga sama untuk seluruh warga negara. Hukum yang diputuskan juga tidak bisa diganggu gugat, apalagi dibatalkan.
Maka, kisruh lahan yang terjadi akibat adanya keputusan yang berbeda di antara dua lembaga hukum, seperti pengadilan daerah dengan Mahkamah Agung, atau tabrakan hukum antara produk hukum yang lebih tinggi dan produk hukum di bawahnya, seperti perda dengan keppres, atau keputusan Mahkamah Agung dengan keputusan Kemendagri dan atau Keppres, semuanya ini tidak akan pernah terjadi dalam wilayah hukum negara Khilafah.
Hukum Islam bagi Ahli Dzimmah
Semuanya tadi merupakan prinsip umum yang berlaku untuk seluruh warga negara Khilafah, tanpa membedakan Muslim maupun non-Muslim. Namun, karena untuk orang non-Muslim ada pengecualian dalam: (1) akidah, dimana mereka tetap dibiarkan memeluk akidah mereka; orang Kristen tetap memeluk Kristen, orang Yahudi tetap memeluk Yahudi, dan begitu seterusnya; (2) ibadat, dalam hal ini mereka juga tetap diberikan kebebasan untuk beribadat sesuai dengan agamanya, bahkan tempat peribadatan mereka juga tetap dibiarkan, tidak dilarang apalagi dirusak; (3) kawin cerai, dimana mereka bisa menikah dan cerai sesuai dengan aturan agama mereka; (4) makan, minum dan pakaian, dimana mereka diperlakukan sesuai dengan ketentuan agama mereka.
Karena itu, khusus dalam keempat poin di atas, negara memberikan toleransi kepada mereka, meski tetap diatur sedemikian rupa sehingga tidak merusak lingkungan kaum Muslim. Misalnya, dalam akad dzimmah, ‘Umar pernah menerapkan syarat, agar orang non-Muslim tidak merehab gereja yang rusak, tidak membunyikan lonceng hingga terdengar oleh kaum Muslim, tidak membaca Injil di hadapan mereka, tidak menyanyikan lagu pujian agama mereka di depan kaum Muslim, tidak pula menampakkan salib dan identitas agama mereka di depan kaum Muslim. Pakaiannya pun sengaja dibedakan, baik kaum pria maupun wanitanya, untuk memudahkan praktik hukum terhadap mereka. Semuanya ini merupakan pengaturan yang bisa, dan pernah dijalankan oleh negara.
Di masa ‘Abbasiyah bahkan pernah dibentuk pengadilan khusus untuk mengadili kasus-kasus orang non-Muslim, karena menyangkut hukum-hukum khusus yang terkait dengan akidah dan peribadatan mereka. Namun, jika menyangkut pelaksanaan hukum Islam secara umum, mereka tetap diperlakukan sama, dan kalau mereka harus diadili, mereka pun diadili di depan mahkamah khushumat, atau diadili oleh hakim hisbah, sesuai dengan wilayah pelanggaran yang mereka lakukan.
Apakah dengan begitu bisa disimpulkan, bahwa ada hukum lain yang diterapkan dalam wilayah Negara Khilafah? Jawabnya, tidak. Karena, hukum-hukum yang diterapkan untuk orang non-Muslim itu juga merupakan hukum Islam, dimana hukum Islam tersebut memberikan pengecualian kepada mereka. Wallahu a’lam.
Terjadinya kisruh dalam peraturan perundangan-undangan merupakan bukti yang tidak terbantahkan, bahwa tata hukum di negeri tersebut jelas-jelas amburadul. Fakta yang kemudian menggelitik umat Islam untuk bertanya, apakah kondisi seperti ini juga akan terjadi dalam sistem tata hukum di negara Khilafah?
Khilafah: Negara berdasarkan Akidah Islam
Sebagai negara Islam yang berdasarkan akidah Islam, Khilafah jelas akan menerapkan seluruh hukum Islam di dalam negeri, baik kepada kaum Muslim maupun non-Muslim, kecuali dalam perkara tertentu yang menjadi pengecualian mereka, serta mengemban Islam keluar negeri. Khilafah jelas tidak akan mentolelir adanya satu hukum pun yang bertentangan dengan akidah Islam. Karena itu, negara Khilafah hanya akan menerapkan satu hukum, yaitu hukum Islam, di seluruh wilayah Khilafah.
Namun tidak semua hukum Islam secara otomatis menjadi hukum positif dalam negara, kecuali hukum yang telah diadopsi oleh khalifah sebagai undang-undang. Di sini, hak mengundangkan hukum tersebut hanya ada pada khalifah. Bukan parlemen atau majelis umat. Khalifahlah yang mempunyai hak untuk mengadopsi hukum Islam tertentu sebagai undang-undang negara. Khalifah pula yang mempunyai hak untuk mengamandemen pemberlakuan hukum tertentu. Jika ada pasal atau hukum dalam undang-undang yang dianggap menyalahi hukum Islam, rakyat juga bisa mengajukan uji materi kepada Mahkamah Madzalim. Jika terbukti menyimpang, maka Mahkamah Madzalim berhak untuk membatalkan hukum tersebut.
Satu Hukum dan UU untuk Satu Negara
Karena negara Khilafah adalah negara kesatuan (wihdah), bukan federasi (ittihad) atau otonom (mustaqil), maka seluruh hukum yang berlaku di seluruh wilayah Khilafah adalah hukum yang sama. Maka, tidak ada peraturan yang hanya berlaku di daerah tertentu, sedangkan di daerah lain tidak, sebagaimana dalam sistem federasi atau otonomi. Sebab, Khilafah menganut sistem sentralisasi pemerintahan (markaziyyatu al-hukm), meski dalam urusan administrasi dan birokrasi bersifat desentralisasi (allamarkaziyyatu al-idarah).
