Pemerintah dan gerombolan liberal kembali mewacanakan pembubaran ormas anarkis pasca tindak anarkis yang dilakukan sekelompok orang yang menentang kedatangan ormas Islam Front Pembela Islam (FPI) ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Anehnya, wacana tersebut mengarah pada pembubaran FPI saja, tidak kepada kelompok anarkis yang menolak FPI tidak pula pada ormas atau pun orpol yang jauh lebih anarkis bila dibanding dengan FPI.
Bukti pemerintah diskriminatif ? Dan bagaimana pandangan Islam terkait kekerasan? Temukan jawabannya dalam wawancara wartawan mediaumat.com Fatih Mujahid dengan Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia Muhammad Ismail Yusanto. Berikut petikannya.
Apa motif sebenarnya dari aksi penolakan kelompok tertentu kepada FPI di Palangkaraya?
Kalau yang tersurat artinya apa yang mereka sampaikan dan diberitakan oleh media adalah mereka menolak kedatangan FPI. Mereka beralasan, ”kehadiran FPI di Palangkaraya ataupun Kalimantan Tengah dapat memicu konflik horizontal, mengingat FPI sering bertindak anarkis”. Itu yang terbaca di media massa.
Tapi kita meragukan hal tersebut kalau yang mereka persoalkan anarkisme FPI, maka sesungguhnya ada banyak ormas di Indonesia banyak melakukan tindakan anarkisme yang jauh lebih parah dari yang diperbuat FPI. Bahkan sejumlah parpol lebih parah lagi. Lihat saja, bila parpol tersebut kalah dalam Pilkada, tidak sedikit yang bertindak anarkis.
Kalau FPI dikatakan bertindak anarkis, bukankah tindakannya pun sudah sudah diproses secara hukum. Ditangkap pelakunya, diadili bahkan dimasukkan dalam penjara. Proses hukumnya sudah berjalan dan selesai. Mengapa harus dirisaukan? Karenanya kami meragukan motif itu.
Jadi, kami mengecam tindak anarkis yang menolak kedatangan FPI ke Palangakraya, Kalimantan Tengah itu. Karena tindakan itu sama sekali tidak mendasar apalagi kenyataannya, FPI datang untuk membuka cabang dan untuk menghadiri Perayaan Maulid Nabi. Artinya, kegiatan itu adalah kegiatan dakwah. Jadi, bagaimana mungkin orang yang hendak berdakwah ditindak seperti itu melalui kekerasan dan semena-mena? Saya kira itu tidak beradab.
Kalau mereka persoalkan anarkisme FPI, apa bedanya dengan yang mereka lakukan itu? Mereka berdemo di bandara dan itu kan dilarang oleh undang-undang apalagi sampai masuk ke airport, mengacungkan senjata tajam dan mengancam ingin membunuh. Itu sendiri sudah merupakan anarkisme.
Dan setelah delegasi FPI diterbangkan ke Banjarmasin, mereka kemudian bergerak dan membakar panggung yang bakal dipakai acara Maulid lalu merusak toko-toko yang mereka sangka milik pendukung acara Maulid itu. Ini anarkisme!
Mereka persoalkan anarkisme yang dilakukan FPI, lalu mereka melakukan anarkisme itu sendiri. Apa maksudnya itu? Kemudian, bahwa ini negeri mayoritas Muslim dan kewajiban Muslim itu berdakwah di mana pun dan tidak boleh ada hambatan dalam dakwah. Dan tidak boleh menghalangi rakyat Indonesia untuk datang kemana pun.
Coba bayangkan, kalau ada satu orang atau sekelompok yang tidak suka orang itu, kemudian menolak kehadiran orang yang tidak disuka itu maka akan merembet ke mana-mana, misalkan ketika orang Betawi merasa tersinggung dan Teras Narang datang ke sini (Jakarta) dan ditolak di Jakarta bagaimana coba? Jadi akan timbul kekacauan ini akan menjadi bibit anarkisme yang akan lebih besar nantinya.
Lantas mengapa kelompok Dayak melakukan itu?
