Oleh : Arim Nasim
Direktur Pusat Kajian dan Pengembangan Ekonomi Islam
FPEB Universitas Pendidikan Indonesia Bandung
Walaupun mendapat penolakan dari berbagai kalangan baik akademisi maupun pengusaha, pemerintah tetap akan memberlakukan pembatasan konsumsi BBM subsidi mulai 1 April 2012, sebagaimana dikatakan oleh Wakil Menteri Keuangan, Mahendra Siregar , pemerintah akan mengatur konsumsi BBM subsidi bagi mobil plat merah mulai April 2012 (PR ,07/01/2012) . Dari kalangan akademisi seperti qurtubi menolak upaya pemerintah melakukan pembatasan BBM bersubsidi karena sama saja dengan menaikan BBM 100 % karena mereka yang selama ini mengkonusmsi Premium dipaksa membeli pertamax yang harganya 2 kali lipat. Sedangkan dari kalangan pengusaha khususnya usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) menolak pembatasan konsumsi BBM subsidi ini seperti yang disampaikan Ketua Koperasi Perajin Kaus Suci Bandung Marnawi, Kalau ini diberlakukan akan semakin memukul daya saing produk UMKM. Bukan hanya biaya produksi yang bertambah karena biaya transportasi, tapi bahan baku juga pasti akan ikut-ikutan naik. Kondisi tersebut, menurut dia, dipastikan akan membuat pelaku UMKM menaikkan harga jualnya. Namun, di sisi lain, daya beli masyarakat dipastikan akan merosot. Dalam kondisi itu, masyarakat dipastikan akan memilih produk impor yang harganya lebih murah. Kalau akademisi banyak yang menolak, pengusaha kecil dan rakyat banyak yang dirugikan , lalu untuk kepentingan siapa pembatasan BBM bersubsidi tersebut ?
Klasik
Wacana pembatasan konsumsi BBM subsidi ini sudah bergulir sejak 2010. Namun, program ini berkali-kali gagal dilaksanakan. Terakhir, pembatasan akan dilaksanakan pada November 2011 kembali diundur hingga April mendatang. Alasan yang selalu dikemukakan pemerintah adalah Subsidi membebani anggaran dan tidak tepat sasaran. Sebagaimana yang disampaikan oleh pemerintah Realisasi konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi selama 2011 mengakibatkan anggaran subsidi negara untuk BBM membengkak dari 129,7 triliun menjadi 160 triliun rupiah. Padahal kalau mau jujur justru yang menjadi beban APBN adalah Utang negara dan bunganya, untuk bunganya saja tahun 2011 sebesar 107 Trilyun, belum lagi penggunaan APBN yang sarat dengan korupsi dan inefesiensi. Hashim Djojohadikusumo menyebutkan sejumlah pos pengeluaran yang tidak efektif, antara lain anggaran vakansi, termasuk untuk studi banding ke luar negeri sebesar Rp 21 T untuk perjalanan pejabat Negara setiap tahun, anggaran bantuan sosial sebesar Rp 61 triliun dan 63 trilyun anggaran bantuan sosial melalui kementerian dan lembaga tidak ada rinciannya secara jelas digunakan untuk program dan proyek apa saja.
Sementara alasan penggunaan premium banyak dinikmati orang kaya juga tidak tepat berdasarkan data Susenas 2010 yang dilakukan Badan Pusat Statistik, 65 persen BBM bersubsidi dikonsumsi oleh kalangan menengah bawah dengan pengeluaran per kapita di bawah 4 dollar AS dan miskin dengan pengeluaran per kapita di bawah 2 dollar AS. Sementara itu, 27 persen digunakan kalangan menengah, 6 persen kalangan menengah atas dan 2 persen kalangan kaya.
Akar masalah
Pembatasan BBM bersubsidi sebenarnya merupakan satu bagian dari paket liberalisasi migas. Liberalisasi migas merupakan kebijakan pemerintah untuk memberikan peluang bahkan menyerahkan pengelolaan migas mulai dari kegiatan hulu sampai hilir kepada pihak swasta sebagaimana yang tercantum dalam UU MIGAS No. 22/2001 pasal 9: Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir dilaksanakan oleh: badan usaha milik negara; badan usaha milik daerah; koperasi; usaha kecil; badan usaha swasta.
UU MIGAS inilah sebenarnya yang menjadi akar masalah karut marutnya pengelolaaan Migas, dampak dari UU MIGAS ini menurut Dirjen Migas Evita legowo dikuasainya Migas oleh perusahaan asing sebesar 70 %, 16, 2 % oleh swasta lokal dan hanya 13,8 % yang digarap oleh pertamina. Karena itulah perusahaan asing yang menguasai migas tersebut menginginkan secepatnya bisa masuk ke pemasaran BBM tanpa ada hambatan yaitu adanya BBM bersubsidi dari pemerintah sehingga mereka dapat mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya melalui penguasaan produksi migas dari industri hulu sampai hilir atau dari mulai produksi sampai distribusi dan pemasarannya. Oleh karena itu Kebijakan pembatasan BBM bersubsidi bahkan menghapuskannya adalah kebijakan yang sangat dinantikan oleh Shell, Total dan SPBU Asing lainnya yang sudah ada di Indonesia dan sekarang pemerintah akan memenuhi keinginan mereka.
Prorakyat
Kalau benar bahwa pemerintah dan DPR ini bekerja untuk rakyat maka yang harus dilakukan bukan saja membatalkan pembatasan pemakaian BBM Subsidi maupun kenaikan BBM tapi yang harus dilakukan adalah membatalkan UU MIGAS No. 22 tahun 2001 dan menggembalikan pengelolaan Migas kepada Pertamina dengan pengelolaan yang profesional dan bebas korupsi, maka setelah itu dilakukan baru berfikir tentang energi alternatif maupun konversi dari Minyak Ke Gas, karena selama liberalisasi masih dijalankan walaupun terjadi konversi tetap akan muncul masalah lagi ketika Gas tersebut dikuasai oleh Swasta atau asing , saat ini saja banyak perusahaan dan sejumlah industri yang menjerit-jerit kekurangan pasokan gas karena hampir 60 % hasil gas di exspor, termasuk yang dialami PLN, akibat kekurangan gas, pembangkit listrik tenaga gas PLN terpaksa menggunakan BBM yang biaya jauh lebih mahal. Padahal menurut catatan PLN, jika Januari-September 2011, PLTG yang ada menggunakan gas maka anggaran yang dapat dihemat setidaknya Rp5 triliun. (Sumber : Pikiran Rakyat, 24 Januari 2012)
The KHILAFAH Channel
khilafah on livestream.com. Broadcast Live Free