Hukum yang diadopsi oleh Khalifah menjadi undang-undang itu berlaku sama untuk seluruh wilayah. Undang-undang tersebut meliputi hukum syariah (ahkam syar’iyyah), dan hukum administratif (ahkam ijra’iyyah). Meski administrasi dan birokasi bersifat desentralistik, tidak berarti masing-masing daerah berhak mengeluarkan peraturan sendiri-sendiri. Karena otoritas membuat dan mengundangkan peraturan hanya ada di tangan khalifah. Bukan pimpinan daerah, setingkat gubenur, bupati, walikota, camat atau lurah.
Karena itu, tidak akan terjadi benturan hukum dan perundang-undangan, baik antara pusat dan daerah, maupun antara daerah dengan daerah yang lain. Demikian juga antara satu undang-undang dengan undang-undang yang lain. Karena yang membuat satu orang, yaitu Khalifah. Ini merupakan konsekuensi dari hak mengadopsi hukum menjadi undang-undang di tangan Khalifah. Juga konsekuensi dari bentuk negara kesatuan, bukan federasi maupun otonomi.
Jika hukum tersebut telah diundangkan, maka seluruh rakyat negara Khilafah di wilayah manapun mereka berada, wajib menaati hukum yang berlaku. Mereka mempunyai kedudukan yang sama di muka hukum. Tidak ada hak istimewa, baik bagi Khalifah, pembantu Khalifah, maupun pejabat yang lainnya. Semuanya akan diperlakukan sama, sebagai warga negara, tanpa membedakan suku, bangsa, agama, ras maupun yang lain.
Satu Hukum Satu Keputusan
Selain itu, negara Khilafah tidak mengenal pengadilan banding. Sebab, konsekuensi dari sifat ilzam (mengikat dan memaksa) itu meniscayakan keputusan pengadilan tidak bisa diganggu gugat, apalagi dibatalkan hatta oleh Khalifah sekalipun.Khalifah ‘Umar pernah menjatuhkan keputusan untuk orang yang menunt hak waris, dengan masalah yang sama untuk dua orang pada waktu yang berbeda. Orang yang pertama datang diputuskan dengan keputusan A, sedangkan orang kedua datang dengan masalah yang sama, tetapi diputuskan dengan keputusan B. Ketika orang pertama merasa tidak beruntung, dibanding dengan keputusan yang diterima orang kedua, padahal masalahnya sama, dia pun datang kepada ‘Umar untuk mengajukan banding. ‘Umar dengan tegas menyatakan, Tilka ‘ala ma qanaina, wa hadzihi ‘ala ma naqdhi (Itu sesuai dengan apa yang telah kami putuskan, dan ini juga sesuai dengan yang baru kami putuskan). Akhirnya, keputusan tetap berlaku seperti sedia kala, tidak ada perubahan.
Selain itu, dalam kaidah ushul juga dinyatakan, al-ijtihad la yunqadhu bi al-ijtihad (ijtihad tidak bisa dibatalkan dengan ijtihad). Karena itu, tiap hukum yang sudah diputuskan oleh pengadilan, maka hukum tersebut tidak bisa dibatalkan, hatta oleh pengadilan dan qadhi yang sama. Terlebih dibatalkan oleh pengadilan dan qadhi lain. Dari sini jelas, bahwa Islam tidak mengenal pengadilan rendah, atau tinggi. Islam juga tidak mengenal pengadilan banding. Islam juga tidak mengenal peninjauan kembali (PK).
Dengan demikian, Khilafah menjamin kepastian hukum. Karena hukum yang dilaksanakan hanya satu, yaitu hukum Islam. Hukum yang diterapkan juga sama untuk seluruh warga negara. Hukum yang diputuskan juga tidak bisa diganggu gugat, apalagi dibatalkan.
Maka, kisruh lahan yang terjadi akibat adanya keputusan yang berbeda di antara dua lembaga hukum, seperti pengadilan daerah dengan Mahkamah Agung, atau tabrakan hukum antara produk hukum yang lebih tinggi dan produk hukum di bawahnya, seperti perda dengan keppres, atau keputusan Mahkamah Agung dengan keputusan Kemendagri dan atau Keppres, semuanya ini tidak akan pernah terjadi dalam wilayah hukum negara Khilafah.
Hukum Islam bagi Ahli Dzimmah
Semuanya tadi merupakan prinsip umum yang berlaku untuk seluruh warga negara Khilafah, tanpa membedakan Muslim maupun non-Muslim. Namun, karena untuk orang non-Muslim ada pengecualian dalam: (1) akidah, dimana mereka tetap dibiarkan memeluk akidah mereka; orang Kristen tetap memeluk Kristen, orang Yahudi tetap memeluk Yahudi, dan begitu seterusnya; (2) ibadat, dalam hal ini mereka juga tetap diberikan kebebasan untuk beribadat sesuai dengan agamanya, bahkan tempat peribadatan mereka juga tetap dibiarkan, tidak dilarang apalagi dirusak; (3) kawin cerai, dimana mereka bisa menikah dan cerai sesuai dengan aturan agama mereka; (4) makan, minum dan pakaian, dimana mereka diperlakukan sesuai dengan ketentuan agama mereka.