Kami menolak kalau itu dikatakan kelompok Dayak. Karena pada faktanya Dayak Muslim dan FPI datang ke sana itu justru untuk membantu orang-orang Dayak yang bersengketa lahan dengan sejumlah perusahaan sawit. Jadi FPI datang untuk menolong mereka. Saya kira ini ada orang-orang tertentu yang memprovokasi dan memanfaatkan sentimen ras untuk mengadu domba antar warga masyarakat.
Gerombolan liberal merespon insiden itu dengan kampanye “Indonesia tanpa FPI”. Komentar Anda?
Apa urusan mereka begitu, kalau memang mereka anti FPI karena FPI sering bertindak anarkisme mestinya mereka juga mempersoalkan gerombolan yang masuk ke Bandara dan membakar panggung dan merusak toko lalu mengancam membunuh! Kalau betul mereka ingin Indonesia katanya tanpa kekerasan, berarti harus juga tanpa ada orang-orang yang melakukan anarkisme di sana dan juga tanpa Ormas dan Orpol yang terbukti melakukan tindakan anarkisme!
Apakah mereka berani mengatakan Indonesia tanpa PDI P misalkan.
Memang PDI P kenapa?
Kan PDI P pada waktu Pilkada di Tuban kalau tidak salah juga melakukan tindakan anarkisme, membakar gedung pemerintahan di sana. Atau ketika Megawati kalah melawan Gus Dur, kan massa PDI P dulu mereka juga membakar rumah orang tua Pak Amien Rais. Kalau mereka konsisten menolak anarkisme mestinya hal begini juga dipersoalkan! Tapi kan mereka tidak pernah mempersoalkan itu. Jadi mereka hanya menunggangi saja isu ini untuk mendiskreditkan kelompok Islam dalam hal ini FPI.
Saya bukan bermaksud mendukung tindakan anarkisme, tetapi marilah kita profesional. Kalau FPI melakukan tindakan kekerasan dan sudah melanggar hukum maka itu saja dipersoalkan, saya kira ini sudah dilakukan, dan FPI sudah menerima itu. Jadi apa urusannya kaum liberal mempersoalkan organisasinya? Kalau orang-orang liberal ini konsisten harusnya menyerukan siapa saja yang melakukan tindakan kekerasan harus dibubarkan. Jadi mengapa hanya FPI saja yang dipermasalahkan?
Bukan hanya gerombolan liberal, pemerintah pun nampak diskriminatif terhadap FPI. Benarkah?
Kalau pemerintah selalu menunjuk hidung persoalan anarkisme pada FPI, tapi tidak pada yang lain, dalam hal ini orang-orang yang menolak kedatangan delegasi FPI, maka pemerintah diskriminatif.
Apakah akan dihubung-hubungkan dengan revisi UU ormas?
Iya itu sama, bahwa itu tidak relevan karena persoalannya itu bukan pada pengaturan di level undang-undang tapi di level setting sistem politik yang ada. Kalau UU Ormas ini diperbaharui maka tidak akan menyelesaikan masalah.
Terlepas dari itu semua, bagaimana Islam mensikapi kekerasan?
Islam agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Rasulullah SAW sebagai rahmat. Rahmat itu adalah seluruh kebaikan, ketentraman, kesejahteraan, kemudiaan kedamaian. Selain mengatur soal-soal seperti itu, Islam pun mengatur pula masalah kekerasan. Islam bukan tidak setuju dengan “kekerasan” dan juga tidak setuju bila kita “selalu bertindak dengan kekerasan”.
Islam mengatur kapan kita melakukan kekerasan dan kapan kekerasan itu tidak boleh dilakukan. Ketika itu kita dalam rangka mendidik anak umur 10 tahun. Dia tidak mau juga melakukan sholat, maka boleh dipukul dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Itukan salah satu bentuk kekerasan dalam rangka mendidik.
Ketika kita diserang maka kita harus melawan. Dan melawan itu dengan jihad dan pasti melakukan kekerasan. Jadi kekerasan itu ada pada tempatnya, kita tidak boleh menolak tapi juga kita tidak boleh serampangan melakukannya. Jadi kalau kita kembali pada Islam maka kita akan tahu kapan kekerasan itu harus dilakukan dan kapan kekerasan itu tidak boleh dilakukan.(mediaumat.com, 16/2/2012)
The KHILAFAH Channel
khilafah on livestream.com. Broadcast Live Free