Karena itu, khusus dalam keempat poin di atas, negara memberikan toleransi kepada mereka, meski tetap diatur sedemikian rupa sehingga tidak merusak lingkungan kaum Muslim. Misalnya, dalam akad dzimmah, ‘Umar pernah menerapkan syarat, agar orang non-Muslim tidak merehab gereja yang rusak, tidak membunyikan lonceng hingga terdengar oleh kaum Muslim, tidak membaca Injil di hadapan mereka, tidak menyanyikan lagu pujian agama mereka di depan kaum Muslim, tidak pula menampakkan salib dan identitas agama mereka di depan kaum Muslim. Pakaiannya pun sengaja dibedakan, baik kaum pria maupun wanitanya, untuk memudahkan praktik hukum terhadap mereka. Semuanya ini merupakan pengaturan yang bisa, dan pernah dijalankan oleh negara.
Di masa ‘Abbasiyah bahkan pernah dibentuk pengadilan khusus untuk mengadili kasus-kasus orang non-Muslim, karena menyangkut hukum-hukum khusus yang terkait dengan akidah dan peribadatan mereka. Namun, jika menyangkut pelaksanaan hukum Islam secara umum, mereka tetap diperlakukan sama, dan kalau mereka harus diadili, mereka pun diadili di depan mahkamah khushumat, atau diadili oleh hakim hisbah, sesuai dengan wilayah pelanggaran yang mereka lakukan.
Apakah dengan begitu bisa disimpulkan, bahwa ada hukum lain yang diterapkan dalam wilayah Negara Khilafah? Jawabnya, tidak. Karena, hukum-hukum yang diterapkan untuk orang non-Muslim itu juga merupakan hukum Islam, dimana hukum Islam tersebut memberikan pengecualian kepada mereka. Wallahu a’lam.
Minggu, 05 Februari 2012
Maulid Nabi SAW: Simbol Kelahiran Masyarakat Baru
Tak terasa, kita kembali ada di bulan Rabiul Awwal, yang diyakini oleh kaum Mjuslim sebagai bulan kelahiran Baginda Rasulullah saw. Seperti biasa, Peringatan Hari Kelahiran Baginda Rasulullah saw. Muhammad—atau dikenal dengan Peringatan Maulid Nabi saw.—ramai diselenggarakan oleh kaum Muslim di berbagai tempat, khususnya di Tanah Air.
Namun demikian, tanpa mengurangi sikap pengagungan kita terhadap Baginda Rasulullah saw., kelahiran seorang manusia—termasuk beliau—sebetulnya merupakan perkara yang biasa saja. Bagaimana tidak? Setiap hari, setiap jam, bahkan setiap menit dunia ini tidak henti-hentinya menyambut kelahiran bayi-bayi manusia yang baru. Karena perkara yang biasa-biasa saja, tidak terasa bahwa dunia ini telah dihuni lebih dari 6 miliar jiwa.
Karena itulah, barangkali, Nabi kita, Rasulullah Muhammad saw. tidak menjadikan hari kelahirannya sebagai hari yang istimewa, atau sebagai hari yang setiap tahunnya harus diperingati. Keluarga beliau, baik pada masa Jahiliah maupun pada masa Islam, juga tidak pernah memperingatinya. Padahal beliau adalah orang yang sangat dicintai oleh keluarganya. Mengapa? Sebab, dalam tradisi masyarakat Arab, baik pada zaman Jahiliah maupun zaman Islam, peringatan atas hari kelahiran seseorang tidaklah dikenal.
Bagaimana dengan para Sahabat beliau? Kita tahu, tidak ada seorang pun yang cintanya kepada Nabi Muhammad saw. melebihi kecintaan para Sahabat kepada beliau. Dengan kata lain, di dunia ini, para Sahabatlah yang paling mencintai Nabi Muhammad saw.
Namun demikian, peringatan atas kelahiran (maulid) Nabi Muhammad saw. juga tidak pernah dilakukan para Sahabat beliau itu; meskipun dengan alasan untuk mengagungkan beliau. Wajar jika dalam Sirah Nabi saw. dan dalam sejarah otentik para sahabat beliau, sangat sulit ditemukan fragmen Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw., baik yang dilakukan oleh Nabi saw. sendiri maupun oleh para Sahabat beliau.
Bahkan ketika Khalifah Umar bin al-Khaththab bermusyawarah mengenai sesuai yang sangat penting dengan para sahabat, yakni mengenai perlunya penanggalan Islam, mereka hanya mengemukakan dua pilihan, yakni memulai tahun Islam dari sejak diutusnya Muhammad sebagai rasul atau sejak beliau hijrah ke Madinah. Akhirnya, pilihan Khalifah Umar—yang disepakati para sahabat—jatuh pada yang terakhir. Khalifah Umar beralasan, Hijrah adalah pembeda antara yang haq dan yang batil. (Ath-Thabari, Târîkh ath-Thabari, 2/3). Saat itu tidak ada seorang sahabat pun yang mengusulkan tahun Islam dimulai sejak lahirnya Nabi Muhammad saw.
Demikian pula ketika mereka bermusyawarah tentang dari bulan apa tahun Hijrah dimulai; mereka pun hanya mengajukan dua alternatif, yakni bulan Ramadhan dan bulan Muharram. Pilihan akhirnya jatuh pada yang terakhir, karena bulan Muharram adalah bulan ketika orang-orang kembali dari menunaikan ibadah haji, dan Muharram adalah salah satu bulan suci. (Ath-Thabari, ibid.). Saat itu pun tidak ada yang mengusulkan bulan Rabiul Awwal, bulan lahirnya Rasulullah saw., sebagai awal bulan tahun Hijrah.
Realitas tersebut, paling tidak, menunjukkan bahwa para sahabat sendiri tidak terlalu ‘memandang penting’ momentum hari dan tahun kelahiran Nabi Muhammad saw., sebagaimana orang-orang Kristen memandang penting hari dan tahun kelahiran Isa al-Masih, yang kemudian mereka peringati sebagai Hari Natal.
Itu membuktikan bahwa para sahabat bukanlah orang-orang yang biasa mengkultuskan Nabi Muhammad saw., sebagaimana orang-orang Nasrani mengkultuskan Isa as. Hal itu karena mereka tentu sangat memahami benar sabda Nabi Muhammad saw. sendiri yang pernah menyatakan:
لاَ تُطْرُوُنِى كمَا أَطْرَتِ النَصَارَى إِبْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ
Janganlah kalian mengkultuskan aku sebagaimana orang-orang Nasrani mengkultuskan putra Maryam (Isa as.), karena sesungguhnya aku hanya sekadar seorang hamba-Nya. (HR al-Bukhari dan Ahmad).
Memang, sebagaimana manusia lainnya, secara fisik atau lahiriah, tidak ada yang istimewa pada diri Muhammad saw. sebagai manusia, selain beliau adalah seorang Arab dari keturunan yang dimuliakan di tengah-tengah kaumnya. Wajarlah jika Allah Swt., melalui lisan beliau sendiri, berfirman:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ…
Katakanlah, “Sungguh, aku ini manusia biasa seperti kalian…” (QS Fushshilat [41]: 6).
Lalu mengapa setiap tahun kaum Muslim saat ini begitu antusias memperingati Maulid Nabi Muhammad saw.; sesuatu yang bahkan tidak dilakukan oleh Nabi saw. sendiri dan para sahabat beliau?
Berbagai jawaban atau alasan dari mereka yang memperingati Maulid Nabi Muhammad saw. biasanya bermuara pada kesimpulan, bahwa Muhammad saw. memang manusia biasa, tetapi beliau adalah manusia teragung, karena beliau adalah nabi dan rasul yang telah diberi wahyu; beliau adalah pembawa risalah sekaligus penebar rahmat bagi seluruh alam. Karena itu, kelahirannya sangat layak diperingati.
Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw. sendiri tidak lain merupakan sebuah sikap pengagungan dan penghormatan (ta‘zhîman wa takrîman) terhadap beliau dalam kapasitasnya sebagai nabi dan rasul; sebagai pembawa risalah sekaligus penebar rahmat bagi seluruh alam.
Walhasil, jika memang demikian kenyataannya, kita dapat memahami makna Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw. yang diselenggarakan setiap tahun oleh sebagian kaum Muslim saat ini, yakni sebagai bentuk pengagungan dan penghormatan beliau dalam kapasitasnya sebagai nabi dan rasul Allah.
Itulah yang menjadikan beliau sangat istimewa dibandingkan dengan manusia yang lain. Keistimewaan beliau tidak lain karena beliau diberi wahyu oleh Allah Swt., yang tidak diberikan kepada kebanyakan manusia lainnya. Allah Swt. berfirman (masih dalam surah dan ayat yang sama):
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ
Katakanlah, “Sungguh, aku ini manusia biasa seperti kalian. (Hanya saja) aku telah diberi wahyu, bahwa Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu, tetaplah kalian istiqamah pada jalan yang menuju kepada-Nya. (QS Fushshilat [41]: 6).
Makna Kelahiran Muhammad saw.
Kelahiran Muhammad saw. tentu tidaklah bermakna apa-apa seandainya beliau tidak diangkat sebagai nabi dan rasul Allah, yang bertugas untuk menyampaikan wahyu-Nya kepada umat manusia agar mereka mau diatur dengan aturan apa saja yang telah diwahyukan-Nya kepada Nabi-Nya itu.
Karena itu, Peringatan Maulid Nabi saw. pun tidak akan bermakna apa-apa—selain sebagai aktivitas ritual dan rutinitas belaka—jika kaum Muslim tidak mau diatur oleh wahyu Allah, yakni al-Quran dan as-Sunnah, yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad saw. ke tengah-tengah mereka. Padahal, Allah Swt. telah berfirman:
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
Apa saja yang diberikan Rasul kepada kalian, terimalah; apa saja yang dilarangnya atas kalian, tinggalkanlah. (QS al-Hasyr [59]: 7).
Lebih dari itu, pengagungan dan penghormatan kepada Rasulullah Muhammad saw., yang antara lain diekspresikan dengan Peringatan Maulid Nabi saw., sejatinya merupakan perwujudan kecintaan kepada Allah, karena Muhammad saw. adalah kekasih-Nya.
Jika memang demikian kenyataannya maka kaum Muslim wajib mengikuti sekaligus meneladani Nabi Muhammad saw. dalam seluruh aspek kehidupannya, bukan sekadar dalam aspek ibadah ritual dan akhlaknya saja. Allah Swt. berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي
Katakanlah, “Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku.” (QS Ali Imran [3]: 31).
Dalam ayat di atas, frasa fattabi‘ûnî (ikutilah aku) bermakna umum, karena memang tidak ada indikasi adanya pengkhususan (takhshîsh), pembatasan (taqyîd), atau penekanan (tahsyîr) hanya pada aspek-aspek tertentu yang dipraktikkan Nabi saw.
Di samping itu, Allah Swt. juga berfirman:
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
Sesungguhnya engkau berada di atas khuluq yang agung. (QS al-Qalam [68]: 4).
Di dalam tafsirnya, Imam Jalalin menyatakan bahwa kata khuluq dalam ayat di atas bermakna dîn (agama, jalan hidup) (Lihat: Jalalain, Tafsîr Jalâlayn, 1/758). Dengan demikian, ayat di atas bisa dimaknai: Sesungguhnya engkau berada di atas agama/jalan hidup yang agung.
Tegasnya, menurut Imam Ibn Katsir, dengan mengutip pendapat Ibn Abbas, ayat itu bermakna: Sesungguhnya engkau berada di atas agama/jalan hidup yang agung, yakni Islam (Lihat: Ibn Katsir, Tafsîr Ibn Katsîr, 4/403). Ibn Katsir lalu mengaitkan ayat ini dengan sebuah hadis yang meriwayatkan bahwa Aisyah istri Nabi saw. pernah ditanya oleh Sa’ad bin Hisyam mengenai akhlak Nabi saw. Aisyah lalu menjawab:
كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ
Sesungguhnya akhlaknya adalah al-Quran. (HR Ahmad).
Dengan demikian, berdasarkan ayat al-Quran dan hadis penuturan Aisyah di atas, dapat disimpulkan bahwa meneladani Nabi Muhammad saw. hakikatnya adalah dengan cara mengamalkan seluruh isi al-Quran, yang tidak hanya menyangkut ibadah ritual dan akhlak saja, tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan manusia.
Artinya, kaum Muslim dituntut untuk mengikuti dan meneladani Nabi Muhammad saw. dalam seluruh perilakunya: mulai dari akidah dan ibadahnya; makanan/minuman, pakaian, dan akhlaknya; hingga berbagai muamalah yang dilakukannya seperti dalam bidang ekonomi, sosial, politik, pendidikan, hukum, dan pemerintahan.
Sebab, Rasulullah saw. sendiri tidak hanya mengajari kita bagaimana mengucapkan syahadat serta melaksanakan shalat, shaum, zakat, dan haji secara benar; tetapi juga mengajarkan bagaimana mencari nafkah, melakukan transaksi ekonomi, menjalani kehidupan sosial, menjalankan pendidikan, melaksanakan aktivitas politik (pengaturan masyarakat), menerapkan sanksi-sanksi hukum (‘uqûbat) bagi pelaku kriminal, dan mengatur pemerintahan/negara secara benar. Lalu, apakah memang Rasulullah saw. hanya layak diikuti dan diteladani dalam masalah ibadah ritual dan akhlaknya saja, tidak dalam perkara-perkara lainnya? Tentu saja tidak!
Jika demikian, mengapa saat ini kita tidak mau meninggalkan riba dan transaksi-transaksi batil yang dibuat oleh sistem Kapitalisme sekular; tidak mau mengatur urusan sosial dengan aturan Islam; tidak mau menjalankan pendidikan dan politik Islam; tidak mau menerapkan sanksi-sanksi hukum Islam (seperti qishâsh, potong tangan bagi pencuri, rajam bagi pezina, cambuk bagi pemabuk, hukuman mati bagi yang murtad, dll); juga tidak mau mengatur pemerintahan/negara dengan aturan-aturan Islam? Bukankah semua itu justru pernah dipraktikan oleh Rasulullah saw. selama bertahun-tahun di Madinah dalam kedudukannya sebagai kepala Negara Islam (Daulah Islamiyah)?
Kelahiran Nabi saw.: Kelahiran Masyarakat Baru
Sebagaimana diketahui, masa sebelum Islam adalah masa kegelapan, dan masyarakat sebelum Islam adalah masyarakat Jahiliah. Akan tetapi, sejak kelahiran (maulid) Muhammad saw. di tengah-tengah mereka, yang kemudian diangkat oleh Allah sebagai nabi dan rasul pembawa risalah Islam ke tengah-tengah mereka, dalam waktu hanya 23 tahun, masa kegelapan mereka berakhir digantikan dengan masa ‘cahaya’; masyarakat Jahiliah terkubur digantikan dengan lahirnya masyarakat baru, yakni masyarakat Islam. Sejak itu, Nabi Muhammad saw. adalah pemimpin di segala bidang. Ia memimpin umat di masjid, di pemerintahan, bahkan di medan pertempuran.
Karena itu, kita bisa menyimpulkan bahwa makna terpenting dari kelahiran Nabi Muhammad saw. adalah keberadaannya yang telah mampu membidani kelahiran masyarakat baru, yakni masyarakat Islam; sebuah masyarakat yang tatanan kehidupannya diatur seluruhnya oleh aturan-aturan Islam.
Renungan
Walhasil, Peringatan Maulid Nabi saw. sejatinya dijadikan momentum bagi kaum Muslim untuk terus berusaha melahirkan kembali masyarakat baru, yakni masyarakat Islam, sebagaimana yang pernah dibidani kelahirannya oleh Rasulullah saw. di Madinah. Sebab, siapapun tahu, masyarakat sekarang tidak ada bedanya dengan masyarakat Arab pra-Islam, yakni sama-sama Jahiliah. Sebagaimana masa Jahiliah dulu, saat ini pun aturan-aturan Islam tidak diterapkan.
Karena aturan-aturan Islam—sebagaimana aturan-aturan lain—tidak mungkin tegak tanpa adanya negara, maka menegakkan negara yang akan memberlakukan aturan-aturan Islam adalah keniscayaan. Inilah juga yang disadari benar oleh Rasulullah saw. sejak awal dakwahnya. Rasulullah saw. tidak hanya menyeru manusia agar beribadah secara ritual kepada Allah dan berakhlak baik, tetapi juga menyeru mereka seluruhnya agar menerapkan semua aturan-aturan Allah dalam seluruh aspek kehidupan mereka.
Sejak awal, bahkan para pemuka bangsa Arab saat itu menyadari, bahwa secara politik dakwah Rasulullah saw. akan mengancam kedudukan dan kekuasaan mereka. Itulah yang menjadi alasan orang-orang seperti Abu Jahal, Abu Lahab, Walid bin Mughirah, dan para pemuka bangsa Arab lainnya sangat keras menentang dakwah Rasulullah saw. Akan tetapi, semua penentangan itu akhirnya dapat diatasi oleh Rasulullah saw. sampai beliau berhasil menegakkan kekuasaannya di Madinah sekaligus melibas kekuasaan mereka.
Walhasil, dakwah seperti itulah yang juga harus dilakukan oleh kaum Muslim saat ini, yakni dakwah untuk menegakkan kekuasaan Islam yang akan memberlakukan aturan-aturan Islam, sekaligus yang akan meruntuhkan kekuasaan rezim kafir yang telah memberlakukan aturan-aturan kufur selama ini. Hanya dengan itulah Peringatan Maulid Nabi saw. yang diselenggarakan setiap tahun akan jauh lebih bermakna. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. [Arief B. Iskandar ,redaktur Al wa’ie]
Namun demikian, tanpa mengurangi sikap pengagungan kita terhadap Baginda Rasulullah saw., kelahiran seorang manusia—termasuk beliau—sebetulnya merupakan perkara yang biasa saja. Bagaimana tidak? Setiap hari, setiap jam, bahkan setiap menit dunia ini tidak henti-hentinya menyambut kelahiran bayi-bayi manusia yang baru. Karena perkara yang biasa-biasa saja, tidak terasa bahwa dunia ini telah dihuni lebih dari 6 miliar jiwa.
Karena itulah, barangkali, Nabi kita, Rasulullah Muhammad saw. tidak menjadikan hari kelahirannya sebagai hari yang istimewa, atau sebagai hari yang setiap tahunnya harus diperingati. Keluarga beliau, baik pada masa Jahiliah maupun pada masa Islam, juga tidak pernah memperingatinya. Padahal beliau adalah orang yang sangat dicintai oleh keluarganya. Mengapa? Sebab, dalam tradisi masyarakat Arab, baik pada zaman Jahiliah maupun zaman Islam, peringatan atas hari kelahiran seseorang tidaklah dikenal.
Bagaimana dengan para Sahabat beliau? Kita tahu, tidak ada seorang pun yang cintanya kepada Nabi Muhammad saw. melebihi kecintaan para Sahabat kepada beliau. Dengan kata lain, di dunia ini, para Sahabatlah yang paling mencintai Nabi Muhammad saw.
Namun demikian, peringatan atas kelahiran (maulid) Nabi Muhammad saw. juga tidak pernah dilakukan para Sahabat beliau itu; meskipun dengan alasan untuk mengagungkan beliau. Wajar jika dalam Sirah Nabi saw. dan dalam sejarah otentik para sahabat beliau, sangat sulit ditemukan fragmen Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw., baik yang dilakukan oleh Nabi saw. sendiri maupun oleh para Sahabat beliau.
Bahkan ketika Khalifah Umar bin al-Khaththab bermusyawarah mengenai sesuai yang sangat penting dengan para sahabat, yakni mengenai perlunya penanggalan Islam, mereka hanya mengemukakan dua pilihan, yakni memulai tahun Islam dari sejak diutusnya Muhammad sebagai rasul atau sejak beliau hijrah ke Madinah. Akhirnya, pilihan Khalifah Umar—yang disepakati para sahabat—jatuh pada yang terakhir. Khalifah Umar beralasan, Hijrah adalah pembeda antara yang haq dan yang batil. (Ath-Thabari, Târîkh ath-Thabari, 2/3). Saat itu tidak ada seorang sahabat pun yang mengusulkan tahun Islam dimulai sejak lahirnya Nabi Muhammad saw.
Demikian pula ketika mereka bermusyawarah tentang dari bulan apa tahun Hijrah dimulai; mereka pun hanya mengajukan dua alternatif, yakni bulan Ramadhan dan bulan Muharram. Pilihan akhirnya jatuh pada yang terakhir, karena bulan Muharram adalah bulan ketika orang-orang kembali dari menunaikan ibadah haji, dan Muharram adalah salah satu bulan suci. (Ath-Thabari, ibid.). Saat itu pun tidak ada yang mengusulkan bulan Rabiul Awwal, bulan lahirnya Rasulullah saw., sebagai awal bulan tahun Hijrah.
Realitas tersebut, paling tidak, menunjukkan bahwa para sahabat sendiri tidak terlalu ‘memandang penting’ momentum hari dan tahun kelahiran Nabi Muhammad saw., sebagaimana orang-orang Kristen memandang penting hari dan tahun kelahiran Isa al-Masih, yang kemudian mereka peringati sebagai Hari Natal.
Itu membuktikan bahwa para sahabat bukanlah orang-orang yang biasa mengkultuskan Nabi Muhammad saw., sebagaimana orang-orang Nasrani mengkultuskan Isa as. Hal itu karena mereka tentu sangat memahami benar sabda Nabi Muhammad saw. sendiri yang pernah menyatakan:
لاَ تُطْرُوُنِى كمَا أَطْرَتِ النَصَارَى إِبْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ
Janganlah kalian mengkultuskan aku sebagaimana orang-orang Nasrani mengkultuskan putra Maryam (Isa as.), karena sesungguhnya aku hanya sekadar seorang hamba-Nya. (HR al-Bukhari dan Ahmad).
Memang, sebagaimana manusia lainnya, secara fisik atau lahiriah, tidak ada yang istimewa pada diri Muhammad saw. sebagai manusia, selain beliau adalah seorang Arab dari keturunan yang dimuliakan di tengah-tengah kaumnya. Wajarlah jika Allah Swt., melalui lisan beliau sendiri, berfirman:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ…
Katakanlah, “Sungguh, aku ini manusia biasa seperti kalian…” (QS Fushshilat [41]: 6).
Lalu mengapa setiap tahun kaum Muslim saat ini begitu antusias memperingati Maulid Nabi Muhammad saw.; sesuatu yang bahkan tidak dilakukan oleh Nabi saw. sendiri dan para sahabat beliau?
Berbagai jawaban atau alasan dari mereka yang memperingati Maulid Nabi Muhammad saw. biasanya bermuara pada kesimpulan, bahwa Muhammad saw. memang manusia biasa, tetapi beliau adalah manusia teragung, karena beliau adalah nabi dan rasul yang telah diberi wahyu; beliau adalah pembawa risalah sekaligus penebar rahmat bagi seluruh alam. Karena itu, kelahirannya sangat layak diperingati.
Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw. sendiri tidak lain merupakan sebuah sikap pengagungan dan penghormatan (ta‘zhîman wa takrîman) terhadap beliau dalam kapasitasnya sebagai nabi dan rasul; sebagai pembawa risalah sekaligus penebar rahmat bagi seluruh alam.
Walhasil, jika memang demikian kenyataannya, kita dapat memahami makna Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw. yang diselenggarakan setiap tahun oleh sebagian kaum Muslim saat ini, yakni sebagai bentuk pengagungan dan penghormatan beliau dalam kapasitasnya sebagai nabi dan rasul Allah.
Itulah yang menjadikan beliau sangat istimewa dibandingkan dengan manusia yang lain. Keistimewaan beliau tidak lain karena beliau diberi wahyu oleh Allah Swt., yang tidak diberikan kepada kebanyakan manusia lainnya. Allah Swt. berfirman (masih dalam surah dan ayat yang sama):
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ
Katakanlah, “Sungguh, aku ini manusia biasa seperti kalian. (Hanya saja) aku telah diberi wahyu, bahwa Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu, tetaplah kalian istiqamah pada jalan yang menuju kepada-Nya. (QS Fushshilat [41]: 6).
Makna Kelahiran Muhammad saw.
Kelahiran Muhammad saw. tentu tidaklah bermakna apa-apa seandainya beliau tidak diangkat sebagai nabi dan rasul Allah, yang bertugas untuk menyampaikan wahyu-Nya kepada umat manusia agar mereka mau diatur dengan aturan apa saja yang telah diwahyukan-Nya kepada Nabi-Nya itu.
Karena itu, Peringatan Maulid Nabi saw. pun tidak akan bermakna apa-apa—selain sebagai aktivitas ritual dan rutinitas belaka—jika kaum Muslim tidak mau diatur oleh wahyu Allah, yakni al-Quran dan as-Sunnah, yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad saw. ke tengah-tengah mereka. Padahal, Allah Swt. telah berfirman:
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
Apa saja yang diberikan Rasul kepada kalian, terimalah; apa saja yang dilarangnya atas kalian, tinggalkanlah. (QS al-Hasyr [59]: 7).
Lebih dari itu, pengagungan dan penghormatan kepada Rasulullah Muhammad saw., yang antara lain diekspresikan dengan Peringatan Maulid Nabi saw., sejatinya merupakan perwujudan kecintaan kepada Allah, karena Muhammad saw. adalah kekasih-Nya.
Jika memang demikian kenyataannya maka kaum Muslim wajib mengikuti sekaligus meneladani Nabi Muhammad saw. dalam seluruh aspek kehidupannya, bukan sekadar dalam aspek ibadah ritual dan akhlaknya saja. Allah Swt. berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي
Katakanlah, “Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku.” (QS Ali Imran [3]: 31).
Dalam ayat di atas, frasa fattabi‘ûnî (ikutilah aku) bermakna umum, karena memang tidak ada indikasi adanya pengkhususan (takhshîsh), pembatasan (taqyîd), atau penekanan (tahsyîr) hanya pada aspek-aspek tertentu yang dipraktikkan Nabi saw.
Di samping itu, Allah Swt. juga berfirman:
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
Sesungguhnya engkau berada di atas khuluq yang agung. (QS al-Qalam [68]: 4).
Di dalam tafsirnya, Imam Jalalin menyatakan bahwa kata khuluq dalam ayat di atas bermakna dîn (agama, jalan hidup) (Lihat: Jalalain, Tafsîr Jalâlayn, 1/758). Dengan demikian, ayat di atas bisa dimaknai: Sesungguhnya engkau berada di atas agama/jalan hidup yang agung.
Tegasnya, menurut Imam Ibn Katsir, dengan mengutip pendapat Ibn Abbas, ayat itu bermakna: Sesungguhnya engkau berada di atas agama/jalan hidup yang agung, yakni Islam (Lihat: Ibn Katsir, Tafsîr Ibn Katsîr, 4/403). Ibn Katsir lalu mengaitkan ayat ini dengan sebuah hadis yang meriwayatkan bahwa Aisyah istri Nabi saw. pernah ditanya oleh Sa’ad bin Hisyam mengenai akhlak Nabi saw. Aisyah lalu menjawab:
كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ
Sesungguhnya akhlaknya adalah al-Quran. (HR Ahmad).
Dengan demikian, berdasarkan ayat al-Quran dan hadis penuturan Aisyah di atas, dapat disimpulkan bahwa meneladani Nabi Muhammad saw. hakikatnya adalah dengan cara mengamalkan seluruh isi al-Quran, yang tidak hanya menyangkut ibadah ritual dan akhlak saja, tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan manusia.
Artinya, kaum Muslim dituntut untuk mengikuti dan meneladani Nabi Muhammad saw. dalam seluruh perilakunya: mulai dari akidah dan ibadahnya; makanan/minuman, pakaian, dan akhlaknya; hingga berbagai muamalah yang dilakukannya seperti dalam bidang ekonomi, sosial, politik, pendidikan, hukum, dan pemerintahan.
Sebab, Rasulullah saw. sendiri tidak hanya mengajari kita bagaimana mengucapkan syahadat serta melaksanakan shalat, shaum, zakat, dan haji secara benar; tetapi juga mengajarkan bagaimana mencari nafkah, melakukan transaksi ekonomi, menjalani kehidupan sosial, menjalankan pendidikan, melaksanakan aktivitas politik (pengaturan masyarakat), menerapkan sanksi-sanksi hukum (‘uqûbat) bagi pelaku kriminal, dan mengatur pemerintahan/negara secara benar. Lalu, apakah memang Rasulullah saw. hanya layak diikuti dan diteladani dalam masalah ibadah ritual dan akhlaknya saja, tidak dalam perkara-perkara lainnya? Tentu saja tidak!
Jika demikian, mengapa saat ini kita tidak mau meninggalkan riba dan transaksi-transaksi batil yang dibuat oleh sistem Kapitalisme sekular; tidak mau mengatur urusan sosial dengan aturan Islam; tidak mau menjalankan pendidikan dan politik Islam; tidak mau menerapkan sanksi-sanksi hukum Islam (seperti qishâsh, potong tangan bagi pencuri, rajam bagi pezina, cambuk bagi pemabuk, hukuman mati bagi yang murtad, dll); juga tidak mau mengatur pemerintahan/negara dengan aturan-aturan Islam? Bukankah semua itu justru pernah dipraktikan oleh Rasulullah saw. selama bertahun-tahun di Madinah dalam kedudukannya sebagai kepala Negara Islam (Daulah Islamiyah)?
Kelahiran Nabi saw.: Kelahiran Masyarakat Baru
Sebagaimana diketahui, masa sebelum Islam adalah masa kegelapan, dan masyarakat sebelum Islam adalah masyarakat Jahiliah. Akan tetapi, sejak kelahiran (maulid) Muhammad saw. di tengah-tengah mereka, yang kemudian diangkat oleh Allah sebagai nabi dan rasul pembawa risalah Islam ke tengah-tengah mereka, dalam waktu hanya 23 tahun, masa kegelapan mereka berakhir digantikan dengan masa ‘cahaya’; masyarakat Jahiliah terkubur digantikan dengan lahirnya masyarakat baru, yakni masyarakat Islam. Sejak itu, Nabi Muhammad saw. adalah pemimpin di segala bidang. Ia memimpin umat di masjid, di pemerintahan, bahkan di medan pertempuran.
Karena itu, kita bisa menyimpulkan bahwa makna terpenting dari kelahiran Nabi Muhammad saw. adalah keberadaannya yang telah mampu membidani kelahiran masyarakat baru, yakni masyarakat Islam; sebuah masyarakat yang tatanan kehidupannya diatur seluruhnya oleh aturan-aturan Islam.
Renungan
Walhasil, Peringatan Maulid Nabi saw. sejatinya dijadikan momentum bagi kaum Muslim untuk terus berusaha melahirkan kembali masyarakat baru, yakni masyarakat Islam, sebagaimana yang pernah dibidani kelahirannya oleh Rasulullah saw. di Madinah. Sebab, siapapun tahu, masyarakat sekarang tidak ada bedanya dengan masyarakat Arab pra-Islam, yakni sama-sama Jahiliah. Sebagaimana masa Jahiliah dulu, saat ini pun aturan-aturan Islam tidak diterapkan.
Karena aturan-aturan Islam—sebagaimana aturan-aturan lain—tidak mungkin tegak tanpa adanya negara, maka menegakkan negara yang akan memberlakukan aturan-aturan Islam adalah keniscayaan. Inilah juga yang disadari benar oleh Rasulullah saw. sejak awal dakwahnya. Rasulullah saw. tidak hanya menyeru manusia agar beribadah secara ritual kepada Allah dan berakhlak baik, tetapi juga menyeru mereka seluruhnya agar menerapkan semua aturan-aturan Allah dalam seluruh aspek kehidupan mereka.
Sejak awal, bahkan para pemuka bangsa Arab saat itu menyadari, bahwa secara politik dakwah Rasulullah saw. akan mengancam kedudukan dan kekuasaan mereka. Itulah yang menjadi alasan orang-orang seperti Abu Jahal, Abu Lahab, Walid bin Mughirah, dan para pemuka bangsa Arab lainnya sangat keras menentang dakwah Rasulullah saw. Akan tetapi, semua penentangan itu akhirnya dapat diatasi oleh Rasulullah saw. sampai beliau berhasil menegakkan kekuasaannya di Madinah sekaligus melibas kekuasaan mereka.
Walhasil, dakwah seperti itulah yang juga harus dilakukan oleh kaum Muslim saat ini, yakni dakwah untuk menegakkan kekuasaan Islam yang akan memberlakukan aturan-aturan Islam, sekaligus yang akan meruntuhkan kekuasaan rezim kafir yang telah memberlakukan aturan-aturan kufur selama ini. Hanya dengan itulah Peringatan Maulid Nabi saw. yang diselenggarakan setiap tahun akan jauh lebih bermakna. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. [Arief B. Iskandar ,redaktur Al wa’ie]
Langganan:
Postingan (Atom)